Situ Paling ‘Edgy’? Ketika Kamu Merasa Punya Selera Superior

Situ Paling ‘Edgy’? Ketika Kamu Merasa Punya Selera Superior

wanitaindonesia.co‘Edgy’ dimaknai sebagai anggapan ketika seseorang merasa seleranya lebih baik dibandingkan orang lain.

Serial Netflix asal Korea Selatan, Squid Game panen besar. Tak hanya menuai respons positif dari audiens global, saham Netflix ikut terkerek naik pada minggu terakhir September di angka US$610,34. Serial yang mendapatkan peringkat persetujuan 100% di agregator Rotten Tomatoes itu juga jadi buah bibir di media sosial, dari Twitter, Instagram, hingga TikTok. Bahkan, sineas The Haunting of Hill House dan Midnight Mass, Mike Flanagan mengapresiasi Squid Game dengan menyebutnya, “I really, really, really liked it.

Meski animo publik relatif positif, Squid Game tak lepas dari sinisme warganet yang mengaku paling edgy. Ya saya tahu, masalah selera memang urusan masing-masing, tapi setidaknya, tolong beri alasan legit kenapa serial ini tak patut ditonton, sesuai point of view (POV) mereka.

Masalahnya, alih-alih memaparkan alasan yang logisorang-orang ini justru lebih banyak menggunakan kata-kata menghina atau merendahkan seperti, “This show is overrated, “garbage”, atau “Trash Squid Game can rot in garbage.” Ya komentar-komentar tipikal dari orang-orang yang mau terlihat keren karena memiliki selera berbeda dari kebanyakan orang lain.

Edgy dalam Budaya Populer

Respons sinis terhadap Squid Game sebenarnya bukan hal yang baru dalam budaya populer. Setiap ada sesuatu yang populer dan digandrungi oleh banyak orang, pasti ada saja sekelompok orang yang merasa dirinya mempunyai selera lebih tinggi atau unik dibandingkan dengan mayoritas orang lain. Contoh termudah misalnya, bagaimana para pecinta musik indie merasa diri mereka memiliki selera musik yang lebih berkelas daripada mereka yang doyan musik pop. Dilansir dari artikel Voi.id, perempuan bernama Diah misalnya mengungkapkan bagaimana dirinya diejek oleh senior kampusnya karena menyukai Sheila on 7.

“Waktu kuliah lima tahun yang lalu kira-kira, gue lagi keranjingan banget sama Sheila on 7. Semua lagunya yang dulu gue dengerin, terus ada teman gue yang kritik, ‘Kenapa, sih elo mesti banget dengar Sheila on 7, lagu mereka biasa banget enggak ada istimewanya,” tutur dia.

Tidak hanya senior Diah saja, banyak sekali spesies orang-orang julid seperti ini bertebaran di media sosial, termasuk akun Twitter @txtbocahindie. Akun ini didedikasikan untuk cuitan yang berisi screenshot dari snob Indie, seseorang yang merasa dirinya begitu memahami permusikan indie dengan cara merendahkan selera musik orang lain. Bahkan tidak jarang mereka menggunakan jurus julid intelek, memakai bahasa yang dakik-dakik agar mereka terlihat lebih pintar dibandingkan para penikmat musik lain, utamanya pop.

Jika kita menilik dari sejarah, julid intelek ini sudah lama terjadi dan ya tidak bisa disangkal juga kalau memang banyak sekali dilakukan oleh laki-laki. Dalam jurnal akademik Beatlemania: Girls  Just Want to Have Fun (1992),  Barbara Ehrenreich, Elizabeth Hess dan Gloria Jacobs mengungkapkan, pada 60-an kepopuleran The Beatles saat itu dilihat sebagai sesuatu yang menggelikan, dan Beatlemania (penggemar The Beatles) yang dahulu didominasi oleh perempuan, dianggap sebagai “epidemi”. Pun, The Beatles sendiri disebut sebagai pembawa wabahnya. Kritikus-kritikus musik yang didominasi oleh laki-laki pada awal kemunculan The Beatles pun melihat group itu sebagai lelucon dan mereka yang menyukai grup ini adalah sekumpulan monyet dungu.

Dunia perfilman juga tidak luput dari sasaran budaya “edgy” ini. Dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) misalnya, kendati dicintai oleh jutaan orang di seluruh dunia, itu tidak luput dari komentar-komentar julid pula. Coba cari saja kata kunci, seperti Marvel Sucks, Marvel Trash, Marvel Garbage, maka kamu akan menemukan banyak video sinis mengenai MCU. Bahkan yang membuat saya tidak kalah kaget adalah ketika media sekaliber Vox ikut serta melakukan julid intelek ini dengan membuat video bertajuk “Why the Marvel Cinematic Universe feels empty?

Kenapa Orang-Orang Merasa Dirinya Paling Keren?

Pertanyaannya, kenapa, sih ada orang yang merasa dirinya paling keren dibandingkan orang lain jika mereka membenci sesuatu yang populer? Dalam wawancaranya bersama Vice UK, Barry Kuhle, Associate Professor jurusan Psikologi di Universitas Scranton beranggapan, seseorang ingin terlihat lebih keren ketika mereka mengkritik hal populer.

“Mereka berusaha menunjukkan kepada orang lain kalau mereka lebih superior dan hebat,” tuturnya.

Barry melihat sikap ini sebagai cara mereka menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya mereka tidak tahu-tahu amat dengan suatu topik yang mereka kritisi itu. Orang menganggap ketidaktahuan sebagai kelemahan, dan mereka mencoba mengatasi kelemahan itu dengan mengkonfrontasi hal yang disukai banyak orang. Pada akhirnya, kelemahan itu berubah jadi kekuatan dan menjadi alat memvalidasi, dirinya lebih keren dibandingkan yang lain.

Penjelasan lain mengenai budaya “edgy” ini juga dapat kita lihat melalui istilah contrarian herd. Dalam halaman humanparts.medium.com dinyatakan, kita secara tidak sadar telah memiliki bias berpikir bahwa kita harus menjadi individu yang unik atau autentik. Sehingga, kita bisa memiliki nilai lebih sebagai manusia.

Kita mungkin merasa melepaskan diri dari ide-ide arus utama dengan sikap “unik”. Namun, yang kita lakukan hanyalah mengalihkan ide-ide kita ke kelompok lain yang sepemikiran dengan kita, semacam membangun echo chamber. Kelompok itu mungkin terasa menarik dan istimewa, tetapi tetap saja mereka tetaplah “kawanan kontrarian”.

Mau mendeklarasikan diri anti-mainstream atau lebih keren dari orang lain, faktanya kita hanya berpikir sebagai anggota kelompok yang berbeda dari kelompok mayoritas lain. Pandangan kontrarian ini sudah memiliki kelompoknya tersendiri yang akan dengan mudah setuju dengan semua yang kamu pikirkan. Layaknya kelompok mainstream yang kamu olok-olok dan rendahkan di depan umum. Memiliki pandangan yang berlawanan tentang hal mainstream tidak membuat kamu menjadi pemikir orisinal atau otomatis membuat kamu spesial. Hal ini karena yang kamu lakukan hanyalah menukar satu kotak dengan kotak lain dan mengelilingi diri kamu dengan ide-ide umum dari kotak baru ini. Jadi ya sebenarnya kamu tidak spesial-spesial amat kok.

Satu hal lagi yang menarik dari budaya “edgy” diungkap dalam penelitian Vickie Pasterski, Karolina Zwierzynska, dan Zachary Estes dari Departemen Psikologi di University of Warwick berjudul Sex Differences in Semantic Categorization (2011). Dengan partisipan penelitian berisi 55 laki-laki dan 58 perempuan, mereka mendapatkan hipotesis, laki-laki cenderung lebih gampang menghakimi daripada perempuan. Dalam hal ini laki-laki lebih mudah membuat penilaian hitam-putih, sedangkan perempuan melihat sesuatu secara abu-abu dalam pilihan. Vice UK yang pernah membahas hal ini pun mengungkapkan mungkin itulah alasannya kenapa banyak laki-laki cepat menilai sesuatu jelek hanya karena mereka tidak suka dengan sesuatu yang populer.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini