wanitaindonesia.co – Tak bisa dipungkiri, trauma otak tampaknya telah dialami banyak orang selama pandemi COVID-19. Secara sadar atau tidak, beragam pengalaman menyakitkan telah memicu kemunculan trauma ini. Di antaranya, mulai dari ketidakmampuan bertemu orang terkasih, kehilangan pekerjaan, hingga diperlakukan tidak adil.
Berbeda dengan traumatic brain injury yang dipicu pengalaman fisik, trauma otak muncul karena pengalaman traumatis secara emosional. Trauma ini bisa muncul karena kesedihan yang mendalam, pengalaman dilecehkan, diselingkuhi, putus, perceraian, dan pengalaman buruk yang mendalam lainnya.
Ketika kamu mengalami trauma emosional, kamu tidak hanya diserang secara emosi tetapi tubuhmu secara fisik juga akan mengalami beberapa gejala.
Salah satunya mengalami apa yang disebut sebagai brain fog. Kondisi ini membuatmu kesulitan untuk mengingat kembali hal-hal yang biasanya dapat kamu ingat. Di samping itu, kondisi ini juga muncul bersamaan dengan gejala lain seperti mudah lelah dan kesulitan tidur.
Mengamini hal tersebut, menurut Psikologis sekaligus Konsultan di Portland, Oregon, Amy Stoeber, seseorang cenderung akan memiliki masalah dengan ingatannya setelah mengalami segala jenis trauma. Dalam hal ini, otak akan mengaburkan ingatan demi mendukung tubuh menggunakan energi untuk mempertahankan hidup.
“Ketika berada pada keadaan trauma akut, stres berkepanjangan, atau trauma kompleks, sebagian otaknya sebenarnya sedang berkelahi, lari, pingsan, atau membeku. Pada tahap ini, tubuh menggunakan semua energi dan sumber daya yang tersisa untuk bertahan hidup. Meski ia mungkin memiliki ingatan tentang apa yang terasa menakutkan, atau memicu, bagian lain dari sistem otak akan menganggap ingatan itu samar atau tidak pernah ada. Otak di sini, melakukan tugasnya untuk melindungi tubuh di atas segalanya. Pada akhirnya, seringkali korban trauma akan kesulitan mengingat sesuatu atau bagian dari ingatan tertentu,” jelasnya.
Selain itu, menurut Stoeber, kamu juga dapat mengalami kondisi yang dikenal dengan sebutan adjustment disorder. Kondisi ini digambarkan dengan kondisi otak yang mudah ter-trigger dan sensitif terhadap kenangan seputar trauma. Diri akan mudah merasa ketakutan, waspada berlebihan, atau kesulitan menenangkan diri.
Kendali emosional juga semakin sulit, seperti mudah tersinggung, marah, atau merasa ‘stres’. Bahkan mungkin memperparah kondisi mental yang sebelumnya dialami, seperti gangguan kecemasan, depresi, dan lainnya.
Di samping adjustment disorder, beberapa orang yang mengalami trauma, cenderung memiliki post-traumatic stress disorder atau PTSD. Bila kondisi ini dialami dalam waktu yang cukup panjang, para pakar kesehatan mental biasanya menyebutnya dengan complex PTSD. PTSD berbeda dengan brain fog, kondisi yang satu ini ditandai dengan flashbacks atau reaksi fisik sebagai respon atas ingatan akan trauma. Ketiga kondisi tersebut dapat menjadi bagian dari dari trauma otak. Kamu dapat mengalami satu atau dua kondisi ini pasca trauma.
Tubuh dan mentalmu sebenarnya lelah, tapi kamu tetap terhubung dengan hal yang membuatmu trauma.
Kamu memperhatikan segalanya tapi tidak mengingat apa-apa, marah dan putus asa mencari cinta dan rasa aman, dan mungkin mengalami gejala panik. Dengan kata lain, kamu kewalahan dengan dirimu sendiri baik dari fisik maupun sisi emosional.
Sayangnya, banyak orang masih takut untuk meminta bantuan maupun membicarakan mengenai traumanya karena merasa malu, lemah, dan takut dihakimi orang lain. Bila kamu menghadapi kondisi ini, langkah terbaik menurut Stoeber ialah berkonsultasi dengan terapis untuk mendapatkan informasi dan perawatan yang tepat dalam mengatasi traumamu.
Tak hanya itu, kamu juga perlu mengelilingi diri dengan orang-orang yang kamu tahu mencintaimu dan kamu nyaman menjadi diri sendiri bersamanya. “Kita tahu bahwa berada dalam hubungan yang aman, stabil, dan terpelihara memungkinkan otak kita untuk pulih,” jelasnya. Orang-orang yang mencintaimu pasti akan mendukung dan menjagamu agar tidak merasa buruk dengan trauma otak yang kamu miliki.
Sementara itu, untuk pemulihannya memang tidak bisa diperoleh dalam waktu singkat. Menurut Stoeber, lama pemulihan tergantung pada dua hal, yakni keamanan dan proses. Seiring kamu merasa aman, semakin cepat pula otakmu pulih. Hal ini bisa diperoleh dengan mengidentifikasi trigger-mu, dan sebisa mungkin singkirkan dirimu dari trauma tersebut. Misalnya, kamu berada dalam toxic relationship, sebisa mungkin segera keluar dari hubungan tersebut. Lakukan apapun yang bisa memberimu kenyamanan dan rasa syukur atas kondisi tersebut.
Bagi Stoeber, “proses” pada proses penyembuhan berkaitan dengan bagaimana kamu memproses traumamu. Dalam hal ini, setiap orang tidak akan memiliki perawatan yang sama. Ada yang perlu hanya memerlukan satu perawatan, ada juga yang memerlukan kombinasi terapi, obat-obatan, meditasi dan lainnya. Kamu perlu bereksperimen untuk menemukan mana yang dapat membantu proses pemulihanmu, Ladies.
Meski kamu sekarang tengah memiliki trauma otak, tenang Ladies, tidak berarti kamu harus hidup selamanya dengan trauma dan segala gejalanya itu. Kamu bisa mengubahnya, bahkan kamu dapat menjadikan pengalamanmu tersebut sebagai pelajaran untuk menjalani hidup yang lebih bahagia, lebih damai, dan lebih bermakna. (wi)