Ingat Pesan Kartini: Buka Akses Pendidikan Perempuan

Ingat Pesan Kartini: Buka Akses Pendidikan Perempuan

wanitaindonesia.co Dibandingkan laki-laki, perempuan cenderung lebih minim mengakses pendidikan. Pemerintah dan masyarakat, ingat-ingatlah pesan Kartini, yang sangat serius memperjuangkan ini

Ingat-ingatlah pesan Kartini! Ini mungkin harus jadi mantra yang kuat untuk memperjuangkan pendidikan perempuan saat ini.

Apa yang dulu telah dilakukan Kartini, selalu menarik untuk didiskusikan hingga sekarang. Dalam pendidikan perempuan, Kartini meletakkan pondasi yang penting: perempuan harus punya akses dan kesempatan pendidikan

Tulisan Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang telah banyak dibahas oleh para pejuang kemerdekaan dan menjadi rujukan perjuangan hak-hak perempuan hingga  masa kini

Sebelum masa kemerdekaan, Perhimpunan Indonesia (PI), sebuah perhimpunan pelajar Indonesia di Belanda pernah mengadakan rapat dan membahas konsep nasionalisme Kartini pada tahun 1911.

Setahun setelahnya, Tjipto Mangoenkoesoemo juga membentuk sebuah kelompok diskusi bernama “Kartini Club”. Selain itu, secara konsisten Tjipto Mangoenkoesoemo mengirimkan tulisannya ke surat kabar De Expres milik Douwes Dekker dan menunjukkan bahwa emansipasi Kartini bukan hanya untuk kaum perempuan.

Salah satu pemikiran dan perjuangan dari Kartini adalah memajukan perempuan Indonesia dalam aspek pendidikan. Kartini berpikiran bahwa setiap orang harus memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Nyatanya, pada saat itu hanya kaum laki-laki yang umumnya dapat bersekolah. Untuk itu, Kartini mendirikan sekolah khusus perempuan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.

Berkat kegigihan Kartini, belakangan didirikan Sekolah perempuan oleh Yayasan Kartini di Semarang pada tahun 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”.

Pendidikan Perempuan Indonesia Kini

Secara umum, kondisi perempuan di Indonesia sebetulnya perlahan sudah mulai membaik. Tidak sedikit perempuan yang mulai menempati posisi strategis, mulai dari pimpinan perusahaan, menjadi anggota parlemen, menjadi menteri, bahkan Indonesia pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarno Putri.

Dalam aspek pendidikan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), juga telah terjadi peningkatan setiap tahunnya terkait Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) perempuan Indonesia. Pada tahun 2017, RLS perempuan sebesar 7,65 tahun, lalu pada tahun 2018 sebesar 7,72 tahun, pada tahun 2019 sebesar 7,89 tahun, dan pada tahun 2020 sebesar 8,07 tahun.

Namun demikian, perjuangan untuk mencapai kesetaraan hak pendidikan bagi perempuan masih menjadi tantangan. Dibandingkan laki-laki, perempuan cenderung lebih minim bisa mengakses pendidikan.

Ketimpangan ini, tampak pada data BPS yang menunjukkan bahwa RLS perempuan Indonesia masih berada di bawah laki-laki, di mana pada tahun 2020, RLS laki-laki 8,90 tahun. Sedangkan perempuan 8,07 tahun.

Tingkat buta huruf pada perempuan yang relatif tinggi juga masih menjadi masalah tersendiri. BPS mencatat penduduk perempuan yang berumur 10 tahun ke atas, mengalami kondisi buta huruf juga lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Pada tahun 2018, terdapat 5,42% perempuan yang berumur 10 tahun ke atas namun masih buta huruf. Pada tahun 2019 sebanyak 5,12% dan pada tahun 2020 sebesar 4,92%. Sedangkan untuk laki-laki, angka buta huruf di atas umur 10 tahun jauh lebih rendah, yaitu 2,32% di tahun 2020.

Dua indikator ini mengindikasikan bahwa sampai saat ini masih ada ketimpangan tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia: perempuan mempunyai tingkat pendidikan yang lebih rendah dan buta huruf yang lebih tinggi. Melihat situasi ini, tentu kita bisa merefleksikan, bahwa apa yang dicita-citakan oleh Kartini dalam bidang pendidikan masih perlu untuk terus diperjuangkan.

Ada beberapa hal yang perlu didorong untuk dapat meningkatkan pendidikan perempuan Indonesia. Pertama adalah mendobrak pemahaman bahwa urusan perempuan adalah “sumur, kasur dan dapur”. Kini, perempuan bisa menjadi apa saja sesuai yang dicita-citakan. Untuk itu, perempuan perlu mendapatkan pendidikan yang layak, sama halnya dengan laki-laki. Pendidikan merupakan hak setiap individu, terlepas apapun gendernya.

Kedua adalah negara harus memperhatikan pendidikan bagi perempuan. Misalnya, dengan cara mendorong program wajib belajar 12 tahun, khususnya bagi perempuan. Pemerintah juga perlu mengevaluasi apa yang menjadi permasalahan perempuan dalam bidang pendidikan sehingga dapat mencari solusi yang terbaik.

Selain itu, program wajib belajar 12 tahun secara tidak langsung juga dapat menjadi solusi tingginya perkawinan anak saat ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini