WanitaIndonesia.co, Jakarta – Banyak orang di seluruh dunia ingin membangun keluarga, namun kenyataan sosial dan ekonomi membuat impian itu sulit terwujud. Temuan ini diungkapkan dalam laporan State of World Population (SWP) 2025 dari UNFPA, yang mengangkat tema “Krisis Fertilitas yang Sebenarnya: Memberdayakan Individu dalam Mengambil Keputusan Reproduksi di Dunia yang Terus Berubah”.
Laporan ini berbasis pada riset akademik dan survei UNFPA-YouGov di 14 negara yang mewakili lebih dari sepertiga populasi global, termasuk Indonesia. Hasilnya mencatat bahwa 1 dari 5 orang secara global menyatakan tidak akan mampu memiliki jumlah anak yang mereka harapkan.
Di Indonesia, dari 1.015 responden yang disurvei secara daring, faktor terbesar yang menghalangi keinginan memiliki anak adalah tingginya biaya hidup, akses terhadap perumahan yang layak, serta ketidakpastian pekerjaan. Selain itu, norma sosial yang bias gender juga memperburuk situasi.
“Krisis fertilitas sesungguhnya bukanlah soal orang yang tidak ingin punya anak, melainkan banyak yang ingin punya anak tapi tidak mampu. Laporan ini menemukan bahwa dari responden yang disurvei, lebih dari 70% orang ingin punya dua anak atau lebih,” ujar Hassan Mohtashami, Perwakilan UNFPA Indonesia, dalam konferensi pers peluncuran laporan SWP 2025 di Jakarta.
Mohtashami menambahkan, untuk menanggapi krisis ini, negara perlu menyediakan dukungan nyata seperti cuti melahirkan, layanan fertilitas yang terjangkau, serta membangun lingkungan yang ramah bagi keputusan reproduksi.
Pemerintah Indonesia Fokus pada Pembangunan Keluarga Berkualitas
Mewakili pemerintah, Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto, Deputi Pengendalian Kependudukan BKKBN, menyampaikan bahwa Indonesia telah merancang Desain Besar Pembangunan Kependudukan (DBPK) sebagai panduan pembangunan jangka panjang selama 20 tahun ke depan. Desain ini diimplementasikan dalam bentuk peta jalan dan rencana aksi tahunan secara asimetris—disesuaikan dengan capaian tiap daerah.
“Laporan SWP menjadi masukan penting bagi kebijakan nasional. Kami juga memiliki berbagai strategi untuk meningkatkan layanan KB, kesehatan ibu dan anak, pemberdayaan perempuan, hingga kesejahteraan keluarga, termasuk program Quick Wins seperti Taman Asuh Sayang Anak,” jelas Bonivasius.
Ia menambahkan bahwa meskipun ada penurunan angka kelahiran di wilayah perkotaan akibat tekanan ekonomi, wilayah seperti Papua dan NTT masih mencatat angka fertilitas yang tinggi. Oleh karena itu, intervensi harus disesuaikan dengan konteks daerah masing-masing.
Bonivasius juga menyinggung tren childfree yang mulai banyak dibicarakan, namun menekankan bahwa angka tersebut masih sangat kecil di Indonesia.
“Angka childfree di negara kita sangat rendah, masih 0,001 persen. Namun fenomena ini harus menjadi perhatian kita juga, karena sudah terjadi di beberapa negara,” ujarnya.
Gambaran Global dan Nasional soal Keinginan Berkeluarga
Dalam laporan SWP 2025, tercatat bahwa 62% perempuan dan 61% laki-laki secara global menginginkan dua anak atau lebih, dan angka ini bahkan lebih tinggi di Indonesia: 74% perempuan dan 77% laki-laki.
Namun kenyataannya, 20% orang di bawah usia 50 tahun memperkirakan mereka tidak akan mencapai jumlah anak yang diinginkan. Di Indonesia, 17% merasa akan memiliki lebih sedikit anak, dan hanya 6% yang memperkirakan akan memiliki lebih banyak.
Faktor finansial menjadi alasan utama. Di Indonesia, 39% responden menyebut biaya membesarkan anak sebagai kendala utama, diikuti oleh masalah perumahan (22%) dan ketidakamanan kerja (20%).
Selain itu, kekhawatiran terhadap masa depan global, seperti konflik, pandemi, politik, dan perubahan iklim, turut memengaruhi keputusan berkeluarga. Di Indonesia, 14% menyebutkan situasi sosial-politik, dan 9% menyebutkan perubahan iklim sebagai hambatan.
Survei juga mengungkap bahwa satu dari empat responden pernah mengalami masa di mana mereka ingin memiliki anak tapi merasa belum mampu. Indonesia termasuk negara dengan persentase tinggi dalam kategori ini, yaitu lebih dari 20%.
UNFPA dalam laporannya menegaskan pentingnya pendekatan berbasis hak, bukan sekadar target angka kelahiran. Program insentif atau kampanye “bonus bayi” dianggap tidak efektif jika tidak dibarengi dengan perbaikan sistem dukungan sosial.
UNFPA mendorong kebijakan yang mendukung masyarakat membuat keputusan reproduksi secara bebas—termasuk dalam akses kontrasepsi, perawatan fertilitas, cuti orangtua, serta kesetaraan gender dalam pengasuhan dan dunia kerja.
Laporan ini juga menyoroti bahwa norma sosial yang masih bias terhadap perempuan, minimnya cuti berbayar bagi ayah, kurangnya layanan pengasuhan anak yang terjangkau, serta pembatasan akses pada layanan kesehatan reproduksi menjadi penghalang dalam membentuk keluarga ideal.
UNFPA menutup laporannya dengan menegaskan bahwa kombinasi pendekatan ekonomi, sosial, dan politik yang responsif di tiap negara sangat penting agar setiap individu bisa membentuk keluarga sesuai keinginan mereka. (WIB)