Tiga Produser Wanita Indonesia Mumpuni Hadirkan Transformasi “Di Tepi Sejarah”

Foto : Istimewa

WanitaIndonesia.co, Jakarta – Nama besar Happy Salma, Yulia Evina Bhara, Pradetya Novitri sebagai pekerja kreatif di ekosistem teater Indonesia kian diapreasi oleh banyak pihak, khususnya oleh generasi muda.

Diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Indonesiana TV, Happy bersama Titimangsa, dan KawanKawan Media merilis lima tayangan seri monolog Di Tepi Sejarah Musim Ketiga.

Sebelum rilis, telah dipentaskan dalam Festival Monolog Desember 2023, di Teater Salihara. Hadir kolaborasi 3 produser wanita mumpuni
Happy Salma dari Titimangsa Foundation, Yulia Evina Bhara dari KawanKawan Media, dan Pradetya Novitri dari Titimangsa Foundation.
Selain merilis tayangan pertunjukan, diluncurkan pula antologi naskah Di Tepi Sejarah dalam Tiga Musim (2021,2022, 2023) dengan penyunting Ahda Imran, diterbitkan oleh Kepustakaan Kompas Gramedia.

Happy Salma salah satu Produser Di Tepi Sejarah musim ketiga. (Foto : Istimewa)

Mengagungkan Marwah Pahlawan Terlupakan

Kolaborasi apik anak negri mampu menghadirkan warna baru di ekosistem panggung teater Indonesia. Sejumlah sosok pahlawan diceritakan lewat berbagai kiprahnya seperti berjuang dengan mengangkat senjata, berjuang lewat diplomasi, berkesenian, hingga berjuang sebagai orang tua tunggal yang mengasuh, mendidik, serta membesarkan anak-anaknya dalam masa revolusi.

Di Tepi Sejarah merupakan seri monolog menceritakan sejumlah tokoh yang berada di tepian sejarah. Mereka ini diibaratkan seperti ada, dan tiada karena luput ditulis pada tinta emas sejarah Indonesia.
Para sosok pahlawan tersebut memiliki peran strategis di masanya.
Mereka menjadi bagian dari dari peristiwa penting di Indonesia.

Tentu dibutuhkan pembaharuan ketika hendak menyajikan fakta sejarah ke generasi sekarang agar menjadi magnet.
Happy bersama sahabat-sahabatnya memberikan alternatif berupa sudut pandang berbeda, dari tokoh yang ditampilkan.
Tujuannya ingin memberikan warna baru bagi catatan sejarah bangsa, serta edukasi ke masyarakat lewat tayangan bermutu dari perkembangan ekosistem seni Indonesia.

Pekerjaan menghimpun, kemudian menyatukan sejarah yang berserak tentunya menghadirkan sejumlah tantangan bagi penulis, maupun pemain dikarenakan mereka terpaut zaman,
serta minimnya sumber informasi.

Lewat proses kreatif yang panjang, penuh dinamika hadir buah karya gemilang kisah Oto Iskandar Dinata dari sudut pandang sang istri Raden Ajeng Soekirah. Tokoh perempuan lainnya adalah Ruhana Kuddus, pejuang kesetaraan kaum perempuan yang turut memperkaya tayangan seri monolog ini.

Tak kalah inspiratif kisah Francisca Casparina seorang diplomat ulung, pejuang paska kemerdekaan. Kian memikat lewat monolog aktor Tan Tjeng Bok yang multitalenta. Beliau sanggup bertahan melintas tiga zaman, walau diakhir hayatnya harus terpuruk. Kian istimewa dari cerita tokoh pers, serta tokoh Kebangkitan Nasional Indonesia Tirto Adhi Soerjo.

Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra menyampaikan, “Di Tepi Sejarah menjadi alternatif menarik dalam memberikan literasi, serta edukasi di masa sekarang kepada masyarakat, khususnya ke kalangan generasi muda.”

Ahmad melanjutkan, “Banyak kisah Inspiratif terkait sejarah yang kurang dipahami anak-anak muda, dikarenakan kurangnya literasi, sumber informasi, upaya untuk memperkenalkannya, serta kurangnya minat mereka untuk mempelajarinya.”

Legacy berharga naskah monolog tuk generasi sekarang. (Foto : Istimewa)

Persembahan Kecil Merawat Ingatan

Kepada WanitaIndonesia.co Happy menyampaikan, “Ide awal seri monolog Di Tepi Sejarah muncul saat aku tengah mengerjakan monolog “Aku Istri Munir”, berkisah tentang Suciwati, istri Munir yang naskahnya ditulis oleh sahabat saya Seno Gumira Ajidarma.”

“Waktu itu merupakan persembahan kecil, tapi berdampak masif. Banyak yang mengaku terinspirasi seolah menemukan jalan baru untuk merawat ingatan. Ini penting karena menginspirasi aku bahwa dengan situasi sekarang, banyak cara untuk terus bergerak, berbuat, serta memberi manfaat lewat panggung teater, “terang Happy.

Happy menambahkan, “Ada banyak sekali tokoh yang bisa dijadikan pembelajaran atas sejumlah kiprah, serta dalam kehidupan sehari-hari mereka. Khususnya ikhwal pergulatan, serta perjuangan. Semua kisah merupakan interpretasi (penafsiran) terhadap sejarah itu sendiri, sekaligus juga menghadirkan ruang diskusi. ”

Program yang memasuki musim ke – 3 progresnya sangat luar biasa. Kian berkembang, bertambah besar. Menjadi magnet bagi banyak pelaku seni dengan latar belakang berbeda, khususnya dari kalangan generasi muda untuk ikut terlibat.
Pembaharuan hadir dari sisi tayangan di Indonesiana TV agar cakupannya meluas, semakin menginspirasi lebih banyak masyarakat.

Yulia Evina Bhara melanjutkan, “Selain lewat tayangan, diluncurkan antologi naskah Di Tepi Sejarah di Tiga Musim menjadi sebuah buku, yang menghadirkan 14 naskah monolog. Monolog merupakan model pertunjukan singkat yang menghadirkan satu orang pemain.”

“Saat buku didistribusikan ke sejumlah sekolah, ekosistem seni, kami merasa tersanjung dengan antusias, serta apresiasi lebih. Banyak yang meminta izin untuk mementaskan di lingkungannya masing-masing. Ini dikarenakan kekuatan naskah yang mengeksplorasi sisi humanisme para tokoh. Sangat menarik, menyentuh, serta menginspirasi, “pungkas Yulia.