wanitaindonesia.co – Segera menolong korban dan membantunya merehabilitasi psikis memang hal penting yang dapat dilakukan orang sekitar, tetapi pelaku pun perlu mendapatkan hal ini.
Beberapa waktu lalu, kawan saya, “Yola” bercerita tentang ayahnya yang ia masukkan ke rumah sakit jiwa (RSJ). Hal ini bukanlah peristiwa yang jamak dilakukan anak kepada orang tuanya. Bahkan, ada yang menganggap tabu. Anak dianggap durhaka bila melakukan hal tersebut, seakan-akan RSJ adalah “tempat pembuangan” yang semestinya dihindari oleh siapa pun. Di samping itu, ada juga anggapan, anak tidak mau mengupayakan jalan lain seperti bicara baik-baik dan lebih sabar menghadapi orang tuanya kala ia bermasalah.
Tindakan Yola ini dilandasi pengalaman bertahun-tahun mendapati ayahnya itu berperilaku toksik, baik kepada ia, saudara, maupun ibunya. Terlebih pada istrinya itu, ayah Yola hampir setiap hari melontarkan ucapan menghina, ancaman, serta perintah yang tak terbantahkan. Pembatasan ruang gerak, termasuk untuk mengunjungi kerabat, bahkan keluar berbelanja, menjadi hal lain yang mesti dialami ibu Yola selama menikah dengan suaminya. Ditambah lagi, Yola menyebut berkali-kali ayahnya itu melempar sesuatu ke badan ibunya atau melakukan kekerasan fisik lain yang menyebabkan sang ibu lebam-lebam. Relasi yang setara hanyalah angan-angan dalam rumah tangga orang tua Yola.
Perilaku ayahnya ini membuat Yola mengalami luka mendalam hingga punya kecenderungan melukai diri. Di satu titik, ia sadar perlu memulihkan dirinya sehingga ia memutuskan mendatangi psikiater. Seiring bertambahnya pengetahuan seputar kesehatan mental, Yola merasa ayahnya juga punya isu ini, sehingga ia mengajak ayahnya mendatangi psikiater. Namun, ayahnya tak merespons dengan positif. Ia terus-terusan mengecap Yola lah yang salah, anak tidak tahu diri, dan segala stempel buruk lainnya.
Puncaknya ialah ketika ayah Yola suatu ketika tidur-tiduran di jalan setelah berkonflik dengan istrinya. Tak tahan dengan perilaku ayahnya, Yola pun mengontak RSJ untuk menjemput dan merawat ayahnya. Setelah dilakukan pemeriksaan, baru ketahuan ayah Yola mengidap skizofrenia. Keputusan Yola ini jelas memicu penolakan besar dan amukan dari sang ayah. Namun Yola yakin, tindakannya adalah hal terbaik yang dapat dia lakukan.
Tak Hanya Korban, Pelaku Juga Butuh Pertolongan
Acap kali, kita mendengar bahwa hal pertama yang mesti dilakukan sebagai orang sekitar yang mengetahui adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah menyelamatkan korban terlebih dahulu. Ini adalah hal yang benar, tetapi hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana memperbaiki diri pelaku.
Melaporkan pelaku ke pihak berwajib agar korban tidak lagi merasakan KDRT atau segera kabur dari rumah saat ada kesempatan adalah beberapa opsi yang bisa memutus paparan sikap toksik pelaku. Namun, tidak semua korban memilih melakukan hal itu.
Dalam kasus Yola, meski sudah berulang kali menerima kekerasan, ibunya tidak juga mau berpisah dari suaminya. Yola sudah mengusahakan membantu ibunya dengan mengontak layanan advokasi untuk perempuan korban kekerasan, tetapi begitu dihubungi oleh pihak layanan tersebut, ibunya berkata bahwa ia tidak mau berpisah atau mengasuskan KDRT yang dialaminya.
Memang banyak faktor yang menyebabkan seseorang terjebak lama dalam relasi toksik, sehingga meski jalan keluar bisa diaksesnya, ia tidak juga mengambil pilihan itu. Pertimbangan korban bisa meliputi pandangan bahwa ia harus menjaga keutuhan rumah tangga, demi anak, pandangan buruk masyarakat sekitar tentang menjadi janda, ada ketergantungan dengan pelaku, atau karena alasan lainnya. Belum lagi ada banyak kejadian di mana korban KDRT tak kunjung dapat keadilan setelah melalui proses hukum yang panjang, bahkan tidak diterima atau dipercaya laporannya. Apa pun itu, kita tidak bisa menyalahkan korban karena tidak segera keluar dari pernikahan penuh KDRT.
Sementara ia bertahan dengan pilihannya itu, hal lain yang bisa kita lakukan adalah pendekatan terhadap pelaku dan mengupayakan agar ia tidak lagi melakukan KDRT karena korban dan pelaku akan tetap serumah, salah satunya dengan rehabilitasi psikis. Pasalnya, kerap kali kekerasan yang dilakukan seseorang itu berkaitan erat dengan problem psikologis tak disadari dan tak terselesaikan sejak lama, selain faktor budaya, misalnya yang meyakini laki-laki harus selalu di atas perempuan dan boleh saja laki-laki melakukan kekerasan terhadap mereka.
Masalah Psikis Pelaku KDRT, Dari Mana Sumbernya?
Dalam artikel PsychCentral, disebutkan bahwa umumnya pelaku KDRT merasa butuh mengontrol atau mendominasi pasangannya. Hal ini bisa bersumber dari rendahnya penilaian diri, kecemburuan yang ekstrem, kesulitan meregulasi kemarahan dan emosi kuat lainnya, atau mereka merasa inferior di hadapan pasangannya dari segi pendidikan atau sosial-ekonomi.
Permasalahan-permasalahan tersebut tidak datang begitu saja, tetapi dapat berhubungan dengan pola asuh masa kecil yang efeknya membekas hingga dewasa dan saat menjadi orang tua. Di banyak keluarga, KDRT dianggap normal, bahkan sepele. Ini membuat anak belajar bahwa dirinya sah-sah saja melakukan hal serupa setelah menikah dan punya anak. Ia akan berpikir bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan keluar dari suatu masalah dan sebagai cara pendisiplinan. Ini tercermin dari kisah Yola tentang ayahnya yang rupanya juga dididik dengan keras oleh orang tuanya yang temperamen.
Ada penjelasan mengapa pelaku begitu ingin mengontrol keadaan terkait trauma masa kecilnya. Dijelaskan dalam artikel MentalHelp.net, pelaku tahu betul rasanya menjadi korban yang disiksa dan tidak berdaya. Hal ini tidak serta merta membuatnya menjauhi tindakan kekerasan, tetapi juga dapat memunculkan kecenderungan ia mengambil posisi pelaku kekerasan terhadapnya dulu.
Mereka ingin “membalaskan dendam” atas ketidakberdayaan yang pernah mereka alami dan mengambil semua kesempatan untuk dapat mengontrol, tidak hanya hidupnya, tetapi juga orang lain. Saat mereka dewasa dan memasuki relasi, mereka mulai bertingkah seperti halnya yang mereka pelajari dari orang yang melukainya.
Selain pola asuh terdahulu, hal yang juga menyumbang masalah psikis pelaku KDRT sebagaimana disebutkan dalam Mayo Clinic adalah konflik dalam relasi rumah tangga atau perkara finansial. Kedua hal tersebut cukup untuk menyulut stres dan memicu depresi atau gangguan mental lainnya, sehingga berdampak terhadap bagaimana ia berperilaku terhadap orang lain. Orang depresi cenderung mudah tersinggung dan marah, serta punya toleransi yang sangat rendah terhadap orang lain.
Depresi atau gangguan mental, yang berkontribusi terhadap perilaku kekerasan, tidak hanya dapat terjadi karena peristiwa yang dialami seiring perjalanan waktu. Dilansir Medical News Today, gangguan mental tertentu bisa berhubungan dengan ketidakseimbangan senyawa kimia pada otak. Meski telah melihat ada kaitan antara dua hal ini, peneliti belum mengetahui bagaimana seseorang bisa mengalami ketidakseimbangan senyawa kimia.
Seseorang semakin mungkin mengalami masalah psikis dan menjadi pelaku KDRT ketika ia juga mengonsumsi zat tertentu seperti alkohol. Dalam pengaruh hal ini, ia tidak dapat menggunakan pikiran jernihnya untuk menakar sejauh mana dampak negatif yang terjadi pada dirinya dan korban saat melakukan kekerasan dan untuk mengontrol tindakannya.
Sementara dalam sejumlah kasus lainnya, KDRT berhubungan dengan ketidakmatangan psikis seseorang saat menikah dan punya anak. Ini kerap terjadi pada perkawinan muda. Karenanya, banyak psikolog yang menyarankan untuk menghindari hal tersebut.
Walaupun ada masalah psikis yang bisa mendorong orang melakukan kekerasan, hal ini tidak menjadi alasan untuk mengampuni tindakannya begitu saja. Hukum tetap perlu diterapkan, tetapi seiring dengan itu, rehabilitasi psikis pelaku juga mesti diusahakan.
Pentingnya Rehabilitasi Psikis Pelaku KDRT
Selain untuk menghindari terjadinya kembali kekerasan terhadap korban KDRT, rehabilitasi psikis pelaku juga penting dilakukan karena sejumlah alasan lainnya. Pertama, jika masalah psikis ini tidak segera diidentifikasi dan dipulihkan, ada kemungkinan pelaku juga akan melakukan kekerasan tidak hanya kepada pasangan atau anaknya, tetapi juga orang sekitar. Hal ini akan berefek domino, termasuk menyinggung masalah sosial seperti relasi yang buruk dengan orang sekitar, masalah pekerjaan, hingga menimbulkan problem lain seperti kesulitan ekonomi.
Masalah psikis yang sudah lebih dulu ada, ditambah dengan pemicu stres baru seperti kehilangan pekerjaan karena tidak bisa meregulasi emosi atau mesti berurusan dengan polisi, akan mendatangkan efek lebih besar sehingga proses pemulihan pun akan makin panjang.
Meskipun tidak secara langsung melukai orang tertentu, sikap toksik pelaku KDRT tetap bisa meninggalkan trauma baginya. Contohnya dalam kasus Yola, karena ia dan keluarganya masih tinggal seatap dengan orang tua, KDRT ayahnya itu menjadi tontonan sehari-hari bagi anak-anak Yola yang masih balita. Ia mengatakan, walau sang ayah tidak melakukan kekerasan secara langsung ke anak-anaknya, tidak jarang anak-anaknya itu menangis saat ayah Yola berteriak-teriak atau mengasari istrinya karena mereka takut. Yola sendiri sudah merasakan efek buruk terpapar KDRT ayahnya ke ibunya, dan ia tidak mau hal itu tercetak lagi dalam diri anak-anaknya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, penting bagi kita untuk menyadari isu kesehatan mental dalam menyikapi masalah KDRT atau kekerasan lainnya. Jika masalah psikis pelaku tidak segera diselesaikan dan rantai sikap toksik tidak diputuskan, ada potensi KDRT itu akan terulang kembali pada keluarga-keluarga baru generasi penerus.