wanitaindonesia.co – Diadaptasi dari Sureq Galigo, karya sastra tradisional Bugis, Sulawesi Selatan, I La Galigo merupakan pementasan teater yang telah mendapat pengakuan dunia. Sejak pertama kali dipentaskan pada tahun 2003, I La Galigo telah dipentaskan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Singapura, Belanda, Italia, hingga Spanyol. Pada tahun 2018, pertunjukan ini juga turut dipentaskan di IMF-World Bank Group 2018 di Bali.
Tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia memiliki karya sastra kuno terpanjang dari Sulawesi Selatan yang disebut La Galigo, Sureq Galigo, atau Galigo. Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin lebih mengenal karya sastra kuno seperti Mahabharata atau Ramayana yang berasal dari India.
La Galigo merupakan karya sastra Bugis kuno berbentuk puisi yang berisi tentang genesis orang Bugis dan filosofi kehidupan manusia dengan naskah terpanjang di dunia dengan 300.000 baris teks. Bahkan, panjang dari cerita ini mengalahkan kisah Mahabharata yang hanya terdiri atas 150.000 – 200.000 baris, dan Odyssey dari Yunani yang terdiri atas 16.000 baris.
Sebagai epik mitos terpanjang di dunia, La Galigo telah diakui dan disahkan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai Memory of The World karena mengandung literatur dan ingatan kolektif dunia.
Secara garis besar, kisah La Galigo terdiri atas dua bagian, bagian pertama yang dianggap sangat sakral menceritakan penciptaan langit dan bumi, asal-usul kehadiran manusia dan nenek moyang. Bagian kedua menceritakan kehidupan tokoh utama Sariwegading dan La Galigo, tentang cinta dan kekuasaan.
Adalah Rodha Grauer, seorang sutradara dan penulis naskah teater hingga serial televisi selama lebih dari 40 tahun, yang pertama kali mengetahui tentang Sureq Galigo kala ia melakukan penelitian kaum bissu di Sulawesi Selatan. Bissu merupakan kaum yang dipercaya sebagai titisan Dewata. Mereka bukan pria, bukan pula wanita. Kaum yang menjadi pemimpin spiritual dari era Bugis kuno.
Menemukan sebuah kisah yang begitu prestisius, Rhoda tak ingin melewatkannya begitu saja. Sesuai keahliannya, ia kemudian mengadaptasi kisah La Galigo dalam sebuah naskah pementasan teater. Bersama dengan sahabatnya, Restu Imansari Kusumaningrum, kisah adaptasi La Galigo tersebut dipentaskan dalam bentuk teater kontemporer dengan nama I La Galigo.
Berdasarkan materi Sureq Galigo, pertunjukan I La Galigo mengangkat kisah tentang Dunia Tengah (kemanusiaan), cerita tentang prajurit Sawerigading dan saudara kembarnya, We Tenriabeng, yang disampaikan dalam paduan narasi, tari, dan gerak tubuh. Pertunjukan yang dikemas selama 120 menit ini juga diiringi efek cahaya khas sutradara dan penulis naskah teater terkemuka di dunia, Robert Wilson. Hasilnya, sebuah aksi panggung teater yang spektakular.
Setelah 15 tahun lebih menjelajah dunia, pentas teater I La Galigo akan dipentaskan di Ciputra Artpreneur, Jakarta, 3, 5, 6, dan 7 Juli 2019 mendatang. Sebelumnya, mari berkenalan dengan tiga sosok penting di balik pertunjukan mendunia ini.