Korea Selatan Tolak Maskulinitas Kaku, Lalu Kenapa Masih Seksis?

Korea Selatan Tolak Maskulinitas Kaku, Lalu Kenapa Masih Seksis?

wanitaindonesia.coLaki-laki Korea Selatan terkenal menolak konsep maskulinitas yang kaku, tapi menjadi paradoks ketika menjadi alat untuk melanggengkan misogini.

“Enggak mau makeup-nya sia-sia, jadi saya ambil foto,”

Jin dari BTS mengunggah cuitan itu bersama swafoto yang menampilkan wajah mulus tanpa celah di akun Twitter grupnya. Saat itu, ia merayakan terpilihnya BTS sebagai Group of The Year oleh Variety 2019 lalu. Anggota paling tua BTS pun mengunggah foto tersebut untuk menyapa penggemarnya, ARMY. Namun, beberapa di antara mereka menilai cuitan itu sebenarnya sindiran untuk orang-orang Amerika Serikat (AS) yang mengejek BTS karena mengenakan riasan wajah.

Idola laki-laki mengenakan riasan sejatinya hal yang lazim di Korea Selatan. Namun, bagi AS bahkan di berbagai penjuru dunia, laki-laki yang mengenakan makeup adalah sesuatu yang sangat asing. Pasalnya, mereka menilai riasan wajah atau segala macam produk kecantikan sebagai sesuatu yang dimaksudkan untuk perempuan. Laki-laki pun tidak boleh mengadopsi sesuatu yang keperempuanan. Karenanya, makeup yang dikenakan idola K-pop menjadi sorotan untuk dicemooh sekaligus ajang mempertanyakan maskulinitas dan seksualitasnya.

Namun untuk idola K-pop, mengenakan riasan menjadi semacam rutinitas dan keharusan untuk tampil menarik. Penampilan fisik yang rupawan itu juga menjadi alat untuk menggaet penggemar. Hal ini juga dipengaruhi oleh standar laki-laki ideal masyarakat Korea Selatan yang ‘kemayu’. Mantan anggota boyband U-KISS, Kevin Woo juga mengatakan hal yang senada. Buatnya, industri K-pop mengacu pada tren atau yang ideal di masyarakat.

“Saat kami pertama debut (2008), pakaian kami sangat mencolok. Kami mengenakan banyak aksesoris dan kadang kita kelihatan seperti (karakter) dari anime,” ujarnya dikutip dari Allure.

Roald Maliangkay, direktur Korea Institute at The Australia National University mengatakan, banyak anak muda Korea Selatan yang mencoba terlihat seperti idola K-pop. Pengaruh budaya populer dan standar kecantikan menuntut mereka untuk mempermak diri menjadi menarik. Mereka akan mengenakan pakaian yang sama, mengikuti model dan warna rambut, dan mengenakan riasan.

Berdasarkan itu, menurut Euromonitor, laki-laki menjadi konsumen skincare yang tumbuh 44 persen selama 2011-2012. Karenanya juga tidak heran jika 21 persen dari konsumen produk kecantikan laki-laki global berasal dari Korea Selatan.

“Ini mungkin tampak seperti ‘keperempuanan’ untuk yang bukan orang Korea, tapi (fenomena kecantikan laki-laki) ini bisa dijelaskan dengan cara yang lain. Untuk orang Korea, misalnya, orang yang cocok dengan tipe ideal ini bisa digolongkan sebagai macho,” ujarnya dikutip CNN.

“Meskipun memang ada orang Korea yang masih tetap menganggap aneh laki-laki mengenakan riasan, mereka tidak akan mengasosiasikannya dengan keperempuanan,”

Idola Bantu Terobos Maskulinitas Rigid

Dalam skala diskursus yang lebih besar, idola laki-laki mengenakan riasan disebut mengindikasikan tidak tunduk pada konsep maskulinitas rigid untuk menjadi laki-laki. Namun, jika ditelisik lagi, masyarakat Korea Selatan yang konsep maskulinitasnya berbeda ini mulanya juga didorong oleh idola laki-laki pada 1990-an.

Sebelum idola K-pop dan menjadi tren, laki-laki Korea Selatan mengemban konsep maskulinitas yang kaku. Hal itu karena kepercayaan Konfusianisme melarang laki-laki mengenakan riasan. Di tengah masyarakat yang masih rigid tersebut, penyanyi Korea-Amerika, Yang Joon-il melakukan debut dengan lagunya ‘Rebecca’ pada 1991. Yang Joon-il bisa disebut sebagai gambaran idola laki-laki K-pop modern dengan gayanya yang flamboyan. Namun, hal itu masih sangat asing untuk masyarakat Korea Selatan, belum lagi Yang Joon-il yang memiliki latar dari AS yang membuatnya semakin diragukan di mata publik. Singkatnya Yang Joon-il ditolak khalayak.

Namun, kasusnya berbeda dengan Seo Taiji and Boys yang debut setahun kemudian. Mereka lebih diterima masyarakat karena dinilai membawa nuansa ‘segar’ dari segi musikalitas. Terlebih lagi Seo Taiji and Boys tidak memiliki latar ‘orang asing’. Mereka pun menjadi pionirnya budaya K-pop dan panutan semua grup idola K-pop yang datang setelahnya. Era yang meredefinisi konsep maskulinitas pun di buka.

Lee Soo-man, pendiri salah satu agensi hiburan terbesar Korea Selatan, SM Entertainment kemudian membentuk grup idolanya, H.O.T. Beranggotakan lima orang laki-laki yang tampan sekaligus memiliki pesona kekanakan, H.O.T menjadi formula standar untuk sebuah grup idola. Penampilan laki-laki yang lembut pun banyak digemari, karenanya, muncul istilah Kkonminam atau flower boys yang biasanya juga digunakan untuk menggambarkan laki-laki dalam K-drama. Alasan lain karena maskulinitas, seperti laki-laki tentara dianggap tidak relevan lagi.

Sun Jung, penulis buku Korean Masculinities and Transcultural Consumption mengatakan, kkonminam juga tidak sama dengan menjadi feminin. Dia mencontohkannya dengan aktor Song Joong-ki yang menggambarkan kkonminam dengan sempurna.

“Saya rasa fenomena ini sebaiknya dijelaskan sebagai maskulinitas yang versatile, lembut tapi manly di saat bersamaan, tentunya berbeda dengan di-femininkan,” ujarnya dikutip dari BBC.

Tidak semua laki-laki Korea Selatan adalah kkonminam. Beberapa grup idola juga menampilkan mereka dengan citra yang berbanding terbalik laki-laki lembut itu. Biasanya disebut Beast-dolls, seperti Monsta X, 2PM, dan BAP. Mereka memang ditampilkan dengan cara yang ‘jantan’ dengan perut kotak-kotak dan wajah yang gagah. Namun, tetap saja ada unsur-unsur maskulinitas yang lebih cair diimplementasikan, seperti mengenakan eyeliner untuk tampil garang. Pasalnya, itu cara laki-laki Korea Selatan mendefinisikan maskulinitas.

“Cara idola K-pop memainkan maskulinitas, apa artinya menjadi laki-laki menarik dari pandangan yang heteroseksual atau non-heteroseksual, membuka berbagai kesempatan untuk laki-laki melihatnya lebih diterima,” ujar Joanna Elfving-Hwang, akademisi dari University of Western Australia pada BBC. .

Maskulinitas yang Paradoks

Konsep maskulinitas masyarakat Korsel yang tidak kaku ini memang sering jadi sorotan dan disebut sebagai terobosan melawan norma gender normatif oleh media. Namun, muncul pertanyaan jika konsep maskulinitas ini bisa ‘maju’, mengapa tidak  bisa diaplikasikan ke isu sosial lain, seperti seksisme?

Korea Selatan memang masih memiliki PR besar terkait kesetaraan gender. Menurut survei Perception of Gender Inequality South Korea, 2020, by Gender, 74,6 persen responden perempuan menyatakan masyarakat bersikap tidak adil pada perempuan. Semetara 18,6 persen responden laki-laki yang menilai perempuan mengalami penindasan. Selain itu, hanya 17.7 persen perempuan yang menilai masyarakat memperlakukan perempuan dengan adil di Korea Selatan.

Tidak hanya itu, belum lama ini isu anti-feminisme di Korea Selatan kembali marak ketika atlet pemanah An-San dirundung di forum online dengan komentar sarat misogini. Penyebab dari ketidakadilan gender tersebut berakar dari nilai-nilai Konfusianisme dan menyamaratakan feminisme dengan misandri atau kebencian pada laki-laki. Melengkapi dua faktor itu, Jinsook Kim, akademisi dari University of Texas berargumen penyebab lain yang melanggengkan seksisme dan misogini tersebut karena maskulinitas. Hal itu disampaikan dalam artikelnya Misogyny for Male Solidarity: Online Hate Discourse Against Women in South Korea.

Meskipun artikelnya fokus pada rasa kebencian pada perempuan di forum daring, Jinsook Kim menyatakan nilai-nilai misogini yang berkembang subur di masyarakat Korea terpelihara karena hegemoni maskulinitas. Hal itu kemudian melegitimasi nilai patriarkal yang akan semakin menindas perempuan, sementara laki-laki tetap dominan.

“Hegemoni maskulinitas memang sering berkaitan dengan misogini. Menurut Sedgwick (akademisi gender di AS), male bonding atau homososialitas ini dipererat dengan homofobia dan misogini untuk mempertahankan dominasi laki-laki,” tulisnya.

Walaupun laki-lakinya telah membongkar batasan dengan kkonminam, maskulinitas tetap akan digunakan sebagai alat menetapkan hierarki sosial dan perempuan yang di bawah. Konsep maskulinitas di Korea Selatan pun menjadi paradoks. Ketika maskulinitasnya dipuja warga dunia, secara bersamaan hal itu tetap digunakan untuk melanggengkan nilai-nilai patriarkal.

Hal yang senada juga bisa diaplikasikan untuk perilaku homofobia. Meskipun skinship antara laki-laki bukan hal yang aneh, masyarakat masih tetap homofobik. Melihat hal ini, konsep maskulinitas yang dinilai maju, sebenarnya mundur selangkah karena kesetaraan gender masih ditinggalkan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini