Site icon Wanita Indonesia

Sulitnya Jadi Korban Kehamilan Tak Diinginkan: Film “Telur Setengah Matang”

Kami Kehilangan Care GSulitnya Jadi Korban Kehamilan Tak Diinginkan: Film “Telur Setengah Matang”iver Selamanya: Perempuan Disable Netra Di Tengah Pandemi

wanitaindonesia.co Film ‘Telur Setengah Matang” bercerita tentang kehamilan tak diinginkan yang mengorbankan perempuan. Ditambah lagi sulitnya memilih untuk melakukan aborsi aman

Sebuah judul film 16 menit besutan sutradara Reni Apriliani tetiba menarik perhatian saya: “Telur Setengah Matang”. Cukup lucu judulnya. Tapi tak sekadar itu, film itu ternyata mengungkap kisah getir sekaligus problematik atas minimnya akses kesehatan reproduksi bagi perempuan.

Film itu dipentaskan di sebuah program pemutaran film bertajuk Menonton Film, Merawat Harapan, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Film dan Televisi bersama kelompok PKK Gedawang, Kota Semarang, pada 13 Juni 2021 lalu.

Nisa (Lia Nur Vita), tokoh sentral yang jadi pusat perhatian dalam film ini. Seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP. Dia mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Kaget dan tak siap: Nisa berniat untuk melakukan aborsi. Namun, akses kesehatan reproduksi yang minim menjadikan Nisa kesulitan melancarkan niatnya.

Perkara aborsi juga masih menjadi hal tabu di kalangan masyarakat. Stigma negatif sebagai tindakan kriminal hingga melanggar norma agama dilekatkan pada perempuan. Sementara, upaya untuk memperoleh keadilan dari negara dalam mendapat akses aborsi yang aman dan legal pun masih menjadi ‘jalan terjal’ di Indonesia.

Aborsi di Indonesia hanya bisa dilakukan, bila ada indikasi medis pada keadaan darurat yang membahayakan ibu hamil dan janin. Lalu, bagaimana dengan kasus yang dialami oleh Nisa yang tidak siap hamil?

Walaupun secara biologis Nisa telah siap untuk hamil, tetapi kematangan organ reproduksi itu tidak beriringan dengan kesiapan sosial dan psikologisnya. Seperti judulnya, telur diibaratkan sebagai sosok Nisa dan kuning telur yang setengah matang merupakan psikis Nisa yang belum siap hamil. Jika bukan dengan aborsi, apakah menikah bisa jadi ‘jalan keluar’ atas stigma negatif sebuah kehamilan yang tidak diinginkan?

Kegelisahan Nisa membuncah, kala dia tidak memperoleh pertanggungjawaban dari pacarnya. Nisa pun harus mengalami hal buruk lainnya, dia dikeluarkan dari sekolah. Seperti kebanyakan kasus yang dialami Nisa, pihak perempuanlah yang lebih dirugikan dibanding laki-laki. Dia menanggung pula beban berat: hamil sekaligus terstigma negatif di tengah masyarakat.

Mengetahui anaknya hamil, ayah Nisa (diperankan Triadi Hamung) dengan sabar membantu Nisa untuk mencari solusi. Sang ayah menghormati pilihan Nisa untuk menggugurkan kandungan alasan demi kebahagiaan.

Bagian paling menggetarkan adalah ketika Ayah Nisa mengayuh sepeda tua bersama putrinya untuk mencari-cari klinik yang menyediakan layanan aborsi. Jalan yang panjang berliku yang ditampilkan dalam film, seolah menggambarkan sulitnya mengakses layanan aborsi yang aman bagi kalangan menengah ke bawah di Indonesia ini.

Namun Nisa dan sang ayah rupanya tak bisa juga menemukan layanan kesehatan untuk aborsi. Lengkap sudah, perjuangan tak mudah yang harus ditempuh bagi perempuan dalam mendapatkan keadilan atas hak-hak reproduksinya.

Kisah Nisa memberi potret bagaimana pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia belum mampu menghadirkan informasi kesehatan reproduksi perempuan. Padahal setiap perempuan memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan pribadi. Sayang, hal tersebut tidak sejalan dengan hak-hak asasi manusia, khususnya perempuan.

Film garapan Rani Apriliana tak sekadar menceritakan kehamilan yang tak diinginkan, tetapi juga menggambarkan sistem hukum dalam penanganan kasus hak-hak reproduksi perempuan. Telur Setengah Matang menyadarkan kita, bahwa layanan kesehatan bagi perempuan belum sepenuhnya terpenuhi. Apalagi membahas persoalan layanan praktek aborsi.

Di samping itu, film ini juga ingin menyorot akses informasi edukasi seksualitas dan kesehatan reproduksi yang masih minim di dunia pendidikan karena masih dianggap sebagai hal yang sensitif. Ini ditunjukkan dari peran pendukung yang berasal dari lingkaran pertemanan Nisa, yang ternyata tidak banyak mengetahui soal hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Exit mobile version