Dara Nasuition: Memutus Rantai Kekerasan Di Medsos Versi Dara Nasution

Dara Nasuition: Memutus Rantai Kekerasan Di Medsos Versi Dara Nasution
Ilustrasi

wanitaindonesia.coPerkembangan media sosial (medsos) ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, medsos memudahkan interaksi dan memperluas akses informasi, di sisi lain, medsos juga bisa memfasilitasi tindakan kekerasan terhadap perempuan. Catatan  Tahunan Komnas Perempuan 2021 mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan berbasis gender siber dari 241 kasus di tahun 2019 menjadi 940 kasus di tahun 2020. Perlu diingat bahwa angka ini merupakan jumlah kasus yang dilaporkan. Sebagaimana puncak gunung es, angka kekerasan yang tidak dilaporkan kemungkinan besar lebih banyak lagi.

Kekerasan Selalu Berdampak Serius 

Selain volume yang bertambah, jenis kekerasan berbasis gender di dunia maya pun makin bervariasi. Kekerasan yang umumnya dikenali meliputi komentar kasar, ujaran kebencian, dan ancaman kekerasan seksual dan fisik. Bentuk lain muncul dalam pencurian identitas, penyebaran foto dan video pribadi, hingga peretasan akun.

Meski medianya berubah, kekerasan seksual di ranah online tetap berdampak serius pada korban. Dari mulai mengalami kecemasan dan ketakutan, menarik diri dari kehidupan publik, hingga melakukan sensor berlebihan terhadap diri sendiri dan takut berpendapat.

Sayangnya, ketika perempuan bersuara tentang pelecehan yang dialami, keberaniannya tak selalu ditanggapi secara positif. Minimnya pengetahuan tentang kesetaraan gender membuat banyak orang menyepelekan pengalaman korban. Kalimat-kalimat seperti, “Kamu terlalu baper (bawa perasaan),” hingga, “Itu ‘kan maksudnya pujian, mestinya diterima dengan senang hati,” merupakan respons yang umumnya diterima korban. Respons seperti ini akhirnya membuat korban-korban lain semakin takut bersuara dan menjebak masyarakat dalam sebuah lingkaran setan yang mewajarkan kekerasan seksual.

Empat Cara Lindungi Diri 

Dalam pandangan saya memutus lingkaran setan kekerasan berbasis gender di ranah online, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Pertama, menumbuhkan kesadaran bahwa peristiwa ini bisa menimpa siapa saja. Di satu sisi, perempuan  bisa menjadi korban namun bisa juga menjadi  pelaku. Di sisi lain, laki-laki pun bisa menjadi korban. Artinya, laki-laki dan perempuan berkontribusi dalam budaya komunikasi yang masih jauh dari kondisi nyaman ini.

Dengan mengakui hal ini, setiap orang wajib mengambil tanggung jawab dalam menciptakan interaksi yang lebih aman dan tidak hanya dibebankan pada salah satu gender. Aturan berkomunikasinya sederhana: hal-hal yang tidak akan Anda katakan ketika bertemu seseorang di dunia nyata, mestinya jangan Anda katakan di dunia maya.

Kedua, jika Anda menjadi korban, mulailah dengan mendokumentasikan kronologi peristiwa secara lengkap. Jika nantinya Anda memutuskan melaporkan kasus ke pihak yang berwenang, dokumentasi yang lengkap akan mempermudah pengusutan perkara. Jika kekerasan sudah mempengaruhi kesehatan fisik dan mental, jangan ragu segera menghubungi layanan bantuan yang disediakan oleh Komnas Perempuan, LBH Apik, SAFEnet, maupun organisasi lokal terdekat. Institusi-institusi ini sudah berpengalaman menghadirkan ruang aman bagi para korban.

Ketiga, opsi lain yang bisa ditempuh korban adalah dengan memblokir dan melaporkan akun pelaku di platform medsos. Sebagai pengguna medsos yang berdaya, penting untuk menyadari bahwa kita punya kuasa untuk memilih siapa orang-orang yang boleh mengakses konten tentang diri kita. Tiap orang tentu memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap pesan bernada kasar dan melecehkan. Yang perlu diingat, tidak ada rumus yang mengatur di level mana pelaku harus di-block. Akal sehat dan kenyamanan kitalah yang menjadi patokan.

Keempat, jika ada korban yang menceritakan pengalamannya kepada Anda, beri tanggapan bernada empati. Beri apresiasi pada keberaniannya dan hindari menyepelekan pengalaman korban. Ini penting, jika Anda merasa tidak mampu mendampingi korban sendirian,  lebih baik beri rujukan lembaga yang lebih terpercaya dan mumpuni untuk menangani kasusnya.

Mewujudkan ruang digital yang aman dan nyaman bagi perempuan membutuhkan perubahan kultural yang perlu melibatkan semua orang. Kampanye kesetaraan gender dan penolakan kekerasan seksual harus  terus digaungkan. Tiap kali ada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, kita bisa memanfaatkan platform medsos untuk mengutuk pelaku dan membela korban agar kesadaran masyarakat meningkat. Karena perubahan yang perlahan pun pada akhirnya terhitung sebagai perubahan. (f)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini