wanitaindonesia.co – Shelter Kebaya adalah tempat dimana waria membantu waria lain yang sakit dan support usaha ekonomi waria seperti angkringan, usaha batik, warung kelontong, sampai praktek beternak lele. Jika kamu pengin tahu praktik solidaritas yang dilakukan para waria, datanglah ke shelter Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya)
Yanri Wijayanti Subroto merasa bersyukur ketika ia dipertemukan dengan Een, seorang waria di Yogyakarta.
Een kala itu tiba-tiba datang menemui Yantri ketika Een sudah mengidap positif HIV/AIDS. Yanri adalah seorang dokter yang kemudian menolong Een. Perawat di rumah sakit dimana Yanri bekerja sebagai dokter kemudian bertanya: apakah mereka akan membantu Een?. Yanri mengiyakan, karena waria pengidap HIV/ AIDS adalah subyek kehidupan, jadi siapapun yang datang berobat harus ditolong.
“Kalau bukan kita yang menolong, lalu siapa yang peduli pada nasib waria?.”
Sejak itulah Een selalu ada dalam hari-hari kehidupan Yanri. Yanri juga seorang anggota ahli HIV/AIDS IMS Kementerian Kesehatan. Ia menceritakan bagaimana Een yang bekerja sebagai pekerja seks pernah dibawa oleh laki-laki dan ditendang begitu saja ketika tahu bahwa Een adalah seorang waria.
“Mbak Een pernah diajak orang dan ditendang di jalan karena dia waria. Dasar wandu (waria). Makanya mbak Een adalah guru kehidupan saya. Mbak Een kemudian mempertemukan saya dengan banyak waria lain. Salah satunya mama Vien. Waria adalah guru-guru saya.”
Yanri Wijayanti Subroto mengatakan ini dalam diskusi dan launching buku berjudul “Solidaritas Waria Yogyakarta” yang ditulis oleh Masthuriyah Sa’dan dan diluncurkan pada 26 Juni 2021. Buku ini menulis tentang kegiatan solidaritas bagi para waria yang dilakukan Yayasan Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya) di Yogyakarta
“Saya ini sangat berhutang budi pada teman-teman waria karena mengajarkan banyak hal penting tentang kehidupan. Saya sangat emosional dengan relasi waria. Mbak Een adalah guru saya, datang ke RS Sarjito dengan sudah kondisi positif. Setelah kenal mbak Een dan kontrol, perawat lalu mengatakan, dokter kita memang tidak boleh diskriminatif ya, karena mereka melihat bagaimana saya memperlakukan waria sama seperti yang lain. Kemudian banyak yang terbuka hatinya dan senang sekali dengan waria.”
Ada shelter atau rumah singgah di Yayasan Kebaya ini yang ditulis dalam buku yang menjadi tempat kemanusiaan bagi para waria, menjadi tempat singgah, mengupayakan kesehatan, yang terkena HIV/AIDS diajak ditampung untuk bisa tes disana, perannya ada diseluruh sistem kesehatannya.
Jika tentang solidaritas, jangan ditanya lagi apa yang sudah dilakukan oleh para waria di Yayasan Kebaya ini. A. Kurniawan Ulung dalam salah satu artikel di Deutsche Welle (DW) menuliskan bahwa Yayasan Kebaya selama ini memberikan perawatan dan penginapan gratis kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang terlantar, Mereka juga membuat berbagai program sosial tanggap darurat untuk membantu waria dan perempuan pekerja seks di empat kabupaten di Yogyakarta, mulai dari Sleman, Bantul, hingga Kulon Progo.
Program tersebut ialah mendirikan 8 dapur umum, menstimulasi 16 kelompok usaha waria, dan membagikan 234 paket sembako setiap bulan, termasuk di dalamnya cairan pembersih tangan dan masker kain buatan transpuan.
“Program tersebut untuk menjaga ketahanan pangan komunitas marginal di masa pandemi karena mayoritas rekan-rekan tanspuan di Yogyakarta tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sehingga mereka tidak bisa mengakses Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah,” ujar Rully Mallay, manajer program Yayasan Kebaya, kepada DW Indonesia.
Sandeep Nanwani dari UNFPA dalam launching buku juga menyatakan bahwa buku ini menjadi bagian dari kritik dari warga ke pemerintah yang harusnya membantu warganya, namun justru bantuan dilakukan oleh warga kepada warga lainnya.
“Buku ini mengkritik tentang pelaksanaan PSBB atau social distancing yang tak mudah. Pemerintah boleh bilang pentingnya social distancing di masa pandemi, tapi kenyataannya, untuk warga yang kekurangan nyatanya sulit sekali, tidak bisa mengganti masker setiap 4 jam, terkena HIV. Ternyata ini tak hanya butuh pendekatan kesehatan, tetapi kemanusiaan, cara yang benar seperti ini dan krisis ini penanganannya seperti apa?. Setiap hari penderita TB, HIV berhenti untuk diperiksa Puskesmas karena Puskesmas sibuk mengurus pandemi. Lalu yang seperti apa bantuan dalam kondisi seperti ini?.”
“Jika tahun depan mau melihat krisis, maka buku ini sangat berguna untuk melihat bagaimana warga mengatasi krisis dan melewati masa genting. Buku ini diluncurkan pada saat yang tepat karena menghadapi isu kemanusiaan. Teman teman kebaya melakukan sesuatu yang besar dan kritik tentang pionir kemanusiaan yang dilakukan kebaya dan sudah ditulis. Solidaritas adalah solusi kita bersama. Rully dan mami Vien sudah mengajarkan ini dari buku yang dilakukan kebaya,” kata Sandeep
Selain aktif merawat ODHA di Yayasan Kebaya, DW menuliskan Rully Mallay misalnya masih mengamen di area perbatasan Yogyakarta dan Klaten untuk menyambung hidup. Ia telah mengamen sejak tahun 2000, dan baru di masa pandemi inilah ia betul-betul merasakan susahnya mencari sesuap nasi. Waria lain yang bekerja di salon juga mengalami omzet yang menurun. Waria lainnya jangan ditanya bagaimana sulitnya menyambung hidup di tengah lapangan kerja yang sangat sedikit dan diskriminatifnya perlakuan pada mereka
“Saya melihat teman-teman waria itu o gender, jadi yang dijalani berbeda dengan gender lain. Mereka menjadi bentuk manusia seutuhnya. Saya panggil mbak, mami dan karakteristik perempuan, para waria ada sifat sangat senang membantu dan punya panggilan alam untuk membantu apa saja: menolong yang lagi kesusahan, menolong yang sedang sakit,” kata Yanri
Dina Listiorini, dosen dan pengamat media dan LGBT dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta menyatakan, kehadiran buku ini seperti memberikan kesejukan di tengah banyak media yang selama ini menampilkan waria/transpuan sebagai sosok yang bermasalah, karena dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan. Ada 14 kisah mengenai kehidupan, kebersamaan, kerja keras dan perjuangan waria di Yogyakarta dalam kehidupan mereka dengan masyarakat di sekitarnya. Keempatbelas kisah tersebut dilengkapi dengan gambar, tabel yang mendukung narasi buku. Sehingga buku ini menunjukkan keberadaan waria sebagai subyek dalam kehidupan masyarakat
“Menurut saya, melalui buku ini pembaca dapat melihat bahwa kawan-kawan waria Yogyakarta banyak memberikan sumbangsih dan memiliki rasa setia kawan, solidaritas yang tinggi baik sesama waria maupun pada orang lain yang membutuhkan, terutama yang hidup di sekitar mereka. Hal ini dapat dilihat pada narasi tentang kematian sesama waria,lansia waria, menolong pekerja seks saat covid, membantu anak yatim dan tetangga sekitar yang membutuhkan dalam berbagai bentuk. Baik bantuan sembako, maupun dapur umum. Juga ada usaha meningkatkan kemandirian ekonomi waria melalui berbagai program seperti KUBE, UEP dari Kemensos, ataupun pinjaman lunak yang dapat mengembangkan berbagai usaha mereka. Kebaya lah yang “pasang badan” dalam pengajuan pinjaman atau akses bantuan terutama bagi waria yang tidak punya KTP.”
Masturiyah Sa’dan penulis buku menyatakan bahwa buku ini merupakan buku jilid kedua yang ia tulis tentang waria, setelah buku berjudul “Santri Waria” yang diterbitkan sebelumnya. Dua buku ini diedit oleh Shinta Maharani, salah seorang jurnalis dan aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.
“Buku ini merupakan cerita waria di rumah kebaya yang dikerjakan dari Juni sampai Desember 2020, 6 bulan menulis dengan 16 chapter, kami menulis bagaimana Odha bisa bertahan hidup di masa pandemi, kehilangan pekerjaan, jahit, usaha angkringan.”
Yang jelas Masturiyah mengatakan, buku ini bukan merupakan proyek, karena hasil penjualannya akan disumbangkan untuk Yayasan Kebaya.
“Saya merasakan betul, pekerja seks tidak mempunyai keberuntungan seperti saya, PSK harus melayani tamu 4-5 orang, ini bisa jadi jembatan untuk mengenal dan tidak menghakimi. Masing masing orang hidup punya lorong hidup yang berbeda. Saya bertemu PSK di Mushola, dan saya sangat salut. Saya pakai legging, saya tersentuh melihat mereka memakai baju muslim, saya tunggu mereka selesai sholat berjamaah. Waria yang distigma sebagai pendosa adalah orang orang yang sangat dekat dengan Tuhan. Pengalaman ini adalah guru bagi saya.”
Secara lengkap buku ini juga menulis tentang beberapa usaha ekonomi waria di Yogyakarta. Beberapa usaha seperti warung kelontong, membuka angkringan, membuka warung makan mie dan nasi goreng, warung kopi, tempat jahit/modiste, usaha batik, masker batik dan hand sanitizer, praktek beternak lele dalam ember, menanam aneka sayuran dalam bentuk home farming, berdagang tanaman hias , usaha laundry, kerajinan wig, usaha salon, make up pengantin, dagang wedang jahe dan bandrek, usaha kue kering, kain shibori, membuat kecambah yang disetor ke beberapa pedagang soto adalah kerja-kerja waria di Yogyakarta dalam jejaring Kebaya dan juga Ponpes.