Site icon Wanita Indonesia

Untuk Perempuan Petani Kopi Pendobrak Dominasi Laki-Laki: Obituari Cahaya

Untuk Perempuan Petani Kopi Pendobrak Dominasi Laki-Laki: Obituari Cahaya

wanitaindonesia.co Apa peran perempuan dalam pengolahan kopi? Jangan meremehkan, karena kopi tak selalu identik dengan laki-laki. Perempuan berperan sangat signifikan mulai di perkebunan kopi, menanam, merawat, hingga mengolah hasil panen. Akan tetapi, dari hasil kerja keras tersebut, ternyata laki-lakilah yang masih menjadi penentu keputusan dalam mengatur harga hingga penjualan dengan pembeli. Seorang teman saya bernama Cahaya, mempu mendobrak dominasi ini

Adalah Cahaya. Saya memanggilnya dengan menambahkan kata: Mbak. Jadilah saya panggil dia dengan Mbak Cahaya.

Mbak Cahaya adalah sedikit dari perempuan petani kopi yang memiliki daya dobrak dominasi laki-laki dalam penentuan keputusan di perkebunan kopi. Dengan kelindan konstruksi gender yang disandang tubuh perempuan, seorang perempuan yang saya panggil Mbak Cahaya mampu memberi terang untuk keluarga dan masa depan perkebunan kopi di pegunungan Priangan.

Pada 24 September 2020 malam, bertepatan dengan Hari Tani Nasional, aku menghubungi  Mbak Cahaya, satu-satunya perempuan petani yang memasok warung kopiku. Beberapa tahun ini aku memang punya usaha baru, yaitu warung kopi yang kukelola sendiri

Jaringan lain ada memasok green bean (biji kopi mentah) ke warungku, semuanya laki-laki. Walaupun aku kenal dengan sebagian istri mereka, yang tak kurang kerja kerasnya menjalankan usaha kebun kopi, tetapi sejauh ini yang mengatur harga dan bertransaksi denganku adalah para suami-suami, atau koperasi tani yang pengurusnya adalah laki-laki.

Oleh karena itu, kehadiran Mbak Cahaya dalam jaringan di warungku, seperti benih sekaligus harapan. Harapan karena semakin banyak perempuan terlibat sebagai agen dalam usaha kopi di tingkat kebun. Jadi kupikir, asyik betul bila mengobrol tentang kabar petani di hari tani bersamanya, sambil kupesan green bean yang kebetulan sedang habis.

Dua tahun lalu, aku dan suamiku berjumpa Mbak Cahaya, di sebuah desa di kaki gunung yang mendadak terkenal, karena green bean kopinya mendapatkan juara I pada sebuah perlombaan internasional di Amerika Serikat. Seorang akang ojek berbaik hati mengantarkan kami ke rumahnya.

Saat kami meminta informasi tentang siapa di desa itu yang biasa menjual kopi green bean. akang ojek mengantar kami ke teras warung kecil yang menyatu dengan rumah tinggal. Warung itu menjual rokok, gula, kerupuk, dan kebutuhan harian lainnya.

Satu yang unik di etalase bagian bawah warung, terdapat beberapa karung berisi green bean kopi dan cascara kopi (buah kopi kering). Di setiap tepi atap rumah di sekitar warung itu, juga di teras samping rumah, terdapat hamparan biji kopi yang sedang dijemur.

Seorang perempuan muda bersama balita, muncul dari dalam warung, ramah menyambut kami dengan bahasa Sunda logat Jawa. 

Setelah berkenalan sebentar, ia mengajakku ke dapurnya. Ia mengambil segenggam green bean juara internasional dari karung, lalu meroastingnya (memanggang) menggunakan panci di atas tungku. Kemudian ia menggiling biji kopi yang harum wangi-manis itu. Ia kembali mengajakku ke teras warung.

Tak lama kemudian, ia membawa alat V60 dan teko seduh lalu menyajikan kopi juara itu untuk kami bertiga. Sambil menikmati kopi sajiannya, Mbak Cahaya menuturkan  tentang kopi di desanya yang sedang naik daun, ia juga bercerita tentang daya hidupnya sebagai perempuan.

Ibu dua anak itu, tidak terlahir sebagai petani di pegunungan priangan yang sejuk itu. Sejak kecil Mbak Cahaya hidup keras di Jakarta. Ia mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT dalam pernikahan pertama. Saat masa pemulihan psikisnya di salah satu sanak keluarga di Bandung, ia berjumpa dengan seorang petani kopi asal desa itu, yang kini menjadi suaminya.

Di kaki gunung itu, Mbak Cahaya belajar keras. Ia yang sebelumnya bekerja sebagai buruh pabrik di kota, kini menjadi petani kopi di kaki gunung.

Tapi yang lebih sulit dari beralih mata pencaharian adalah upaya dirinya agar dihargai sebagai janda dari kota, berbeda suku yang kemudian menikahi petani lajang. Sedikit kesalahan atau kekurangan sigapnya beradaptasi saja, pasti akan menjadi bumerang pada urusan yang tak ada kaitannya, seperti status janda, membawa anak  dan  berasal dari kota.

Selain itu juga pada pilihannya merokok dan tidak mengenakan jilbab, bukan hal mudah untuk dimengerti oleh keluarga besar suaminya yang semua perempuannya menutup kepala dengan jilbab.

Segala syak wasangka dan pandangan sebelah mata dari keluarga besar, ia jawab dengan kerja keras.

“Semua laki-laki di desa ini bekerja keras di kebun kopi dan melakukan transaksi dengan pembeli. Tapi yang tahu bagaimana susahnya mengatur keuangan agar dapur terus mengepul dan anak berangkat ke sekolah tiap hari, perempuan-perempuan yang ada di rumah,” kata Mbak Cahaya menegaskan.

Saat itu, biji kopi dengan proses alami di desanya mencapai harga Rp 1.200.000/kg, efek dari pemberitaan yang membuat kopi mereka mendadak populer.

“Tapi berapa banyak pembeli yang punya daya beli setinggi itu? Dan berapa banyak kopi yang melimpah di desanya terserap dengan harga setinggi itu? Dapur tidak butuh kopi yang populer, tapi butuh kopi yang terjual, untuk beli beras dan minyak,” ujar Mbak Cahaya.

Kopi mereka semakin terkenal tapi dapur mereka makin murung. Oleh karena itu, menurutnya, menjual kopi dengan harga sesuai jerih payah petani dengan pembelian yang banyak, lebih menolongnya.

Sejak itu, Mbak Cahaya banyak bertukar pikiran dengan suaminya dan tetangga yang sama-sama menjual kopi. Ia ingin mereka semakin peduli dengan kondisi dapur yang semakin susah karena dengan harga jual kopi  mahal, hanya sedikit yang terjual.

Perdebatan sering terjadi antara Mbak Cahaya tidak hanya dengan suami, tetangga, bahkan tokoh yang berjasa mempopulerkan kopi mereka.

Perdebatan itu antara mempertahankan popularitas-pengembangan kopi dan kebutuhan praktis dapur dan sekolah anak yang tak bisa ditunda. Desakan kebutuhan dapur itu juga yang kemudian membuat Mbak Cahaya tak hanya sigap menjemur biji kopi tapi juga masuk pada proses mengumpulkan kopi dari sesama petani kecil dan menjualnya ke pembeli.

Sebelumnya, urusan transaksi kopi itu, hanya menjadi urusan suaminya. Ia juga memperluas produk dengan memproses cangkang kopi menjadi Cascara kopi.

Setahun terakhir ini Mbak Cahaya bekerjasama dengan salah satu roaster (pemanggang kopi) di desanya. Ia kemudian tidak hanya menjual kopi dalam bentuk green bean tapi juga kopi bubuk dengan label namanya. Dengan demikian lebih banyak keuntungan yang dapat ia peroleh untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Aku dan suami baru dua tahun mengenal Mbak Cahaya. Tapi kami terbantu banyak dengan keutuhan kabar yang sering ia sampaikan. Kabar gunung, kebun kopi, dampak COVID-19 terhadap mereka, dan perasaannya sebagai istri-ibu-yang berjuang di dunia kopi. Selain itu, dia juga bercerita tentang kerinduannya pada Jakarta, tempat ia lahir dan berjuang hidup sebelum menjadi perempuan petani kopi.

Sempat terpikir untuk mempertemukan Mbak Cahaya dengan perempuan kopi lainnya. Dengan perempuan yang merawat kopi di Aceh dan Poso untuk menjalinkan daya lenting mereka. Selain itu, bertemu dengan para penikmat kopi di café-café dan para barista muda yang saat ini dipandang “wow.”

Iya, aku ingin mempertemukan dengan seorang perempuan kopi yang sungguh “wow” mendobrak dunia kopi yang didominasi laki-laki dan  menerobos segala lilit konstruksi gender pada tubuhnya; perempuan-janda dengan anak menikahi lajang, merokok, dan tidak berjilbab.

Sungguh indah, bila di Hari Tani, aku dapat mengobrol sedikit dengan Mbak Cahaya, sebagai rasa syukur dan merawat semangat daya hidup petani dan pertanian.

Tapi apa daya, saat kuhubungi beberapa hari lalu, yang kudapati hanya suara suaminya.

“Mana Mbak Cahaya?.”

Suaminya hanya mengatakan pelan. Ia bilang, Mbak Cahaya telah meninggal  40 hari lalu, tanpa sakit dan lainnya.

Dalam sekejap saja tiba-tiba aku dicekam duka. Segera kukenang daya lentingnya yang menginspirasiku. Belum berhasil kuajak ketemu dengan banyak perempuan kopi temanku, tiba-tiba Mbak Cahaya sudah pergi begitu saja

Selamat jalan Mbak Cahaya. Selamat terlepas dari perjuangan hidup, perempuan kopiku. Daya hidupmu energiku.

Exit mobile version