Tertarik Jadi Investor pada Peer to Peer Lending? Pahami Dulu 5 Risikonya

wanitaindonesia.co – Tren digitalisasi di beberapa sektor perekonomian terutama perusahaan fintech (financial technology) di Indonesia semakin meningkat seiring adanya pandemi COVID-19. Tentu saja ini membuat perubahan gaya hidup masyarakat, tak terkecuali dalam sektor keuangan. Perusahaan fintech seperti peer to peer (P2P) lending menghadirkan tren baru dalam hal pinjam meminjam uang atau dana  usaha, dengan menjadi lebih mudah cukup melalui aplikasi online, tanpa harus keluar rumah.

Tak dipungkiri, mudahnya fintech P2P lending diakses masyarakat dan fakta bahwa masih banyaknya pelaku usaha, terutama UMKM yang sulit mendapatkan pinjaman dana untuk modal pengembangan bisnisnya, turut mendorong pertumbuhan fintech pinjam ini. Menurut Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016, fintech P2P lending merupakan layanan pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara kreditur/lender (pemberi pinjaman) dan debitur/borrower (penerima pinjaman) berbasis teknologi informasi.

Tidak semata bicara tentang peminjam, dalam platform online P2P lending, juga dikenal istilah investor atau lender, yaitu orang yang memberikan pinjaman dana. Sitem kerjanya, peminjam dana akan dikenakan bunga setiap bulan, di mana peminjam harus membayar pokok pinjaman beserta bunga sesuai dengan tenor. Dari bunga itulah investor atau lender akan memperoleh imbal hasil atau return setiap bulan atau setiap tahun, tergantung kesepakatan. Menariknya, siapapun dapat menjadi investor di fintech P2P lending, termasuk ibu rumah tangga, kaum milenial, atau mahasiswa.

Menggiurkan memang, apalagi investasi di fintech P2P lending ini memberikan janji return yang cukup tinggi per tahunnya. Namun jangan cepat tergiur, pahami dulu cara kerjanya dan risiko berinvestasi dalam P2P lending berikut ini.

1. Imbal hasil tinggi

Keuntungan investasi di fintech P2P lending adalah mendapatkan imbal hasil dengan rate di atas persentase bunga deposito, mencapai 18 persen per tahun. Selain imbal hasil yang tinggi, investor di peer to peer lending juga bisa memulainya dalam jumlah yang kecil, sehingga lebih mudah terjangkau dan jangka waktunya lebih singkat. Tapi pastikan ya, dana yang Anda gunakan untuk investasi ini benar-benar dana yang belum terpakai. Umumnya, penasihat keuangan tidak menyarankan Anda untuk menggunakan dana darurat dalam berinvestasi.

2. Berisiko tinggi

Sepadan dengan keuntungan yang dijanjikan, investasi di fintech P2P lending berisiko tinggi sehingga hanya cocok bagi Anda yang profil risikonya agresif. Pasalnya, peminjam dana Anda bisa telat atau gagal bayar, selain itu juga ada risiko uangmu dibawa kabur. Itu sebabnya, Anda harus selalu menggunakan jasa penyelenggaraan fintech P2P lending yang sudah terdaftar/berizin dari OJK. 

3. Perhatikan angka kredit macetnya

Perhatikan angka kredit macet dari perusahaan fintech P2P lending yang Anda pilih. Semakin kecil angkanya, semakin baik performanya. Cari tahu juga apakah mereka cukup ketat dalam proses penyeleksian peminjam dana atau tidak.

4. Pilih peminjam dana yang berkomitmen

Perusahaan fintech P2P lending akan mengirim profil calon peminjam yang membutuhkan dana kepada Anda. Dengan demikian, Anda bebas memilih peminjam yang akan didanai. Pilih peminjam yang disiplin dan berkomitmen mengembalikan dana pinjaman. Anda juga dapat memilih lebih dari satu peminjam. Ini akan membuat investasi lebih aman.

5. Dana investasi tak bisa ditarik sesuka hati

Sebagai pemberi pinjaman (lender), Anda harus menyadari bahwa Anda tidak dapat mengambil atau menarik dana di tengah jalan. Selain itu perusahaan fintech P2P lending punya aturan masing-masing dalam pencairan dananya. Umumnya tenor pendanaan atau investasi yang ditawarkan beragam, dimulai dari tiga bulan, enam bulan, satu tahun, atau bahkan lebih. Jadi pastikan Anda menginvestasikan “uang dingin”, atau uang yang tidak terpakai. (wi)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini