wanitaindonesia.co – Hari kedua Indonesian Women’s Forum (IWF) 2021 yang berlangsung pada Selasa (28/09/2021) mengusung tema yang tidak kalah berbobot dan menghadirkan deretan pembicara yang menginspirasi. Tema 100% Indonesia dipilih, di tengah maraknya pasar lokal yang memang makin menyukai dan memilih produk-produk dalam negeri dengan berbagai alasan, mulai dari kebanggaan, kualitas, hingga alasan keterjangkauan harga. Berbeda dari hari pertama, hari kedua IWF 2021 ditujukan terutama bagi para perempuan wirausaha.
Di sesi conference, Sandiaga Salahuddin Uno, Menteri Pariwitasa dan Ekonomi Kreatif RI, menyapa peserta dengan keynote speech yang mengukuhkan kekuatan perempuan wirausaha di sektor ekonomi membangkitkan optimisme di tengah tantangan pandemic COVID-19 ini. “Pandemi memaksa kita meningkatkan keterampilan untuk upscaling, rescaling, meningkatkan inovasi dan adaptasi. Dan ternyata, wanita wirausaha yang terdepan dalam menghadapi dunia baru di tengah pandemi dan tantangan ekonomi,” kata Sandiaga.
Ditambahkan Sandiaga, ekonomi kreatif merupakan salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia. Lebih dari 20 juta masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor ekonomi krearif, 14 juta di sektor pariwisata. Saat ini, yang menjadi ‘primadona’ adalah kuliner, kriya, dan fashion. Di belakangnya adalah para wanita wirausaha.
“Ekonomi kreatif itu unik: woman power, girl power, menunjukkan perempuan sebagai pemeran utama. Tugas utama kita adalah meningkatkan SDM, kompetensi, dan aspek-aspek lainnya, agar para wanita wirausaha lebih memahami pemasaran produk secara digital, (mendapat) akses pembiayaan ada dalam lingkup teknologi finansial. Infrastruktur ekonomi kreatif dan ekosistem kita bangun sama-sama antara pemerintah, dunia usaha, media, intitusi pendidikan, dan komunitas masyarakat,” papar Sandiaga.
Lebih jauh, menurut Sandiaga, ada 3 kunci utama yang penting dilakukan oleh para pelaku usaha
-
Inovasi. Ini merupakan keniscayaan. “Hal-hal sederhana, to do things better, to do faster and cheaper. Ahlinya wanita. Apalagi mengenai hal yang sangat cepat, lebih murah, ekonomis dengan kualitas lebih baik. Kualitas bagian dari inovasi. Wanita Indonesia selalu ada inovasi dan kreativitas,” kata Sandiaga, yakin.
-
Adaptasi. Kita di tengah-tengah pandemi yang entah kapan akan berakhir. Oleh karena itu, perlu untuk memiliki sikap adaptif. “Bagian dari adaptasi itu harus sabar, karena belum tentu sesuai dengan yang kita inginkan, mencoba sesuatu yang baru, dan berani mengambil risiko.
-
Kolaborasi. Ini harus menjadi salah satu kunci, nilai luhur bangsa kita, yakni gotong royong.
Selain itu, ada 3G yang ‘dititipkan’ Sandiaga kepada pada wanita wirausaha: Gercep, Geber, dan Gaspol. “Gercep, gerak cepat, because we don’t have much time. Geber, gerak bersama untuk mencapai tujuan yang lebih jauh lagi. Gaspol, garap semua potensi lapangan pekerjaan yang ada. Bangkit di saat sulit, menang melawan COVID-19, bersama-sama wanita aktif, wanita karier, dan wanita wirausaha, yes, we can do!” pungkas Sandiaga, dengan penuh optimisme.
Harus Naik Kelas
Dalam sesi diskusi panel bertajuk Business Sustainability, Dr. Aviliani, SE, MSI, ekonom INDEF dan Sekretaris Komite Ekonomi Nasional, memaparkan fakta tentang perempuan di dunia wirausaha. Menurutnya, harus diakui, sesuai hasil riset, kebanyakan perempuan terjun ke dunia usaha bukan karena mau menjadi wirausahawati, tapi karena kepepet. Terutama ketika terjadi krisis moneter di tahun 1998, banyak orang mengalami PHK, menyebabkan perempuan mengambil alih tanggung jawab finansial keluarga. Dari kepepet itu, mulai bermunculan wanita pengusaha. “Tapi dalam perkembangannya, terjadi perubahan sejak era milenial. Kaum perempuan milenial hidup mandiri, berusaha dengan kemampuan dan inovasinya. Mereka ditantang sejak muda untuk berani mengambil risiko. Mereka berwirausaha dengan inovasi,” papar Aviliani.
Dari masa ke masa, menurut Aviliani, perempuan wirausaha Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Yang pertama adalah dukungan keluarga. Jika dulu kurang dukungan keluarga, semestinya saat ini tidak boleh ada lagi. Di era digital, perempuan wirausaha tidak harus ke kantor, tapi bisa kerja dari rumah.
Kedua, masalah pendidikan. Terutama di masa lalu, ini menyebabkan perempuan tidak bisa menyeimbangkan kondisi yang begitu cepat berubah.
Ketiga, kompetisi pasar makin berat. Di era informasi saat ini, dengan googling saja, orang bisa melakukan perbandingan harga produk yang sama, mencari yang paling murah. “Jadi, kalau barang tidak memiliki nilai tambah, akan sulit bersaing, sehingga harus banting harga, sampai margin terkena dampak. Karena itu, kita ciptakan nilai tambah, sehingga ada perbedaan dengan barang lain,” kata Aviliani.
Keempat, masalah permodalan. Sulitnya mendapatkan modal karena tidak ada bukti pendapatan usaha mereka bagus sehingga layak diberikan pinjaman. Penyebabnya, biasanya karena tidak menggunakan bank, sehingga tidak terbukukan dengan baik, dan menyatukan aset pribadi dan usaha.
Aviliani mengungkap bahwa kendati kontribusi UKM cukup besar, sayangnya 46% dari mereka adalah hanya berdagang, cuma memindahkan barang, tapi tidak ada nilai tambah. Maka, yang terjadi, tidak banyak UMKM di Indonesia yang naik kelas. “Bisnis modelnya harus diubah. Tidak harus pindah dari perdagangan, tapi menciptakan nilai tambah, sehingga bisa naik kelas,” kata Aviliani.
Nilai tambah ini bisa dilakukan dari segi perdagangan maupun produksinya. Dari sisi perdagangan, misalnya memberikan layanan purna jual. Sementara dari sisi produksi, bisa diciptakan ciri berbeda melalui story telling. Dengan demikian, benda yang sama pun bisa bernilai berkali lipat jika memiliki ‘kisah’.
Berkali-kali, pentingnya bisnis naik kelas ini diungkapkan oleh Aviliani bukan tanpa alasan kuat. Ini menjadi kunci untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat dan agar usaha yang dilakukan menjadi berkelanjutan untuk jangka panjang. Selain menciptakan nilai tambah, tuntutan lainnya untuk naik kelas adalah mampu membaca pasar. Tahu siapa, sih, konsumennya dan bagaimana marketingnya. “Perubahan perilaku konsumen sangat cepat dari waktu ke waktu. Media sosial kita manfaatkan untuk melihat tren, mempromosikan barang kita dikaitkan dengan hal-hal yang sedang dibicarakan orang,” saran Aviliani.
Seiring perkembangan era digital, maka untuk naik kelas, penjualan secara online perlu menjadi pertimbangan, karena pasar terbuka semakin luas, tidak hanya domestik. Penjualan bisa dilakukan melalui e-commerce.
Menyoroti masalah UMKM yang rentan tidak bisa bertahan, Aviliani mengungkap masalah skala ekonomi. Tentu UMKM memiliki skala ekonomi kecil, membeli barang mentah lebih mahal karena kuantitasnya sedikit, jika dibandingkan perusahaan besar. “Kita nggak bisa bersaing dengan perusahaan besar. Karena itu, pertama, inovasi menjadi penting, agar punya persaingan tidak dalam harga, tapi dalam hal nilai tambah. Cara kedua, UMKM berkolaborasi dengan off taker atau korporasi. Mencari kolaborasi ini agar memenuhi skala ekonomi dan menguntungkan UMKM,” saran Aviliani.
Terakhir, naik kelas bisa dilakukan dengan mulai berani memperluas pasar. Dalam hal ini, Aviliani mengatakan perlunya pemerintah memanfaatkan hal ini. Banyak standarisasi pemerintah tidak bisa dipenuhi oleh (wirausaha) domestik. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu menjadi market domestik. Sehingga, tidak segala sesuatu diimpor.
Dukungan Pemerintah & Kolaborasi
Jika harapan Aviliani adalah adanya dukungan pemerintah untuk menjadi market bagi UMKM, bagaimana kenyataannya di lapangan? Mewakili ‘suara’ pemerintah, Ir. Gati Wibawaningsih, MA, Sekjen Dewan Kerajinan Nasional, Analis Kebijakan Ahli Utama Ditjen Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kementerian Perindustrian RI, menjabarkan dukungan-dukungan apa saja yang telah dan sedang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Perindustrian. “Ekosistem yang kami buat adalah kerja sama dengan kementerian dan lembaga lainnya. Kita tidak bisa sendiri, perlu kolaborasi. Untuk memperoleh bahan baku, misalnya, kami perlu kementerian lain sebagai pembinanya, seperti kementerian Pertanian, KKP, KLH. Produksi juga demikian. Untuk inovasi teknologinya ada Kemenristek dan BPPT,” ungkap Gati.
Dalam menciptakan ekosistem, kemenperin menciptakan program-program untuk membina para pelaku industri agar berkembang, juga melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan. Menemukan ada program yang jalan di tempat, tahun 2017 diciptakan program e-smart IKM, yang memberikan pembelajaran kepada IKM (industri kecil menengah) berjualan secara online. “Dengan berjualan secara online, kita jadi lebih cepat tahu barang kita laku apa nggak. Lalu kita evaluasi, kenapa nggak laku. Apakah bahan bakunya, kualitasnya nggak baik, SDM kurang terampil, mesin kurang bagus. Kami bekerja sama dengan market place, melakukan evaluasi data bersama-sama,” ungkap Gati.
Dengan tahu data lebih cepat, maka komoditi apa yang laku di pasar pun segera ketahuan. “Supaya IKM tidak membuat produk yang tidak disukai pasar. Ini paling penting. Pemerintah harus ada, memberikan informasi-informasi tersebut kepada IKM, karena evaluasi atau monitoring ini tidak murah. IKM tidak bisa membuatnya,” ungkap Gati.
Untuk mendapatkan dukungan pemerintah, kemenperin memberikan kemudahan mendapat akses informasi dan pembinaan termasuk pelatihan-pelatihan bagi pelaku IKM. Bisa dengan menghubungi dinas perindustrian di kabupaten/kota/provinsi, mengunjungi laman www.kemenperin.id, akun Instagram @ditjenikma dan Faceebook. “Kami baru membangun Rumah Kemasan. Produk-produk kita bagus-bagus, tapi jika kemasan jelek, harga jadi turun. Pelatihan kemasan ini dibikin secara online, bagaimana memilih produk kemasan yang baik, mencari mesin untuk bikin kemasan. Kalau mau dapat fasilitas gratis untuk desainnya pun kami fasilitasi,” kata Gati.
Berdaya dan Saling Dukung
“Apakah iklim usaha di Indonesia ramah perempuan?” tanya Petty S. Fatimah, CCO Femina dan Direktur Editorial Prana Group, kepada Ir. Nita Yudi, MBA, Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI). Jawaban Nita adalah: belum 100 persen. Perempuan pengusaha hampir 60%, namun iklim usahanya memang lebih ramah laki-laki karena budaya patriarki, yang menempatkan perempuan sebagai orang kedua.
Kendati demikian, menurut Nita, kebijakan pemerintah 70% sudah ramah perempuan dan UMKM. “Banyak stimulus-stimulus pemerintah memang diberikan khusus kepada UMKM. Ingat, tahun 1998-2008 kita tulang punggung ekonomi Indonesia saat krisis moneter,” kata Nita.
Sebagai organisasi profesi, IWAPI tidak berjalan sendiri. Ia bermitra dengan banyak pihak. “Kolaborasi IWAPI dengan pemerintah sudah lama, terutama dengan kemenperindag. Kami mendapat fasilitas di awal pandemi dan kerja sama untuk masalah ‘e-smart’ ,” kata Nita.
Saat ini, perwakilan IWAPI sudah ada di 34 provinsi dengan jumlah anggota lebih 30 ribu perempun. Sesuai program kerja, IWAPI memberdayakan anggota-anggotanya lewat training, talkshow, wokshop. “Kami terus membuka jaringan, tidak hanya lokal tapi juga global. Saat ini sedang mendorong teman-teman UMKM untuk melakukan ekspor, dan memudahkan askes finansial atau permodalan. Dgn 3 program ini, mereka akan terbantu, baik yang sudah jalan maupun baru bisa jalan usahanya,” ungkap Nita.
Untuk usaha yang sudah jalan, IWAPI memberi dukungan agar terus berkelanjutan, dengan menghubungkannya dengan perusahaan-perusahaan besar, serta kerja sama dengan kementerian dan sektor swasta. “Perusahaan-perusahaan besar menyiapkan supply chain. Sehingga, jika lari ke permodalan, UMKM pasti dipercaya. Kami kerja sama dengan kementerian BUMN melalui pasar digital UMKM, yang mana perusahaan-perusahaan negara milik BUMN membeli barang-barang kebutuhannya dari UMKM,” kata Nita.
Salah satu perusahaan yang memberikan dukungan terhadap pemberdayaan perempuan wirausaha UMKM adalah Martha Tilaar, yang dikenal sebagai produsen merek kosmetik lokal terkenal, Sari Ayu. Palupi Candra, Head of Corporate Communication and Sustainability Martha Tilaar Group, mengungkap peluang yang sangat besar bagi UMKM menjadi bagian supply chain di perusahaannya. “Kami fokus mempercantik Indonesia, dalam arti juga memberdayakan perempuan, memastikan mereka lebih profesional, tangguh, memiliki critical thinking kuat, inovasi, dan kolaborasi. Kami harus membantu mengidentifikasi dan memetakan keunggulan mereka. Kami tidak hanya menjadikan mereka supply chain, tapi juga partner,” ungkap Palupi.
Di dalam hal supply chain, tentu harus ada standar sebagai acuan. Seperti diakui Palupi, partner mereka di luar negeri menjadikan perusahaan sebagai garansi yang bisa memastikan standar kualitas dan konsistensi produk UMKM tetap stabil. Nah, masalah konsistensi hasil ini yang masih menjadi PR tersendiri, karena ternyata tidak cukup mudah, kendati SDM sudah dilatih daya juang dan profesionalismenya.
Dengan banyaknya binaan dan kesempatan yang dibuka, Martha Tilaar tidak bekerja sendirian. Ketika terjadi over produksi pada petani yang dibina, Martha Tilaar membantu memasarkannya di grup industri besar lainnya, baik kosmetik maupun jamu.
Di masa sekarang, menurut Palupi, dibutuhkan kreativitas, agility (ketangkasan) dan profesionalisme dari pelaku UMKM. Kendati kosmetik tidak termasuk dalam 3 unggulan perekonomian kreatif, inovasi tetap perlu dilakukan. Salah satu yang dilakukan Martha Tilaar adalah membuka kesempatan dan membantu audiens, UMKM, perempuan Indonesia yang ingin menciptakan brand sendiri. “Mereka tidak memiliki R&D dan pabrik, tapi bisa punya brand kosmetik sendiri. Kami mememberikan kesempatan kepada mereka dalam mengembangkan kreativitas dan keinginan menjadi entrepreneur,” kata Palupi.