wanitaindonesia.co – Para perempuan kembali terkena dampak pengaturan cara berpakaian atas pembatalan SKB 3 Menteri, padahal pemaksaan pemakaian baju adalah bentuk serangan terhadap hak asasi
Saya seorang katolik, sejak SD kelas 4, tahun 2006, saya dipaksa dan wajib menggunakan jilbab. Konsekuensi jika saya tidak menggunakan jilbab adalah tidak bisa melanjutkan pelajaran. –Daisy, siswi di Jawa Tengah.
Daisy mengisi dalam sepenggal wawancara dalam video pendek Human Right Watch, yang diputar aktivisnya, Andreas Harsono.
Video berdurasi lima menit itu, menggambarkan betapa Indonesia yang disebut-sebut mempunyai prinsip persatuan dan kebhinekaan, justru tidak toleran.
Membanggakan diri sebagai negara dengan jumlah mayoritas muslim, namun ironinya, aturan-aturan yang katanya diilhami dari syariat Islam di beberapa daerah di Indonesia itu masih diskriminatif. Di Sumatera Barat misalnya, semua perempuan muslim diwajibkan memakai jilbab di sekolah negeri dan gedung pemerintah.
Kisah lainnya yang diangkat soal pengalaman pengekangan berjilbab, dialami pula oleh Dewi Candraningrum, seorang Penulis dan Pelukis Boyolali. Dia pernah mendapatkan ancaman untuk diberhentikan dari pekerjaannya jika tidak mau memakai jilbab. Padahal, hanya dengan pekerjaan itu, dia bisa menghidupi anaknya.
“Saya mematuhi peraturan berjilbab di tempat saya bekerja. Kolega saya sebelumnya “mengancam” saya atau menulis sesuatu yang menakut-nakuti saya, memecat saya,” kata Dewi.
Dalam video itu, Mantan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Khoriroh Ali pun berpendapat, para perempuan yang terkena dampak pengaturan berjilbab ini, mengalami dampak yang luar biasa. Padahal, memaksa perempuan dan anak perempuan untuk memakai hijab merupakan bentuk serangan terhadap hak asasi.
“Ada dia jabatannya ditunda. Ada perempuan yang tidak dilayani, misal di kantor-kantor pemerintah karena dia dianggap tidak menggunakan busana yang sopan sebagaimana peraturan daerah yang berlaku,” ujar Khoriroh.
Andreas mewawancarai lebih dari 100 korban dari pengekangan berpakaian itu, sampai di 15 provinsi di seluruh Indonesia. Dia mengkaji 62 peraturan wajib jilbab. Mereka berasal dari latar belakang macam-macam, ada dari dosen, guru, dan lainnya.
“Banyak yang mengalami trauma, setiap bulan akhirnya bikin sharing session, ini membuat saya sulit tidur (second hand trauma),” tutur Andreas dalam Eksaminasi Publik yang digelar Komnas Perempuan secara daring, Kamis (12/8/2021).
Menyayangkan Putusan MA
Merespons adanya pemaksaan busana di lingkungan sekolah, sebetulnya Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama telah membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri Nomor 219 TAHUN 2021. Namun sayangnya, strategi tersebut tidak disambut baik oleh Putusan Mahkamah Agung No 17 P/HUM/2021.
MA melakukan Uji Materiil atas Surat Keputusan Bersama 02l/KB/l2O2l Nomor o25-199 TAHUN 2021 dan Nomor 219 TAHUN 2021 yang mengabulkan permohonan para pemohon, yang kemudian membatalkan SKB 3 Menteri. Kalangan pakar menyayangkan hal tersebut karena pembatalan ini merupakan sebuah kemunduran
Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono menjadi eksaminator dalam dalam Eksaminasi Publik menilai putusan MA pada 3 Mei 2021, yang membatalkan SKB Tiga Menteri tentang seragam sekolah hanya bertumpu pada satu penafsiran tertentu.
“MA meletakkan argumentasi dalam putusannya lebih kepada dominasi nilai-nilai agama dan moralitas yang bertumpu pada satu penafsiran tertentu,” kata Sri.
Putusan MA itu, menurutnya, mengabaikan argumentasi filosofis terutama soal prinsip keadilan, HAM, non-diskriminasi terhadap perempuan hingga kewajiban dalam pencegahan pelanggaran HAM. Politisasi agama menurutnya juga telah menjadi satu konteks untuk sandaran moral dan agama yang diskriminatif utamanya bagi perempuan.
Dia menilai, landasan yuridis berupa UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional masih dipandang begitu sempit dan mengabaikan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang setara seperti UU HAM, UU Perlindungan Anak, Konvensi Hak Perempuan, serta UU hasil ratifikasi berbagai konvensi mengenai HAM lainnya.
Beberapa hal yang keliru di balik pertimbangan hakim MA, antara lain mengenai intoleransi yang digunakan berdasarkan agama justru mengakomodasi intoleransi. Adanya prasangka buruk terhadap perempuan yang tidak pakai hijab, juga dipandang sebagai kalangan tidak bermoral dan tidak menjunjung tinggi agama.
“Perihatin sekali jika MA berubah haluannya dan saya kira ini tidak tepat dan sangat disayangkan,” ujarnya.
Senada, Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto juga mengatakan bahwa dengan pembatalan SKB Tiga Menteri ini, masih akan melanggengkan Perda-perda yang melegitimasi adanya intoleransi.
“Padahal, yang dibutuhkan murid-murid seluruh Indonesia adalah pendidikan berkualitas dan karakter,” kata Sulistyowati.
Dalam konteks ini, tubuh perempuan akan dijadikan alat politisasi. Dia menganggap di balik terbitnya aturan daerah yang intoleran itu, menjadi politik populis para kepala daerah untuk mendapatkan simpati masyarakat, yang masih memegang nilai-nilai konservatisme.
“Gagal melihat konteks diterbitkannya SKB 3 Menteri. Seharusnya untuk memulihkan keadaan akibat intoleransi dan memudarnya kohesi sosial bentuknya pemaksaan perempuan dan anak perempuan,” ujar dia.
Terkait pembatalan Putusan MA, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti berpendapat, memang ada cara pandang hakim yang bermasalah dalam pemahaman mengenai keberagaman. Kata “toleransi” memang dipergunakan, tetapi toleransi dalam cara pandang akhlak hanya berdasarkan pada ajaran Islam. Misalnya saja, dalam memaknai kepentingan umum di Sumatera Barat yang mayoritas Islam.
Maka dari itu, dia menyampaikan refleksinya yang mengatakan bahwa substansi SKB memang dibutuhkan, putusan ini muncul karena adanya masalah teknis hukum yang membuatnya menjadi bisa ditentang di pengadilan. Menurutnya perlu adanya upaya mengatur substansi yang sama dalam pengaturan yang lebih kuat.
“Juga mengidentifikasi peraturan-peraturan yang diskriminatif dalam dunia pendidikan, termasuk UU Sisdiknas,” pungkasnya.