Pakai Pembalut Kain, Tandanya Kamu Ikut Jaga Perempuan dan Lingkunganmu

Pakai Pembalut Kain, Tandanya Kamu Ikut Jaga Perempuan dan Lingkunganmu

wanitaindonesia.coBanyak perempuan tak bisa mengakses pembalut untuk menstruasi. Pembalut kain menjadi solusi atasi ini. Salah satu aktivis, Westiani mengajak para perempuan memakai pembalut kain.

Salah seorang teman saya, masih malu-malu jika mau beli pembalut untuk menstruasi di mini market, rasanya masih canggung kalau keluar dari mini market bawa pembalut dengan plastik putih transparan.

Rasanya itu tak cuma terjadi sekarang, dari dulu perempuan selalu distigmakan tabu ketika membawa pembalut, karena pembalut dianggap sebagai bagian yang harus disembunyikan, gak pantas dilihat publik, dll.

Ini menunjukkan bahwa persoalan menstruasi selalu jadi hal tabu untuk dibicarakan, padahal hari gini?. Penuturan secara turun temurun hingga terbatas di lingkup keluarga, jadi realita tentang minimnya pendidikan kesehatan reproduksi yang masih ditemui sehari-hari. Menstruasi juga dianggap sebatas persoalan perempuan, tidak untuk laki-laki. Inilah yang kemudian semakin memperburuk kondisi.

Perempuan yang menstruasi dilekatkan dengan stigma-stigma, bahwa dia sedang ‘kotor’, tidak boleh keluar rumah, hingga harus sembunyi agar tidak diejek atau dikucilkan. Misalnya saja saat bersekolah, perempuan yang menstruasi ada yang sampai bolos agar tidak diejek ‘tembus’ oleh teman-teman sepermainannya.

“Tidak punya info yang cukup lengkap dan benar, bagaimana memenuhi kebutuhan menjalani menstruasi,” ujar Westiani Agustin dari Biyung Indonesia dalam Live IG Kalyanamitra, Sabtu, (2/9/2021).

Berawal dari kegelisahan itulah, Westiani bersama teman-temannya di Yogyakarta menginisiasikan sebuah perkumpulan untuk mengedukasi perempuan. Utamanya menyoal penghapusan stigma menstruasi. Dari situ, ia lalu menemukan, bahwa ternyata perempuan yang bisa mengakses pembalut ternyata hanya sekitar 20%. Mayoritasnya adalah kalangan menengah ke atas.

Sadar akan dampak lingkungan dari sampah pembalut sekali pakai, Westiani pun mengajak 20% perempuan itu sekaligus kalangan yang sama sekali tidak bisa mengakses pembalut secara layak, agar mengenal pembalut kain. Kenapa tidak kembali seperti dulu, menggunakan pembalut kain?

Upaya awalnya, dia mengajak penggalangan dana untuk menyelenggarakan workshop di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta

“Ada unit produksi (pembalut kain) dan program. Untuk kelompok perempuan yang tidak bisa akses informasi, sehingga di situ kita memulai,” kata Westiani Agustin

Seiring waktu, tak hanya membuat pembalut kain dengan menjahit sendiri, perkumpulan itu juga telah menjadi ‘ruang aman’ bagi perempuan untuk bisa berbagai tentang pengetahuan dan pengalaman menstruasi.

“Membuat perempuan mendapatkan haknya. Menstruasi harusnya tenang, aman, jadi fokusnya di pembalut kain,” imbuhnya.

Kenapa pembalut kain jadi penting?

Coba bayangkan, berapa banyak sampah pembalut yang kamu bisa hasilkan dalam sekali periode menstruasi? Jika sehari, kamu bisa ganti pembalut 2 sampai 3 kali, maka tujuh hari saja sudah menghasilkan sampai 21 lembar sampah pembalut. Bagaimana jika diakumulasikan dengan jutaan perempuan lainnya? Tentu banyak sekali sampah pembalut ini yang dihasilkan.

Kondisi ini diperparah, kala sampah pembalut juga banyak yang dibuang tidak secara layak. Semisal, dicampur dengan aneka sampah lain tanpa dibersihkan dengan baik, hingga dibuang begitu saja ke sungai atau laut. Atau ada pula yang dikubur bahkan dibakar yang tentu saja menghasilkan polusi.

Tumpukan sampah pembalut sekali pakai, memang jadi masalah tersendiri bagi lingkungan. Karakteristiknya yang sulit terurai, bisa berdampak mencemari air ataupun tanah. Sementara, jumlah limbah pembalut semakin bertambah seiring penggunaannya yang juga terus meningkat.

Persoalan soal pembalut menstruasi ini, bisa jadi lebih kompleks. Selain berdampak buruk bagi lingkungan, akses mendapatkannya juga tidak selalu mudah. Terlebih di kawasan yang jauh dari fasilitas publik hingga karena keterbatasan ekonomi. Maka dari itu, penggunaan pembalut kain lagi-lagi bisa menjadi alternatif. Di samping mudah, murah juga lebih ramah lingkungan.

“Teman-teman semangat sekali. Saya sampai beli mesin jahit online, dapat. Mesin jahit portable, sambil mengajar bisa belajar jahit tangan (pembalut kain),” ujar Javiera Rosa Moiwend dari Komunitas Kewita Papua.

Sama seperti Westiani, Rosa pun kini bersama teman-teman di Papua menginisiasikan perkumpulan perempuan: belajar hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) dan menjahit pembalut kain.

Menurut Rosa, pendidikan soal menstruasi dan pemenuhan sanitasi yang baik termasuk pada pembalut kain sangat penting dilakukan. Sebab utamanya di daerah rawan konflik, hal tersebut seringkali terabaikan. Konflik hanya digunakan sebagai ‘alat kepentingan ekonomi politik’ sementara hak-hak perempuan diindahkan.

“Menstruasi butuh air. Kalau di daerah yang sudah sulit air bersih, sungai kering karena sawit, jadi orang harus berjalan (lebih jauh), itu jadi kendala. Hanya mengandalkan air hujan, itu pun hanya untuk konsumsi sedangkan mandi hanya satu kali sehari. Sekarang dengan perubahan iklim, curah hujan berubah-ubah, jadi tidak selalu hujan,” tuturnya.

Di kondisi sulit itu, Rosa bilang, perempuan dengan kebutuhan HKSR-nya termasuk menstruasi akan lebih kesulitan bisa hidup sehat. Belum lagi, jika banyak dari perempuan yang mesti hidup berpindah-pindah dan berdesakan di camp penampungan.

Dari situlah, pelan-pelan dia menyosialisasikan pembalut kain dalam berbagai kesempatan forum. Termasuk kalangan muda dan remaja perempuan yang ada di Papua.

“Menjahit (pembalut kain), asik juga ya. Ternyata gak sulit. Akhirnya mereka mau ikut, kita coba bersama. Memang prinsip perempuan bantu perempuan,” pungkasnya. (wi)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini