wanitaindonesia.co – Sebagai negara maju, Jepang nyatanya masih tertinggal dalam menghapus tabu menstruasi para perempuan.
Pada 2019, sebuah pusat perbelanjaan Daimaru cabang Umeda, Osaka, Jepang memperkenalkan “pin menstruasi” ke khalayak luas. Para karyawan perempuan beramai-ramai menyematkan pin itu di bawah tanda nama mereka. Dikutip dari BBC, pin menstruasi yang dikenal juga dengan “pin fisiologi” ini menampilkan karakter kartun bernama Seiri Chan. Pin menstruasi diperkenalkan atas saran perempuan pekerja berusia 20-an yang menginginkan lingkungan kerja kondusif dan nyaman bagi perempuan dengan lebih terbuka soal rasa sakit selama haid.
Juru bicara dari Daimaru cabang Umeda, Yoko Higuchi berharap, perkenalan pin menstruasi dapat membantu meruntuhkan tabu menstruasi di Jepang dan mendorong diskusi terbuka, antara perempuan dan lelaki, khususnya di lingkungan kerja.
Apakah usaha itu berhasil? Dilansir dari Japan Times, staf perempuan Daimaru yang tidak ingin disebutkan namanya mengungkapkan, sebelumnya sangat sulit meninggalkan pelanggan hanya untuk pergi ke kamar mandi. Ia pun malu meminta temannya yang lain untuk menggantikan posisinya sebentar. Namun berkat pin tersebut, ia bisa izin ke kamar mandi tanpa ragu.
Hikaru Tanaka, sejarawan sosial dan penulis buku berjudul “Seiriyohin no Shakaishi (Sejarah Sosial Produk Sanitasi Menstruasi)” juga memandang positif peluncuran pin menstruasi, dengan mengatakan, “Ini adalah gerakan untuk berbicara secara terbuka tentang menstruasi dalam masyarakat Jepang yang telah lama dianggap kotor dan memalukan.” Ia berharap, para perempuan bisa membicarakan menstruasi tanpa harus bisik-bisik seperti sekarang.
Dulu Suci, Sekarang Dianggap Kotor
Berkaca dari inisiatif peluncuran pin menstruasi, kita mungkin bertanya-tanya, seberapa tabu, sih pembicaran mengenai menstruasi di Jepang? Dari segi sejarah masa Jepang kuno, menstruasi dipahami sebagai sesuatu yang sangat terkait dengan alam dan kami 神 (dewa). Hal ini bisa dilihat dari kata menstruasi dalam bahasa Jepang, sendiri 月経 (gekkei) dengan kanji tsuki 月 atau bulan sebagai padanan utama kanji yang ada dengan bulan sebagai “penanda dewa”.
Maura Stephens-Chu, akademisi dari Anthropology Graduate Student Association dalam penelitiannya “From Sacred to Secret: Tracing Changes in Views of Menstruation in Japan” (2019) mengungkapkan, catatan Kojiki (catatan sejarah tertua Jepang yang dirampungkan pada abad ke-8 M) menampilkan bagaimana pemandangan darah menstruasi di ujung pakaian Putri Miyazu menginspirasi Yamato Takeru untuk menyanyikan lagu dan membuat puisi indah kepada tunangannya ini.
Dari potongan kisah dalam Kojiki, Stephens-Chu kemudian mengutip pernyataan Ono Chisako dari Universitas Doshisha, Stephens-Chu chu bahwa pada zaman itu, menstruasi memiliki kualitas mistik, karena melibatkan pendarahan tanpa kematian, yang hanya bisa dilakukan oleh Sang Dewa, sehingga menstruasi memberikan semacam keilahian dan “pengabdian agama”.
Namun, pandangan mengenai menstruasi kemudian mulai berubah dan mulai diasosiasikan dengan polusi atau sesuatu yang kotor pada era Heian (794 – 1185). Ini ditandai dengan ajaran Buddhisme esoteris Jepang yang mulai masuk di negara itu. Bernard Faure, akademisi Amerika yang berfokus pada Chan/Zen dan Buddhisme esoteris Jepang dalam “The Power of Denial: Buddhism, Purity, and Gender” (2003) berujar, dalam ajaran Buddhisme esoteris Jepang, terdapat praktik “mengisolasi dan menghilangkan” kenajisan untuk melindungi dan menjaga kemurnian, serta konsep polusi yang timbul dari kematian, kelahiran, dan darah.
Darah menstruasi dilihat sebagai sesuatu sangat tidak murni karena mengandung tanda kekuatan eksklusif perempuan. Fenomena biologis menstruasi menyebabkan lahirnya pandangan bahwa tubuh perempuan menakutkan karena aliran darah yang keluar mengalir di luar kendali perempuan sendiri. Dari sinilah kemudian muncul stigma terkait menstruasi di mana itu dianggap sebagai kekuatan yang bisa membuat benda, ruang, dan orang lain “tercemar “karenanya.
Stigma menstruasi sebagai polusi atau sesuai yang kotor sebenarnya pernah dicoba hapuskan oleh pemerintah Meiji. Jepang yang ketika itu sedang mengalami modernisasi besar-besaran melihat bagaimana stigma negatif terhadap menstruasi ini sangat ketinggalan zaman. Dari sinilah pemerintah Meiji kemudian memperkenalkan konsep kebersihan atau hygiene yang mereka adopsi dari masyarakat Barat modern.
Konsep kebersihan atau hygiene disebarkan oleh pemerintah Jepang kepada para dokter, birokrat, dan perempuan Jepang. Melalui kuliah umum, artikel majalah, dan kurikulum sekolah, para ilmuwan dan instruktur (kebanyakan laki-laki) ‘menstandarkan pengalaman menstruasi bagi perempuan. Namun, kendati ada usaha dari pemerintah Jepang untuk menormalisasi menstruasi dan mengaitkannya sebagai masalah kebersihan, nampaknya ajaran Buddhisme esoteris Jepang masih tertanam kuat di dalam benak masyarakat Jepang bahkan hingga saat ini.
Tabu Menstruasi yang Membuat Perempuan Jepang Kewalahan
Saya memiliki seorang sahabat yang sudah bekerja di Jepang lebih dari tiga tahun. Dalam perbincangan kami pada (18/9) lalu, ia menceritakan pengalamannya sebagai perempuan pekerja di Jepang yang harus bergumul dengan tabu menstruasi. Yang membuatnya kaget adalah perempuan Jepang yang membeli pembalut di minimarket, harus membungkusnya dengan kantung plastik hitam, sehingga tidak ada yang dapat melihat wujud pembalut tersebut.
Perempuan pun tidak boleh berbicara apapun mengenai menstruasi di kantor, sehingga praktik meminta pembalut ketika haid kepada sesama rekan kerja perempuan seperti di Indonesia tidak pernah terjadi di kantornya. Tiap perempuan harus siap sedia dengan pembalutnya masing-masing. Titik.
“Sampai bingung ini laki-laki di sini sebenarnya tahu enggak, sih kalau perempuan ada yang namanya ngalamin haid? Sudah ada peraturan sosial yang mendarah daging, kalau lo ngomong tentang haid itu kaya semacam aib”.
Sahabat saya juga menambahkan bagaimana tabu menstruasi ini sangat berpengaruh dengan bagaimana perempuan akhirnya tidak bisa meminta jatah cuti haid. Kebanyakan perempuan di sana lebih memilih untuk berbohong kepada atasan karena nyeri haid yang mereka alami. Padahal cuti haid sudah lama diberlakukan di Jepang sejak setelah akhir perang dunia II berdasarkan hukum ketenagakerjaan 1947.
“Setiap sakit haid terus mau izin pasti aku ngebohong. Ditanya misalnya, ‘sakit apa?’, ya bilang aja sakit kepala, enggka enak badan, atau sakit perut. Semua perempuan di kantor juga begitu, karena dari awal sudah dibilangin sama mentor, pokoknya jangan pernah ngomong tentang haid di kantor.”
“Cuti haid memang ada, tapi kalau mau ambil cuti haid itu harus ngomong ke atasan laki-laki. Karena ada tabu untuk ngomongin haid ke orang lain, ya udah akhirnya enggak ada yang berani ngambil juga. Ya jadinya perempuan-perempuan di sini diem aja menahan sakit atau izin dengan berbohong,” imbuhnya.
Sejalan dengan pengalaman sahabat saya ini, Kyoko, perempuan pekerja Jepang yang pernah diwawancarai The Guardian pada 2016 mengungkapkan, tabu menstruasi yang begitu mengakar di Jepang dapat mengarah pada pelecehan seksual. Sebab, jika kamu berbicara mengenai cuti haid berarti sama saja kamu mendeklarasikan dirimu sebagai seseorang yang lemah.
“Jika perempuan memberi tahu orang lain terutama laki-laki bahwa mereka ingin mengambil cuti karena menstruasi, maka kamu dipandang tidak sebaik laki-laki. Kamu tidak setara dengannya dan kamu adalah orang yang lemah,” ucap Miko Murakami, kepala Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Tokyo dalam wawancaranya bersama CNN Business pada 2020.
Karena itulah, kata dia, survei pemerintah Jepang pada 2017 menemukan, hanya 0,9% karyawan perempuan yang mengklaim menggunakan cuti haid. Jika mengurus perkara cuti haid saja bisa semenakutkan ini, bagaimana Jepang bisa bermimpi menghapuskan tabu-tabu lainnya yang merugikan perempuan, ya?