Cegah Pelecehan Seksual Kenali Teknik Predator Seksual dan Pedofil, Ajarkan Ini ke Anak

WanitaIndonesia.co, Jakarta – Indonesia sedang tidak baik-baik, darurat kasus kejahatan seksual pada anak.

Data pemerintah dari tahun 2016 – 2020 sebanyak 54.366 kasus pelecehan dan kekerasan seksual menimpa anak. Sebanyak 37.435 menimpa anak perempuan dan 16.931 anak laki-laki.
Negara merespons maraknya pelecehan dan kekerasan seksual pada anak dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak.

Banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak yang terjadi di tempat yang dianggap aman seperti rumah pribadi dan rumah ibadah. Marak pula pada lingkup institusi pendidikan seperti pondok pesantren, sekolah, asmara dlsbnya.
Yang membuat orang tua was-was, pelakunya banyak yang berasal dari keluarga terdekat, sahabat orang tua, sosok yang disegani seperti oknum guru, tokoh agama.

Pelaku pelecehan dan kekerasan seksual disebut predator seksual, merupakan orang yang melakukan kejahatan seksual seperti pelecehan dan pemerkosaan pada anak dan remaja. Predator seksual sulit terdeteksi karena mereka pemain watak yang hebat. Sering mencitrakan diri di masyarakat dengan imej baik. Namun perlu diingat, tidak semua predator seksual itu adalah pedofil. Di Indonesia kasus pelecehan, serta kekerasan seksual pada anak didominasi oleh prilaku predator seksual.
Umumnya terpengaruh oleh industri pornografi yang mengeksploitasi anak-anak sebagai objek.

Pedofilia merupakan bentuk kelainan seksual yang libidonya mengarah ke anak dan remaja di bawah usia 14 tahun. Pelakunya disebut pedofil saat berusia minimal 16
tahun.
Pedofil memiliki libido tak terkendali bila melihat anak-anak (laki-laki dan perempuan), kemudian menyalurkan rangsangan tersebut baik secara pasif maupun aktif. Hasrat seksual bisa muncul berulang karena faktor biologis dan genetis disebabkan pengaruh hormon tertentu. Pengindapnya bisa laki-laki dan perempuan, hanya laki-laki, jumlahnya lebih lebih banyak. Khusus anak dan remaja korban pedofil yang tidak mendapat pendampingan secara benar, kelak mereka akan menjadi pelaku pedofilia.

Predator seksual dan pedofil menyalurkan hasratnya secara pasif dengan menjadikan anak-anak sebagai objek fantasi melalui gambar, tontonan cabul. Bisa pula melakukan kontak fisik seperti pelaku mencium, mengelus, meraba organ intim. Atau si anak yang disuruh melakukannya. Ada juga yang melakukan eksibionisme.
Sayangnya orang tua sering terlambat mengetahui kalau buah hatinya telah menjadi korban predator seksual dan pedofil.

Waspadai Tipu Daya Predator Seksual dan Pedofil

Penyebab utamanya mereka trampil memanipulasi, serta memanfaatkan keadaan. Menyasar ke anak dengan orang tua tunggal, keluarga yang ekonominya pas-pasan sehingga lengah mengawasi interaksi anak-anaknya.
Pelaku mampu membuat anak merasa nyaman, mau menjadi pendengar yang baik kala anak sedang kesal dengan orang tua dan keluarga. Anak merasa senang karena seringkali diberi hadiah berupa mainan, jajanan, maupun uang.

Mereka melancarkan aksinya dengan berusaha mencuri waktu dengan melakukan aktivitas berdua dengan anak. Seperti bermain, ganti baju atau tidur bersama. Saat tipuannya berhasil, mereka akan memengaruhi anak-anak dengan tayangan pornografi, kemudian akan bertindak jauh dengan melecehkan maupun memerkosa.
Anak-Anak yang sudah menjadi korban biasanya akan ditakut-takuti dengan berbagai ancaman agar pelaku bisa terus melecehkan. Anak menjadi tak berdaya, takut untuk menceritakan kepada orang tuanya.

Karenanya, orang tua harus ekstra waspada dengan memerhatikan sejumlah aspek pada lingkungan dan kondisi fisik anak. Seorang ibu merasa kaget kala memeriksa tas sekolah anaknya, ia menemukan banyak snack dan menanyakannya. Anak kemudian menceritakan bahwa snack tersebut diberi oleh penjaga sekolah tapi harus menuruti ‘keinginan’ om tersebut.

Predator seksual remaja biasanya dipengaruhi oleh tontonan pornografi dan pornoaksi. Pengaruh napza diantaranya alkohol yang kemudian memicu rangsangan seksual yang disalurkan dengan mencari korban anak-anak, karena dianggap sosok yang lemah, mudah dibujuk, dibohongi. Sedangkan
pelaku yang berasal dari kalangan pendidik seperti oknum guru, pengelola yayasan dan pesantren lebih didorong oleh unsur excitement yang lebih kuat. Pelaku ingin menunjukkan kekuasaan atau power kepada anak-anak.

Selain itu, faktor ekonomi dapat menghadirkan pelaku predator seksual. Tentunya Anda pernah mendengar kasus suami yang ditinggal pergi istri mencari nafkah dalam waktu lama, yang kemudian menjadikan anak-anaknya sebagai korban. (RP)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini