wanitaindonesia.co – Seluruh dunia memperingati tanggal 2 Oktober sebagai Hari Anti Kekerasan atau Hari Tanpa Kekerasan Internasional. Shirin Ebadi, adalah aktivis perempuan penerima Nobel perdamaian dunia yang memperjuangkan diakuinya hari tanpa kekerasan ini.
Kekerasan adalah musuh kita bersama dan terjadi dimana-mana, khususnya terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan tak hanya dialami di ranah personal, tapi juga terjadi di kantor, dan oleh negara. Kekerasan tak hanya berdampak pada luka fisik bagi korban, tetapi bisa menjadi trauma seumur hidup.
Hari anti kekerasan atau Hari Tanpa Kekerasan Internasional diperingati setiap tanggal 2 Oktober. Sejarah hari ini diawali ketika pada Januari 2004, aktivis dan penerima Nobel perdamaian 2003 dari Iran, Shirin Ebadi mengusulkannya.
Gagasan ini kemudian menarik perhatian ketika Shirin Ebadi mengajukan proposal tentang hari tanpa kekerasan ini pada guru Hindi di Paris. Sebuah resolusi Konferensi di India yang diprakarsai Sonia Gandhi kemudian menyerukan gagasan ini.
Pada tanggal 15 Juni 2017 Badan Dunia PBB kemudian menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Tanpa Kekerasan Internasional. PBB kemudian meminta semua negara anggota PBB untuk memperingati 2 Oktober sebagai hari tanpa kekerasan internasional
Shirin Ebadi, pengusul Hari Tanpa Kekerasan Internasional, adalah aktivis hak asasi manusia dan pengacara perempuan asal Iran yang pernah mendapatkan penghargaan perdamaian Nobel dalam usahanya menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia terutama pada hak perempuan dan anak.
Shirin menyatakan menolak segala bentuk intervensi asing dalam masalah negara Iran. Ia menyatakan bahwa perjuangan hak asasi manusia di Iran harus dilakukan oleh rakyat Iran dan menolak intervensi asing
Dalam penerimaan Nobelnya seperti dikutip pada https://rfkhumanrights.org/, Shirin menyatakan telah banyak perempuan yang berjuang untuk mewujudkan hak-hak mereka, tidak hanya di Iran tetapi di seluruh wilayah—hak-hak yang diambil dari mereka melalui perjalanan sejarah. Diterimanya Nobel ini akan membuat perempuan di Iran, dan lebih jauh lagi, percaya pada diri mereka sendiri. Perempuan merupakan setengah dari populasi setiap negara.
Dalam pidato penerimaan Nobelnya, Shirin juga mengatakan bahwa mengabaikan perempuan dan menghalangi mereka untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya sebenarnya sama saja dengan merampas separuh kemampuan seluruh penduduk setiap masyarakat. Budaya patriarki dan diskriminasi terhadap perempuan, khususnya di negara-negara Islam, tidak bisa berlangsung selamanya.
Shirin seperti dikutip pada www.nobelprize.org, lahir di kota Hamadan, Iran pada tahun 1947. Ia bekerja sebagai hakim di Teheran, Iran dan kemudian memegang berbagai posisi di Departemen Kehakiman dan kemudian menjadi kepala pengadilan Kota Teheran. Karena keyakinan bahwa Islam melarang perempuan menjadi hakim dan menjadi juru tulis pengadilan, Shirin kemudian mengajukan pensiun dini.
Ia kemudian banyak menangani kasus HAM dan banyak melakukan pembelaan terhadap kasus-kasus perempuan