wanitaindonesia.co – Pada 2018, WHO mengungkapkan bahwa TBC atau Tuberkulosis telah menjadi epidemi” atau wabah yang menyebar luas di berbagai belahan dunia sejak 1980. Indonesia termasuk dalam 3 negara dengan beban Tuberkulosis (TBC) terbesar di dunia. Hal ini diungkapkan oleh Direktur P2P Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi berdasarkan hasil laporan global TBC pada 2020.
Berdasarkan data pada April 2021, telah terkonfirmasi 845.000 kasus TBC di Indonesia, dengan jumlah kematian terkonfirmasi sebanyak 13.947 jiwa. Penelitian mengungkapkan bahwa hampir 50% masyarakat Indonesia kurang memiliki pengetahuan mengenai TBC. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi yang didapat dari media massa seperti buku, televisi, dan radio, hingga puskesmas terdekat yang kurang memberikan penyuluhan mengenai TBC.
Penderita Tuberkulosis sendiri mengalami stigma negatif yang berujung pada perlakukan pelecehan, penghinaan, kenajisan, penghindaran, pengucilan dari masyarakat, isolasi sosial, hingga menjadi bahan perbincangan dari masyarakat (Datiko et al., 2020; Jing Teo et al., 2020; Kolte et al., 2020; Sima et al., 2019; Spruijt et al., 2020). WHO (2020) mengatakan bahwa stigma dalam konteks kesehatan adalah sebuah hubungan negatif antara seseorang atau sekelompok orang yang memiliki karakteristik dengan penyakit.
Sementara itu, di Indonesia sendiri terdapat stigma mengenai TBC yang dikaitkan dengan infeksi HIV (Sari, 2018 dalam Rizqiya, 2021). Jika masyarakat sekitar mengetahui adanya penderita TBC maka akan mendapatkan perlakukan yang buruk seperti dicemooh, tidak ingin berinteraksi dengan penderita hingga mengatakan bahwa penyakit tersebut merupakan sebuah kutukan (Masithoh, 2017 dalam Rizqiya, 2021).
TBC merupakan sebuah infeksi yang menyerang sistem pernapasan manusia dan disebabkan oleh dua spesies mikobakteri, yakni Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Infeksi ini sudah diidentifikasi menyerang manusia sejak zaman pre-Colombus, Mesir Awal, bahkan ketika zaman manusia Neolitik. Namun, pada zaman-zaman tersebut, efek dari infeksi TBC ini masih terbatas dan tidak sebesar dampak ketika zaman industri awal yang padat. Padatnya manusia membuat penyebaran mikobakteri semakin cepat.
TBC sendiri ditularkan melalui droplet, yakni partikel-partikel kecil yang mengandung patogen dari sekresi pernapasan, dimana patogen ini dikeluarkan ke udara melalui batuk, bersin dan ketika berbicara. Lalu ketika orang lain menghirupnya, akan sangat besar kemungkinan orang tersebut terinfeksi bakteri TBC dan memiliki 5-10% kemungkinan untuk menderita TBC, terlebih pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah.
Penyakit Tuberkulosis yang paling sering diderita oleh masyarakat adalah Tuberkulosis Paru. TB Paru sendiri mencakup 80% dari keseluruhan penyakit Tuberkulosis itu sendiri. Gejala utama yang pasti diperlihatkan oleh penderita TB Paru adalah mengalami batuk terus-menerus dan berdahak selama lebih dari 3 minggu. Namun terdapat beberapa gejala tambahan yang sering dijumpai mulai dari dahak yang bercampur darah, demam selama tiga minggu atau lebih, sesak nafas, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, lemas, berkeringat pada malam hari.
TBC membuat penderitanya menerima stigma dari masyarakat luas. Hal ini terjadi karena gejala spesifik yang dialami oleh penderita membatasi mereka untuk bekerja dan melakukan aktivitas sosial, seperti berinteraksi dengan teman, keluarga serta terlibat dalam kegiatan sosial hingga rekreasi. Penderita TBC juga mengalami penolakan dan harus menjalani isolasi karena dianggap sebagai sumber penularan penyakit. Peran sosial dari penderita TBC juga terganggu, seperti peran individu di tempat kerja, di rumah dan masyarakat.
Stigma tersebut membuat penderita TBC mengalami emosi yang negatif. Mereka merasa ketakutan dan cemas akan kehadiran mereka sendiri di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, para penderita TBC pada sebuah penelitian melaporkan bahwa mereka merasa kesepian dan ditinggalkan, menderita depresi, dan cemas yang berlebihan. Hal ini tentu dapat mengakibatkan gangguan jangka panjang dari kesejahteraan psikososial penderita TBC.
Rasa kesepian dan ditinggalkan, serta cemas yang berlebihan akan menuntun para penderita TBC kepada depresi. Seseorang yang mengalami depresi pada umumnya menunjukkan gejala fisik, psikis dan gejala sosial yang khas seperti murung, sedih, sensitif, gelisah, mudah marah atau kesal, kurang bergairah, kurang percaya diri, hilang konsentrasi, bahkan bisa kehilangan daya tahan tubuh pada seseorang yang mengalaminya.
Beck (1985) dalam Sulistyorini & Sabarisman (2017) menghubungkan tingkat keparahan depresi dengan simtom-simtom sebagai berikut menurunnya selera makan, gangguan tidur, hilangnya gairah seksual, timbulnya kelelahan. Menurunnya kesehatan fisik ini akan memperparah gejala TBC yang dimiliki oleh penderita.
Beberapa tindakan preventif yang bisa dilakukan untuk mencegah penularan TBC adalah: pemberian dan penyebaran informasi mengenai pencegahan penularan TBC dengan memanfaatkan media seperti poster, leaflet dan iklan layanan masyarakat, pembuatan program pemeriksaan kesehatan bagi individu dengan resiko tinggi tertular TBC dan melakukan penyuluhan kepada masyarakat, mengkonsumsi cukup nutrisi, melakukan dan menjaga pola hidup bersih, pembuatan sanitasi yang baik, serta meminimalisir perumahan yang padat dan udara yang tidak bersih.
Dapat disimpulkan, penderita TBC di Indonesia dengan mudah dapat mengalami depresi dan akhirnya tidak memiliki kesejahteraan mental yang baik. Penyakitnya membuat penderitanya dikucilkan, kehilangan pekerjaan, dipandang menjijikan, miskin, dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut membuat mental penderitanya kacau, lalu akhirnya berpengaruh pada daya tahan tubuhnya dan memperburuk kesehatan raganya.
Setelah mengetahui banyak informasi mengenai TBC sudah saatnya kita untuk mulai secara perlahan menghapus stigma-stigma negatif yang menempel pada pasien TBC. Keadaan kesehatan pasien TBC yang menurun kian waktu memerlukan banyak dorongan dan pemberian emosi positif dalam menjalankan pengobatannya. Bahkan untuk mengakui bahwa ia adalah pasien TBC pun juga memerlukan banyak dorongan. Oleh karena itu kita sebagai masyarakat sebaiknya memulai untuk menerima, mengayomi, serta mencegah penyebaran TBC di Indonesia.