wanitaindonesia.co – “Karena memprotes persyaratan berat badan awak kabin pesawat yang kegemukan, Bonitha harus di PHK. Perusahaan Garuda Indonesia memberhentikan Bonitha. Bonitha tak mau tinggal diam. Ia memprotes Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak yang menimpanya.”
Pekan lalu di tengah suasana lebaran, Bonitha Sary, perempuan pramugari berhadap-hadapan dengan Garuda Indonesia, maskapai penerbangan nomor satu di Indonesia. Kami menemui Bonitha Sary.
Kisah yang menimpa Bonitha, begitu perempuan 51 tahun ini biasa dipanggil, terbilang tidak lazim. Pada 14 November 2018, Bonitha digugat pihak PT Garuda Indonesia di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri (PN) Serang Kelas IA, Bateng. Gugatan kepada Bonitha bertujuan untuk memperoleh dasar hukum yang kuat demi memutus hubungan kerja/melakukan PHK.
“Dalam gugatannya, Garuda Indonesia menyatakan saya tidak fit untuk terbang sejak 11 Juli 2013. Tapi bisa saya bantah dengan buku FAC (Flight Attandant Certificate) terakhir saya, ada catatan soal pendidikan perpanjangan sertifikat hingga bulan Oktober 2013. Lalu Garuda dari mana mendapatkan data bahwa sejak 11 Juli 2013 saya sudah tidak fit dan sudah tidak bisa terbang? Sangat mengada-ada untuk mem-PHK saya”, ujar Bonitha sembari menunjukkan FAC yang dimaksud.
Garuda Indonesia melakukan PHK pada pramugarinya, Bonitha karena Bonitha dinilai kelebihan berat badan sekitar 4 kilogram dari batas maksimal yang ditentukan pihak Garuda Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Surat Keputusan EVP Business Support & Corporate Affairster tanggal 30 Agustus 2005, bahwa batas maksimum toleransi penyimpangan persyaratan berat badan bagi awak kabin perempuan yang berusia 31-50 tahun dan memiliki tinggi badan 160 cm adalah 56,32 kg. Bonitha memiliki tinggi badan 160 cm dan berat badannya 60 kg.
“Surat EVP itu kan peraturan perusahan (PP). Masa berlaku PP hanya 2 tahun menurut UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003?. Ketika sudah ada Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang kami lakukan, maka otomatis peraturan perusahaan itu sudah tidak berlaku lagi, bukan hanya sudah kadaluarsa, tapi sudah tidak boleh digunakan lagi.”
Bonitha juga menjelaskan ketidakberesan proses mediasi yang terjadi antara dia dan pihak Garuda Indonesia.
“Saya cross check ke Disnaker Tangerang ternyata Disnaker mengundang mediasi di alamat yang keliru yaitu di Jalan Getinting II no 20. Mediator tidak cermat dalam melakukan mediasi, karena di dalam risalah bipartit ada alamat saya sesuai Kartu Tanda Penduduk (KTP), jadi ketidak hadiran saya kemarin bukan karena saya tidak mau hadir mediasi, tetapi mediator keliru dalam mengirimkan undangan mediasi.”
Sebelum berbenturan dengan Garuda Indonesia, sulung dari enam bersaudara ini, dikenal aktif di Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (Ikagi) sejak 2004 hingga 2015. Pada periode 2012-2015 Bonitha menjabat sebagai Ketua Umum Ikagi. Perihal aktifitasnya di Ikagi, dia menjelaskan,
“Saya membela teman-teman sesuai aturan yang berlaku saja. Diantaranya membantu awak kabin membatalkan usia pensiun dari 46 tahun ke 56 tahun. Membatalkan PHK karena berat badan. Membantu pramugari agar tidak dimutasi, Masa Persiapan Pensiun (MPP) yang tidak sesuai aturan, dan banyak lagi. Banyak yang berhasil.”
Keganjilan lain dalam kasus yang dialami perempuan kelahiran Jakarta ini, risalah rapat Sumber Daya Manusia tertanggal 25 April 2014 yang menyatakan bahwa Bonitha di PHK. Namun pada 2 September 2014 Bonitha menandatangani Perjanjian Kerja Bersama di Garuda.
“Jadi Garuda Indonesia kala itu berunding PKB dengan orang yang sudah mereka PHK.”
Dalam perjuangannya ini Bonitha ingin mendapatkan keadilan dan kepastian hukum bagi pekerja sektor penerbangan, khususnya pramugari.
“Kita perempuan jangan takut berjuang untuk hak kita. Garuda Indonesia itu BUMN, bagian dari negara, seharusnya lebih taat hukum.”
Bonitha Sary, seorang pramugari masih memperjuangkan haknya hingga kini.
Guruh Riyanto, bekerja sebagai jurnalis dan menjadi pengurus Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)