wanitaindonesia.co – Pengakuan korban kekerasan seksual KPI menjadi contoh bahwa sebuah kasus perlu jadi viral dahulu supaya diperhatikan dan ditindaklanjuti.
Belum lama ini, sebagian warganet marah dan kecewa pada pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) setelah salah satu pegawainya mengaku mengalami kekerasan seksual di institusi tersebut. Kasus itu menjadi perhatian publik karena korban bercerita di media sosial, lalu kemudian viral. Korban merasa tidak memiliki jalan lain untuk memperoleh keadilan.
Sama seperti halnya perempuan korban kekerasan seksual, laki-laki yang menjadi korban juga mendapatkan stigma sosial yang secara khusus mempertanyakan maskulinitasnya. Stigma sosial yang berakar pada internalisasi norma gender yang merugikan ini membuat korban sulit mengakses keadilan.
Survei daring tentang kekerasan seksual yang diadakan Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene pada 2016 menemukan bahwa 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat penegak hukum. Korban cenderung takut bersuara karena malu, adanya relasi kuasa tidak seimbang, serta pembuktian kasus yang rumit.
Indonesia membutuhkan hukum tentang kekerasan seksual yang lebih spesifik dan menyeluruh agar menjadi viral tidak menjadi satu-satunya jalan keluar.
Mencari Keadilan lewat Media Sosial
Melalui unggahannya di media sosial, sang pegawai KPI mengaku telah mengambil berbagai upaya untuk mendapatkan keadilan, namun hasilnya nihil. Kronologi yang ia bagikan kemudian menjadi viral dan mendapatkan perhatian.
Ini bukan kali pertama cerita mengenai kekerasan seksual viral di media sosial dan mendapatkan perhatian publik. Urutan ceritanya kurang lebih sama dan berulang.
Pertama, korban merasa sulit mengakses keadilan dengan berbagai alasan seperti kurangnya alat bukti, anjuran untuk menyelesaikan secara “kekeluargaan”, dan tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan.
Kedua, kekerasan seksual berulang dan dialami oleh lebih banyak orang. Hal ini terlihat pada kasus kekerasan seksual di KPI yang berulang pada orang yang sama, dan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang menimpa lebih banyak mahasiswa.
Ketiga, korban merasa belum puas dan mencoba mencari keadilan melalui jalan lain yakni dengan membagikan ceritanya di media sosial. Dalam beberapa kasus, tidak selalu korban yang secara langsung bercerita (atau istilah populernya spill the tea). Teman atau pendamping korban juga berperan dalam membagikan cerita tersebut.
Keempat, setelah korban maupun penyintas membagikan ceritanya di media sosial, ada dua kemungkinan yang terjadi yakni menjadi viral atau terkubur dalam belantara ruang siber.
Kasus kekerasan seksual yang menjadi viral patut dirayakan, setidaknya karena membuat publik memberikan dukungan dan menaruh perhatian pada kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Meski demikian, menjadi viral baru sebuah awalan untuk proses penyelesaian kasus yang panjang dan berliku.
Cerita viral tidak selalu berakhir bahagia. Beberapa cerita berakhir tanpa penyelesaian dan bahkan berujung pada kriminalisasi korban dengan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Aktivisme Tagar
Aktivisme tagar (hashtag activism) sebagai sebuah tindakan untuk membangun dukungan publik atau menunjukkan perlawanan (protes massa) melalui media sosial telah berkembang sebagai pendekatan yang populer.
Aktivisme tagar adalah fenomena unik abad ke-21: orang-orang yang memiliki tujuan spesifik menggunakan media sosial — khususnya Twitter — untuk mendorong perubahan sosial.
Aktivisme tagar juga memungkinkan perubahan di dunia nyata terjadi.
Berbeda dengan praktik aktivisme pada umumnya, aktivisme tagar tidak memerlukan tindakan apa pun dari pengguna selain ‘berbagi’ atau ‘menyukai’ unggahan di media sosial.
Aktivisme ini memberikan kesempatan bagi orang biasa — yang tidak memiliki akses ke bentuk-bentuk kekuasaan tradisional — menciptakan narasi baru maupun narasi tandingan yang politis dan menarik sekutu.
Meski membuka peluang bagi siapa pun, aktivime tagar khususnya di Twitter memiliki mesin logika sendiri.
Dalam beberapa kasus, tokoh publik (selebriti, aktris, influencer, politikus, pejabat) memiliki peranan dalam memperluas jejaring aktivisme di internet.
Dalam isu kekerasan seksual, aktivisme tagar menjadi menarik karena memberi ruang bagi perbincangan isu yang selama ini terkurung di ruang privat.
Selain berfungsi sebagai medium untuk mengorganisasi dan menggalang dukungan untuk korban, aktivisme tagar secara tidak langsung membangun kesadaran publik terkait diskursus dan urgensi kekerasan seksual.
Hal ini tercermin pada aktivisme tagar #KitaAgni dan #NamaBaikKampus yang menjadi medium bersuara bagi korban dan penyintas, ruang advokasi, dan perbincangan kritis isu kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Tantangan Kebijakan
Membagikan cerita kekerasan seksual di media sosial menjadi jalan alternatif yang dipilih korban dan penyintas untuk mendapatkan keadilan – atau setidaknya untuk sekadar diakui pengalamannya.
Namun, apakah korban kekerasan seksual harus menunggu cerita mereka viral terlebih dulu untuk mendapatkan respons dari aparat penegak hukum?
Jika media sosial telah bergerak maju dan membuka kesempatan bagi korban untuk bersuara, bagaimana dengan sistem hukum?
Sejauh ini, Indonesia belum memiliki payung hukum yang secara spesifik dan komprehensif mengatur tentang kekerasan seksual. Hukum yang ada hanya mengatur tindak pidana perkosaan dan perbuatan cabul yang tertuang dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP).
Pengaturan tersebut juga belum mengakomodasi berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya seperti; perkosaan terhadap laki-laki, pemaksaan aborsi, pemerkosaan dalam perkawinan, eksploitasi seksual, dan lain-lain.
KUHP masih berfokus pada penghukuman pelaku alih-alih secara bersamaan memfasilitasi pemulihan bagi korban kekerasan seksual.
Pada pelaksanaannya, laporan korban kekerasan seksual sering kali tidak diterima, proses hukum yang berjalan lambat atau bahkan terhenti di tengah jalan, hingga adanya sikap seksisme yang dihadapi korban dan para pendamping hukum.
KUHP tidak secara eksplisit berorientasi kepada kepentingan korban. Korban masih dilihat sebagai pihak yang membantu mengungkapkan perkara semata, bukan pihak yang telah mengalami kerugian sehingga perlu mendapat perlindungan dan pemulihan.
Lebih jauh, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (yang kemudian diubah namanya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang diperjuangkan oleh masyarakat sipil pun masih dalam tahap penyusunan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah gagal disahkan dalam masa persidangan DPR periode 2014-2019.
Kita mengharap RUU ini menjadi payung hukum untuk melindungi dan memberikan jaminan akses keadilan, kebenaran, dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual (perempuan, laki-laki, anak, kelompok minoritas) di berbagai ranah.
Namun, sayangnya draf RUU yang baru masih luput dari banyak substansi dan prinsip mendasar.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pada awalnya dirancang untuk menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice), artinya penyelesaian perkara berbasis pemulihan bagi korban, pelaku, dan masyarakat.
Meski demikian, pemerintah tidak cukup ambisius dalam memerangi kekerasan seksual di Indonesia; bahkan anggota tim ahli DPR mengatakan bahwa penghapusan kekerasan seksual mustahil dilakukan.
Payung hukum terkait kekerasan seksual adalah kebutuhan mendesak. Kita tidak bisa lagi membiarkan korban dan penyintas berjuang sendirian, menunggu cerita mereka viral, dan terancam UU ITE dalam perjalanannya.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual semestinya ditinjau ulang dengan basis riset dan bukti empiris pengalaman korban, pendamping, dan ahli.
Hukum harus bergerak maju, mencegah terjadinya keberulangan kasus pada masa depan, dan memulihkan masyarakat. (wi)