wanitaindonesia.co – Hasil Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender dari International NGO Forum Indonesia (INFID) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada 2020 yang menunjukkan bahwa 57,3% responden dengan pengalaman kekerasan seksual yang mayoritas adalah perempuan, memutuskan untuk tidak melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialami ke polisi. Mereka khawatir dan takut jika melapor, maka masalahnya akan jadi lebih rumit.
Pekan kemarin, jagat media sosial diramaikan dengan hasil reportase Project Multatuli tentang proses pelaporan kasus tiga anak korban perkosaan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Reportase ini menggambarkan perjalanan seorang ibu yang berupaya untuk mencari keadilan bagi ketiga anaknya dengan melaporkan kasus tersebut ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Kepolisian Resor Luwu Timur hingga Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil dan bahkan melalui proses yang sangat menyedihkan.
Kisah ini kemudian memunculkan berbagai respons dari masyarakat yang diikuti dengan ramainya tagar #PercumaLaporPolisi di berbagai platform media sosial.
Kesaksian-kesaksian yang muncul dengan tagar tersebut menggambarkan ketidakpuasan, kekecewaan, dan ketidakpercayaan masyarakat ketika berurusan dengan polisi dalam berbagai perkara termasuk kasus kekerasan seksual.
(Tidak) melaporkan kekerasan seksual
Ramainya #PercumaLaporPolisi menunjukkan ada anggapan di masyarakat bahwa urusan melaporkan masalah hukum kepada lembaga negara bukan hal yang mudah dilakukan.
Temuan penelitian mengkonfirmasi hal ini. Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia tahun 2019 menunjukkan bahwa 38% masyarakat Indonesia yang mengalami masalah hukum memilih untuk tidak melakukan apapun terhadap masalah hukumnya. Mereka khawatir dan takut jika melapor, maka masalahnya akan jadi lebih rumit.
Menariknya, sebagian besar masyarakat (60,5%) yang mau melaporkan masalah hukumnya, justru memilih untuk melapor ke lembaga non-negara atau ke mekanisme informal seperti ke keluarga atau ke pengurus Rukun Tetangga, Rukun Warga, atau desa, kelurahan setempat.
Studi tersebut juga menemukan bahwa sebagian besar (52%) anggota masyarakat yang enggan melakukan apa pun terhadap masalah hukumnya tersebut adalah perempuan.
Temuan ini dikuatkan oleh hasil Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender dari International NGO Forum Indonesia (INFID) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada 2020 yang menunjukkan bahwa 57,3% responden dengan pengalaman kekerasan seksual — yang mayoritas adalah perempuan — memutuskan untuk tidak melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialami.
Alasan mereka beragam, mulai dari takut, malu, hingga tidak tahu harus melapor ke mana.
Sebagian besar responden (57%) yang mengalami kekerasan seksual mengatakan pada akhirnya tidak memperoleh penyelesaian dalam masalah yang mereka alami.
Jika pun ada penyelesaian, hasil yang didapat tidak mengutamakan kepentingan terbaik korban contohnya seperti dengan membayar sejumlah uang hingga dinikahkan dengan pelaku kekerasan seksual.
Di sisi lain, ada hambatan dari sisi penegak hukum.
Mayoritas responden menganggap penanganan aparat penegak hukum terhadap perkara kekerasan seksual itu cenderung responsif. Namun responden yang menjawab demikian adalah mereka belum pernah mengalami kekerasan seksual.
Sebaliknya, mayoritas responden yang beranggapan aparat tidak responsif adalah mereka pernah mengalami kekerasan seksual.
Baca juga:Â Mengantre viral: perjuangan korban kekerasan seksual di Indonesia
Polisi di garda terdepan
Di sisi lain, riset yang sama menunjukkan bahwa 43,8% responden yang tahu harus melapor ke mana ketika mengalami kekerasan seksual akhirnya lebih memilih untuk melapor ke polisi apabila mereka mengalami kekerasan seksual.
Bahkan, temuan Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia tahun 2019 juga menunjukkan bahwa secara umum (72,1%) masyarakat percaya kepada kepolisian untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dialami.
Ini menunjukkan bahwa di satu sisi, ada harapan dan ekspektasi besar dari masyarakat terhadap kepolisian. Namun, di sisi lain bisa saja masyarakat sebetulnya tidak punya pilihan lain untuk melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialaminya.
Kantor-kantor polisi tersebar hingga level administratif paling bawah untuk memudahkan masyarakat untuk membuat pelaporan masalah hukum. Sehingga dapat dikatakan, bahwa kepolisian merupakan garda terdepan dalam pelaporan kekerasan seksual.
Sayangnya, mekanisme pelaporan yang telah disediakan oleh kepolisian untuk penanganan kekerasan seksual belum didukung adanya perspektif perlindungan korban yang baik dari beberapa anggota polisi.
Alih-alih memperoleh perlindungan dan bantuan, saat melaporkan kekerasan seksual yang dialami, para korban justru mengalami menjadi korban kembali serta harus menghadapi pertanyaan yang seringkali menyudutkan, tidak empati, hingga melecehkan.
Selain itu, tidak hanya polisi namun juga aparat penegak hukum secara umum cenderung abai terhadap kondisi psikologis korban yang menyebabkan korban yang mengalami kekerasan seksual harus menghadapi proses hukum yang panjang dengan perilaku aparat yang tidak empatik.
Wajar bila para korban memutuskan untuk mengandalkan mekanisme informal atau pihak-pihak di luar negara untuk penyelesaian permasalahan hukumnya.
Maka menjadi pertanyaan, apakah polisi dapat benar-benar siap menjadi garda terdepan pelaporan perkara kekerasan seksual?
Baca juga:Â Kasus KPI: potret abainya aparat pada korban kekerasan seksual di Indonesia
Menyiapkan polisi
Ketika terdapat korban kekerasan seksual yang melapor, petugas polisi seharusnya menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman bagi korban untuk menceritakan masalahnya. Polisi seharusnya memastikan keberadaan pendamping korban, jaminan keselamatan korban, adanya pernyataan atau pertanyaan yang tidak menghakimi dan menghargai korban hingga jaminan terwujudnya akses keadilan.
Ini bukan sesuatu yang baru; semua poin ini telah tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana yang dikhususkan untuk perempuan dan anak.
Selain itu, langkah-langkah untuk memastikan perlindungan korban perempuan dan anak juga telah ditetapkan dalam berbagai pengaturan seperti Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 2014 dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Polisi sebagai aparat hukum negara perlu menelaah kembali dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan korban, perempuan, dan anak sesuai berbagai UU tersebut ketika menangani pelaporan perkara kekerasan seksual.
Selain itu, dalam mekanisme pelaporan kekerasan seksual, secara lebih khusus, polisi perlu juga memperhatikan kondisi fisik, psikis maupun kebutuhan pemulihan korban.
Ini dapat dilakukan dengan memastikan adanya penasihat/pendamping hukum, pendamping psikologis hingga pendamping sosial bagi korban.
Untuk memahami kondisi-kondisi tersebut, polisi dapat meminta rekomendasi atau mendorong adanya peran dari pemangku kepentingan lain seperti psikolog, dokter, pekerja sosial, maupun pendamping di penyedia layanan setempat.
Hal-hal ini dapat berimplikasi pada proses penyelesaian perkara secara keseluruhan. Langkah-langkah ini dapat dan telah dilakukan oleh aparat penegak hukum lain sehingga hal ini juga sangat mungkin dilakukan oleh polisi.
Berbagai tindakan polisi yang tidak empatik, diskrimatif, dan tidak melindungi korban masih kerap dilaporkan. Maka peningkatan kapasitas secara mendalam dan komprehensif tentang penanganan perkara yang melibatkan perempuan dan anak masih perlu dan harus terus dilakukan baik kepada calon anggota polisi maupun polisi yang telah bertugas.
Yang tidak kalah penting juga adalah penguatan di sektor non-negara, mengingat terdapat kecenderungan yang tinggi dari masyarakat dalam melaporkan masalah hukum ke pihak-pihak di luar negara.
Penguatan tokoh atau aktor yang dipercaya masyarakat dapat diberikan untuk menerima, merespons atau bahkan meneruskan pelaporan masalah hukum.
Apalagi, pada perkara kekerasan seksual di mana korban yang takut dan malu untuk melapor, maka peran pihak-pihak yang dipercaya inilah yang dapat mendorong akses terhadap keadilan yang lebih luas.