Sepenggal cerita sedih Gempa Bumi Turkiye

Nia, Yasin, Azka keluarga muda yang tewas karena gempa.(Foto : Istimewa.)

“Kamar Berpanorama Alam Sudah Dipersiapkan Namun Nia Marlinda Bersama Keluarganya Tak Akan Pernah Datang”

 

WanitaIndonesia.co, Jakarta – Banyak cerita mengharu-biru dari dahsyatnya gempa bumi bermagnitudo (M) 7,8 yang mengguncang Turkiye. Cinta, kerinduan, serta harapan pupus karena takdir.

Salah satunya datang dari WNI asal Bali Nia Marlinda yang tewas bersama keluarganya. Dengan berlinang air mata orang tua Nia, pasutri Muhammad Sukarmin dan Bidayati Rahmat Zaelani
merangkai satu-persatu puzzle kenangan akan buah hatinya tersebut.

“Nia Marlinda merupakan anak kebanggaan kami. Dia merupakan pribadi yang ramah, tenang, pekerja keras dan merupakan anak rumahan. Karena prestasinya, ia kemudian ditempatkan di Turki oleh perusahaan tempatnya bekerja yang berada di Bali, “ujar Sukarmin.

Di tanah rantau ia bertemu jodohnya Yasin Calisir yang merupakan warga negara Turkiye. Suaminya berprofesi sebagai dosen bahasa Inggris di sebuah universitas. Tampan, gagah goda kami kala itu.
Tak lama berselang mereka dikaruniai buah hati yang lucu menggemaskan Barkay Azka (1,4). Kebahagiaan kami terasa sempurna.

Saat aturan perjalanan saat pandemi mulai dilonggarkan pemerintah Turkiye, Nia berencana akan mudik ke Bali.
“Setiap melakukan panggilan video, selain bertanya kabar, kami sering tertawa sambil membercandai cucu kami tersebut. ” Aiiih…,
lucunya, menggemaskan. Rasanya waktu seminggu dari rencana kepulangan mereka ke Bali seolah berjalan sangat lama. Bolak-balik melihat penanggalan, menandai hari yang telah berlalu, terus menghitung sisa hari untuk menunggu.
Tak sabar menanti, rindu pun membuncah untuk bertemu dengan anak dan cucu kami, “kenang Bidayati kelu.

Namun manusia boleh berencana, tapi Allah jua yang berkehendak mengabulkannya.
Beberapa hari setelah gempa dahsyat itu, kami menerima panggilan telepon dari staff KBRI Turkiye di Ankara. Saat berita duka itu disampaikan, luruh seluruh tulang, separuh jiwa kami ikut pergi, lidah terasa kelu. Keluarga besar Nia Marlinda shock, bingung, tak percaya, hanya jerit tangis yang terdengar.

“Innalillahi Wa Innailaihi Rajiun.
Hancur sudah kebahagiaan kami. Permata hati tak ternilai, anak, cucu dan menantu yang kami rindukan, yang menjadi bunga saat lelap tertidur, telah wafat tertimpa runtuhan apartemen tempat tinggal mereka. Ya Allah, rencana apa yang Engkau berikan kepada kami sekeluarga, “isak pilu Bidayati.

Beragam tanyapun terucap, mengapa mereka harus berpulang secepat itu dengan cara kematian yang tragis?
Doa, isak tangis menguar dari rumah pasutri malang di jalan Nangka, Denpasar – Bali. Perih, sakit ya Allah, keluh Bidayati manakala maut menjemput anak-anak, serta cucu kesayangan mereka dengan cara tragis. Tak sanggup kami membayangkannya.

Berlari Lalu di Jemput Ajal

Dari penjelasan staff KBRI, saat gempa terjadi diduga Nia sempat berlari turun untuk menyelamatkan diri, namun upayanya gagal. Ia bersama suami dan anaknya tewas tertimbun reruntuhan beton dan semen bangunan apartemen.

Padahal ada banyak rencana yang telah disusun bersama saat mereka tiba di Bali. Nia hendak memperkenalkan keluarga kecilnya ke saudara dan kerabat. Berwisata, berbelanja, kuliner. “Ah, terlalu banyak rencana indah yang sudah disusun. Saya, suami, serta tantenya Azka akan mengajak bayi lucu ini bermain, serta bercanda sambil mencium gemas.
Namun kiranya rencana Allah yang berlaku.

Sukarmin menceritakan, Nia sempat berpesan, ia meminta kamarnya dibersihkan. Dicat, lalu dilukis dengan panorama alam Bali nan indah, agar suami dan anaknya mencintai tanah kelahiran ibundanya.
Ada gunung, lautan dengan ombak dan pantai. Matahari harus besar dan bersinar terang pesannya. Selain muncul rembulan, juga hadir segerombolan burung camar sedang terbang. Semuanya terlihat sempurna dari beragam warna alam memesona.

Saat diperlihatkan suasana kamarnya, Nia berteriak kegirangan. Ia pun mengucapkan terima kasih kasih kepada kami. Anak itu, walaupun tinggal jauh dan telah memiliki keluarga, ia tetap sama seperti saat masa kecilnya dahulu. Senantiasa menjadi tambatan hati, menyenangkan, serta menjadi kebanggaan keluarga kami.

Sukarmin mengatakan seminggu sebelum musibah, hatinya merasa tak tenang. Ia mengalami kejadian aneh. Tengah malam walau dalam suasana sejuk, namun raganya merasa panas. Dia berinisiatif untuk mandi saat dini hari, namun perasaan gerah tak jua pergi, terus berlangsung selama seminggu.

“Awalnya kami sekeluarga bertekad untuk membawa dan mengebumikan jenazah Ira dan Azka di Bali. Setelah mendapat penjelasan dari Staff KBRI bahwa akan memakan waktu panjang berkisar 1-2 minggu untuk jenazah tiba di Indonesia, kami pun mengurungkan niat tersebut. Dalam ajaran Islam, sesuai syariat Nabi Muhammad SAW, setelah wafat jenazah harus segera dikebumikan untuk memuliakan mereka. Toh di Kahramanmaras merupakan buminya Allah. Ya, Allah kami ikhlas anak-anak kami wafat dan dimakamkan di sana. Kami yakin, mereka hanya butuh doa, serta kiriman pahala agar berada dalam perlindungan Allah SWT, “ujar Bidayati terisak.

Saat perpisahan terakhir dalam suasana pemakaman mengharu biru yang dikirim dalam bentuk video, Bidayati, Sukarmin, beserta keluarga tak mampu membendung kesedihan.
“Saya berusaha untuk kuat saat melihat jenazah Nia. Wajahnya bersih Ya Allah, tak ada sedikitpun luka. Namun saat kamera diarahkan ke jasad Azka, saya tak sanggup untuk melihatnya, “pilu Bidayati. (RP).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini