Site icon Wanita Indonesia

Sunat dan Pemotongan Kelamin Perempuan: Praktik Kekerasan Terhadap Anak Perempuan Indonesia

Sunat dan Pemotongan Kelamin Perempuan: Praktik Kekerasan Terhadap Anak Perempuan Indonesia

wanitaindonesia.coAlat Praktik sunat perempuan (Female Genital Mutilation) di Indonesia sudah berlangsung lama. FGM melanggar HAM karena mengancam nyawa para gadis.

Suatu ketika seorang teman mengirim pesan. Bunyinya, dia meminta rekomendasi dari dokter, bidan, atau rumah sakit yang bisa melakukan prosedur sunat dan sunat perempuan (FGM/C) pada bayi perempuannya.

Terkejut, saya secara refleks bertanya, “Mengapa anak Anda harus disunat? Bukankah Organisasi Kesehatan Dunia melarang FGM/C karena tidak aman secara medis? Bukankah rumah sakit juga dilarang mempraktekkan FGM/C?”

Sahabat lulusan pesantren dan tinggal di Jakarta ini tak bergeming. “Tapi di keluarga kami bayi perempuan harus disunat,” katanya.

“Hari ini, jika putri kami tidak disunat, bagaimana masa depannya? Bisa ‘ganas’,” ujarnya lagi.

Kemudian percakapan melebar ke pertanyaan tentang arti ‘ganas’ yang dimaksud teman saya. Ternyata, menurut seorang teman saya yang ia dengar dari orang tuanya, serta keluarga besarnya, FGM/C sudah menjadi tradisi turun temurun. Tidak ada kewajiban tertulis, tetapi semua bayi perempuan dalam keluarga wajib disunat untuk menjaga ketakwaan dan juga mengendalikan hasrat seksualnya.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah Anshor menyebut FGM/C sebagai praktik yang membahayakan perempuan. Selain sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan, yang berdampak serius pada kesehatan reproduksi dan seksualitasnya, FGM/C disebut sebagai pelanggaran hak untuk hidup. Karena dapat mengancam nyawa bayi.

Menurut Ketua Fatayat, Badan Otonom Nahdlatul Ulama 2000-2005, masyarakat tidak boleh lagi menjalankan tradisi yang membahayakan kehidupan manusia.

“Dalam Islam tidak disebutkan FGM/C sebagai syarat masuk Islam. Jadi, sesuatu yang diyakini mengancam nyawa karena mengikuti tradisi tidak perlu dilanjutkan,” ujarnya dalam diskusi publik yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Kalyanamitra bertajuk “Membangun Kolaborasi Para Pihak Pencegahan FGM/C di Indonesia, Kamis 30 September 2021 via online.

Bahaya FGM ini dikonfirmasi oleh dokter Muhammad Fadli Sp.OG, dokter spesialis kebidanan dan kandungan di RS Pondok Indah, Jakarta. Secara medis, FGM/C adalah kondisi yang mengancam jiwa bayi atau anak perempuan karena pendarahan yang disebabkan oleh luka atau sayatan di alat kelamin atau lebih tepatnya pada klitoris vagina wanita.

“Semua tindakan cedera di area vagina wanita dapat berdampak serius dan mengakibatkan infeksi, trauma psikologis, hingga mengancam jiwa karena pendarahan,” katanya di acara yang sama.

Ia menyayangkan FGM/C masih terjadi hingga saat ini. Apalagi beberapa hasil penelitian dan kajian medis merekomendasikan pelarangan FGM/C karena berbahaya. Ia menjelaskan, pertimbangan sunat laki-laki karena alasan kesehatan. Sedangkan FGM/C tidak memiliki manfaat kesehatan sama sekali.

“Saluran kemih pada alat kelamin laki-laki kecil, sehingga perlu dilakukan pemotongan kulit penis. Sedangkan pada perempuan saluran kemih berbeda dengan laki-laki dan tidak ada halangan pada saluran kemih,” ujarnya.

Di beberapa daerah yang dikunjunginya, praktik FGM/C oleh dukun bayi mengabaikan keselamatan bayi dan anak perempuan. Sunat laki-laki dengan sayatan kulit dalam prosedur medis selalu menggunakan anestesi (pembiusan). Namun FGM/C dilakukan secara langsung dengan melukai dan menyayat klitoris, organ seksual wanita yang memiliki banyak saraf dan pembuluh darah.

“Jadi FGM tidak hanya mengerikan, sadis. Tapi itu mengancam kematian,” katanya.

Sementara itu, Direktur Rahima, sebuah LSM yang fokus pada isu pendidikan, informasi Islam, dan hak-hak perempuan, Pera Sopariyanti mengatakan dalam Islam praktik FGM/C tidak memiliki landasan yang kuat. Apalagi tradisi FGM/C sudah terjadi jauh sebelum Islam ada.

“Semua hadits tentang FGM/C mengacu pada hadits dhaif (hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih). Jadi legal backingnya lemah,” kata Pera.

Menurut Pera, beberapa hadits dhoif dijadikan acuan untuk melakukan FGM/C guna lebih berupaya mengontrol seksualitas perempuan. Bukan karena alasan kesehatan dan manfaat. Jadi tradisi FGM/C harus ditolak karena membawa kerugian.

“FGM/C itu ilegal karena dhoror (perbuatan yang bisa merugikan orang lain-Red), apalagi ada temuan medis yang membuktikan bahaya FGM/C,” ujarnya.

Menurut UNICEF, Indonesia termasuk dalam tiga besar negara yang melakukan FGM/C. Survei Kesehatan Dasar Nasional 2013 menemukan 51,2% anak perempuan berusia 0-11 tahun di Indonesia pernah mengalami FGM/C dan praktik ini melanggar hak asasi manusia karena membahayakan nyawa anak perempuan dan perempuan.

 

Exit mobile version