wanitaindonesia.co – Buat sebagian pekerja keras dengan gaji pas-pasan, rebahan adalah privilese. Buat sebagian lainnya, rebahan berarti perlawanan.
Minggu lalu saat ditanya pasangan tentang rencana keluar akhir pekan, saya cuma geleng-geleng kepala. “Mau tiduran saja di kamar dan enggak lakuin apa-apa,” jawab saya.
Saya sendiri tercengang kenapa berkata demikian. Padahal dulu sebelum menikah dan punya anak, dari Rabu biasanya saya sudah menyusun rencana matang bepergian ke luar Jakarta di Jumat malam. Saya memang tak betah di rumah, maunya jalan-jalan, bersenang-senang, bertemu orang. Apalagi saya sudah bekerja keras selama sepekan dengan durasi yang kadang menyerupai kebijakan 996 ala Alibaba: 12 jam kerja saking banyaknya pekerjaan lepas yang saya lakoni sekaligus. Liburan dua hari di akhir minggu adalah kenikmatan hakiki yang enggan saya lewatkan.
Namun semua berubah hari-hari ini. Sejak semakin mendekati usia kepala tiga, kenikmatan yang sebenarnya bukan dengan memanjat tebing di Purwakarta, kemah ceria di pulau seberang ibu kota, atau sekadar hiking di gunung-gunung Bogor. Saya cuma mau rebahan. Titik. Kalau bisa, biarkan saja rumah berantakan, biarkan saja kita memesan makanan dan menyantapnya tanpa harus beranjak dari kasur. Lupakan soal mandi. Matikan saja gawai yang seminggu menggonggong melulu bikin kuping pengang.
Suami tentu saja enggak keberatan. Begitulah, sejak saat itu kami putuskan, akhir pekan akan jadi hari bermalas-malasan sedunia untuk kami berdua, bertiga ditambah anak lelaki saya. Pertimbangannya sekali lagi bukan karena sedang mengirit pengeluaran, karena faktanya saat sama-sama libur, jajanan yang dikirim oleh kurir makanan justru lebih banyak ketimbang hari-hari biasa. Kami cuma mau menikmati hidup, menikmati privilese yang jarang-jarang bisa didapat saat bekerja.
Kenikmatan dan Perlawanan Sekaligus
Beberapa waktu lalu, Sleep Standards, merek matras yang sohor di Amerika Serikat (AS) mencari kandidat kaum rebahan yang dibayar dengan gaji lumayan. Pekerjaannya sederhana, mereka cuma harus tidur selama lima hari lima malam di hotel-hotel, termasuk resor bintang lima. Setelah selesai rebahan di tempat-tempat itu, mereka diminta membuat laporan faktor apa saja yang memengaruhi kenyamanan mereka beristirahat.
Tak tanggung-tanggung, dilansir dari Dream Job 2021, honor yang ditawarkan untuk pekerjaan ini cukup menggiurkan, yakni US$2.000 atau sekitar Rp28 juta. Orang yang berada di luar AS pun dikatakan bisa mendaftar karena situs itu menjanjikan untuk membayar biaya perjalanan.
Seandainya rebahan bisa senikmat dan semenguntungkan itu ya? Namun, tanpa dibayar pun, rebahan buat saya adalah cara yang ideal untuk menghargai tubuh dan mental diri sendiri. Dr. Colleen Long, penulis buku Happiness in B.A.L.A.N.C.E; What We Know Now About Happiness dan Meditation Medication dalam artikelnya di Psychology Today menganjurkan kita untuk mengambil jeda. Alih-alih berselancar di media sosial, binge watching serial yang kadang bikin senewen sendiri, kita bisa memilih tak melakukan apapun. Rebahan, berdiam diri, menikmati waktu yang berjalan perlahan.
Di luar negeri, hal-hal macam ini serupa tren yang mulai diminati banyak orang. Di China sejak tahun lalu, berkembang gagasan tang ping yang dimaknai BBC sebagai tidak bekerja terlalu keras, puas dengan yang sudah diraih, dan sempatkan waktu untuk bersantai. Sejak diluncurkan pertama kali di forum diskusi Tieba, peminatnya membludak hingga mencapai 6.000 orang. Rata-rata jenuh dengan budaya kerja keras yang menuntut waktu serba cepat, tapi gaji enggak besar-besar amat. Mereka tetap bekerja, hanya menolak memforsir dirinya dan membuat para pengusaha menikmati hasil jerih payahnya. Biar bagaimanapun, buruh tetaplah selalu jadi sekrup-sekrup kecil dalam sistem yang sangat mendewakan uang. Mereka memilih melawannya dengan rebahan.
Perlawanan lain ditunjukkan warga Korea Selatan pada medio 2016. Di sebuah Taman Ichon Hangang di Seoul, Korea Selatan, sekitar 70 orang berkumpul tapi sama sekali tidak melakukan apa-apa. Tidak ada ponsel dan gawai lain yang terlihat, tidak ada SMS atau swafto, dan tidak ada orang yang bergegas ke mana-mana. Mereka ambil bagian dalam Kompetisi Luar Angkasa tahunan Korea Selatan, sebuah kontes untuk melihat siapa yang bisa menatap ke luar angkasa paling lama tanpa kehilangan fokus. WoopsYang, seniman visual yang menciptakan acara tersebut dua tahun sebelumnya berujar, cara tersebut dirancang untuk menyoroti seberapa banyak orang telah bekerja terlalu keras dengan otak mereka dan seberapa besar keuntungan yang mereka peroleh dengan istirahat.
Hasilnya, penelitian secara konsisten menunjukkan otak membutuhkan waktu istirahat untuk memproses informasi dan menciptakan ingatan. Rebahan, jeda, atau istirahat juga berguna untuk menekan stres dan kelelahan yang muncul karena terus-menerus terhubung dengan pekerjaan dan kehidupan sosial kita, dilansir dari jurnal yang ditulis Norman Anderson dkk. bertajuk Stress in America: Paying with Our Health (2014). Apalagi Korea Selatan, khususnya, memiliki salah satu populasi paling stres di dunia, yang pernah digambarkan oleh The New York Times sebagai negara yang berada di ambang gangguan saraf nasional.
Di Indonesia, sayangnya kesadaran untuk memilih rebahan tak sebaik di luar negeri. Mereka yang memilih rebahan biasanya akan diasosiasikan dengan pemalas, manusia yang kurang bersyukur, beban keluarga, dan sebutan menghakimi lainnya. Terlebih jika kebiasaan rebahan kamu lebih dominan terlihat ketimbang saat kamu bekerja keras di depan laptop. Kalau enggak dituduh ternak tuyul, jadi sugar baby, tetangga dengan senang hati menuduhmu melakoni pesugihan karena selalu punya penghasilan.
Namun, apalah arti bacot tetangga dibandingkan kebahagiaanmu sendiri? Jika rebahan dan mengambil jeda tak melakukan apa-apa membuat badan dan mentalmu sehat, lakukan! Doakan saja semoga orang-orang yang mengataimu kelak akan paham betapa nikmatnya diam dan rebahan seharian.