
Wanitaindonesia.co, Jakarta – Beragam Program PINTU Incubator yang kreatif, mampu membuka wawasan, serta memberi ragam insight menarik bagi para partisipan PINTU, serta masyarakat umum.
Lewat seminar sehari di IFI Jakarta, yang mempertemukan para desainer, pengrajin, pendidik, jurnalis, serta para profesional fesyen dari kedua negara. Seminar membahas peluang, tantangan serta eksplorasi pada industri mode, serta kerajinan.
Sesi siang menghadirkan seminar yang dikemas dalam diskusi panel, menyorot mengapa seni tradisional sangat penting, serta harus berkelanjutan, guna menghadapi perkembangan industri fesyen dunia yang sangat dinamis, khususnya bagi Indonesia – Prancis.
Tak hanya mengapreasi sejumlah teknik lama, penting memahami seni budaya wastra seperti batik, tenun tangan, serta sulaman adibusana Prancis, dan kerajinan renda. Yang kesemuanya masih hidup lewat peran pengrajin, serta masyarakat penikmatnya. Dibutuhkan sentuhan kontemporer pada kerajinan tersebut agar dapat susten, menyelaraskan dengan selera global.
Pada diskusi sekuen kedua membahas tema “Fashion’s Green Threads”, yang menyoal fesyen berkelanjutan,
Wamen Kebudayaan RI, Giring Nidji Djumaryo membuka seminar.
Wamen Giring memberikan penghargaan tinggi kepada upaya JF3.
Sebagai platform terdepan dalam mendampingi industri mode Indonesia lebih dari dua dekade, JF3 memiliki komitmen penuh dengan menghadirkan forum strategis seperti pada seminar kali ini. Tentunya tak lepas dari program
PINTU Incubator, serta keberadaan LAKON Indonesia yang gencar melakukan beragam terobosan inovatif. Sangat membanggakan.
“Saya mengapreasi kiprah, serta upaya berkelanjutan Platform JF3, dan PINTU Incubator yang telah mewadahi para pelaku usaha kerajinan, memberikan bimbingan, arahan serta mentoring. Juga membuka kolaborasi antar negara, akses ke pasar global, serta beragam upaya-upaya kreatif lainnya, “katanya.
“Kesemuanya dilakukan dengan semangat serta keinginan mulia untuk merawat, melestarikan, dan mengembangkan seni, dan budaya Indonesia agar semakin bersinar di tataran nasional, serta panggung global, “tambah Wamen Kebudayaan, Giring.

Lewat tema “Recrafted A New Vision” yang kemudian akan dijadikan sebagai sebuah gerakan, bagi ekosistem industri mode Indonesia, serta dunia dengan melestarikan seni, dan budaya lewat semangat serta
langkah baru selaras zaman. Ini merupakan langkah konkret peran swasta lewat inovasi, terobosan cerdas, serta kemampuan untuk membaca zaman, “urainya.
Wamen Kebudayaan Giring menambahkan, “Kiranya kolaborasi yang telah terjalin antara Indonesia, dengan Prancis lewat peran swasta JF3, LAKON Indonesia, dan IFI, yang telah menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan, patut diapreasi oleh anak negeri.”
“Kerja-kerja cerdas, kolaborasi ini harus terus dilanjutkan, serta ditingkatkan. Lewat peran swasta yang mengedepankan program kreatif, serta terkonsep dalam mendukung industri mode Indonesia, agar susten serta berkembang, hal ini
sangat membantu kerja Pemerintah.
Kementerian Kebudayaan punya tugas untuk mempromosikan budaya Indonesia ke ranah internasional, “imbuhnya.
“Kita semua yang hadir di sini tentunya setuju apa yang telah diupayakan PINTU, selayaknya upaya tersebut diapreasi oleh masyarakat Indonesia, khususnya oleh warga dunia Indonesia, dan Prancis, “ujarnya.
Apresiasi Budaya, Pelaku, Seniman di Kancah Global, Namun Ada ‘Peer’ Bersama
Giring menambahkan, “Indonesia kaya dengan beragam budaya bernilai seni tinggi. Sebagian telah diakui oleh UNESCO. Ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda diantaranya Batik, Wayang Kulit, dan Noken. Pun tak terhitung banyaknya seniman – seniwati Indonesia yang mendunia. Mereka berkarya di luar maupun berkolaborasi dengan brand dunia, baik di dalam serta di luar negeri.”
Giring melanjutkan, “Namun ke depan ada ‘peer’ penting bagi kerja-kerja kita semua, yaitu keberlanjutan. Giring menyoal regenerasi pengrajin yang menjadi ancaman serius, manakala banyak kaum muda, terutama dari keluarga penenun, tak tertarik melanjutkan profesi tersebut.
Padahal mereka yang utama sebagai penjaga tradisi, dan budaya.”
Giring menceritakan, kala malam sehabis maghrib di desa tenun di Lombok, ia mendengar simponi dari alat tenun, serta melihat aktivitas sebagian ibu yang sedang asyik menenun. Menurut mereka pekerjaan menenun dilakukan saat malam sebagai hobi.
Namun Giring tak melihat satupun anak atau keluarga inti si ibu yang berusia muda ikut menenun.

Dari pengakuan ibu tersebut, tak satupun anaknya yang tertarik untuk belajar menenun. Alasan mereka, profesi yang tak mendatangkan kesejahteraan, dianggap usang, serta alasan lainnya seperti butuh keahlian tinggi.
Mereka lebih memilih bekerja sebagai karyawan, walau ada waktu senggang anak-anak mereka lebih memilih bermain gadget atau nongkrong bersama temannya. Hal serupa dialami mayoritas penenun wanita di sana. Ihwal regenerasi pengrajin.
Karenanya, Pemerintah juga sangat serius untuk memikirkan regenerasi. Seindah apapun produk kerajinan yang dihasilkan, kalau tak ada pengrajin, tentunya mustahil seni budaya Indonesia akan lestari, hingga diwariskan ke generasi berikut.
“Lewat momen yang bersejarah ini, di tempat yang mulia ini, Auditorium IFI Jakarta, kami kembali mengapreasi peran LAKON Indonesia, yang telah menginisiasi aspek keberlanjutan dalam merangkum, merangkul, serta berkontribusi dalam membantu para pengrajin, serta melestarikan produk lewat sejumlah inisiasi, “ucapnya.
“Berharap ke depan akan semakin banyak pengrajin, yang memiliki potensi tinggi dapat berdaya, bersama LAKON Indonesia. Dan semoga ruang apresiasi seni, dan mode LAKON Indonesia semakin eksis serta membumi, “imbuh Giring.
“Oleh karenanya lewat semangat Recrafted A New Vision, serta dengan apa yang telah diupayakan PINTU Incubator, ini menjadi langkah baru, era baru bagi upaya kita bersama, dalam membangun ekosistem kerajinan tradisi Indonesia yang kuat, berselera global, “ujarnya.

Apreasi Institusi Prancis hingga Desainer Louise Marcaud
Ihwal selera masyarakat Indonesia yang kurang mengapreasi pakaian ramah lingkungan, serta lebih berpihak ke fast fashion, di sorot tajam oleh Frederique Gerardin, French Strategic Commite for Fashion and Luxury.
Gerardin menjelaskan, “Bagi negara kami, luxury brand merupakan produk sustainability, dikarenakan praktek keberlanjutan sudah menjadi DNA pemilik brand serta industri di sana. Indonesia mematik minat kami untuk menggaungkan praktik fashion hijau, dikarenakan masih banyak pelaku usaha, serta masyarakat yang belum mempraktikannya.”
Menurutnya, edukasi harus terus dilanjutkan secara masif seperti menyasar ke komunitas, serta ke sejumlah platform media sosial yang digemari masyarakat. “Kami di Prancis sangat menghargai, menjadikan sustainability sebagai jati diri berbusana.”
“Tidak apa membeli baju dengan harga yang sedikit mahal, tapi bisa digunakan dalam jangka waktu panjang lewat peran desainer mumpuni.
Pun ini merupakan kontribusi masyarakat Prancis dalam keberlanjutan, “cetusnya.
“Saya belum mengetahui, apa yang membuat masyarakat Indonesia menggemari fast fashion.
Senang membeli baju dalam jumlah banyak dengan harga murah, karena mengikuti tren. Padahal tren sesaat tersebut menjadi ancaman serius bagi planet Bumi, serta ekosistem kehidupan, “terangnya.
“Ini jadi acuan penting bagi kita bersama, untuk selalu menggiatkan edukasi ke masyarakat. Mereka harus diajarkan seni berbelanja. Berpikir dahulu, apa dampak panjang jika pilihannya jatuh ke brand fast fashion, “tegas Gerardin.

Asha Darra mewakili desainer menerangkan gerakan fashion berkelanjutan. Sejak berkiprah sebagai desainer ia telah menerapkan lewat beragam upaya.
“Terbaru dengan mendirikan Uma Ratu Foundation. Di sini saya mengkader ekosistem perempuan penenun di Pulau Sumba. Praktik berkelanjutan menjadi marwah yayasan, dengan memperhatikan aspek produksi hilir ke hulu yang selaras alam, “terangnya.
Upaya yayasan dengan mengembangkan benang yang berasal dari serat alam seperti bambu, dan nanas. Bicara sustainability, Pemangku Kepentingan, serta masyarakat harus mengapresiasi upaya para pengrajin. Salah satunya dengan membeli produk, dan bangga untuk mengenakannya.
Asha menyarankan agar DNA sustainability berbasis craftmanship diberikan pembeda, serta batas yang jelas dengan ready-to-wear. Ini sebagai apresiasi ke desainer sekaligus edukasi ke masyarakat.
“Bagi saya craftmanship itu luxurius brand. Saya tertarik untuk ikut mengembangkan wilayah kepulauan sebagai sentra pengrajin tenun, yang mewakili nilai serta budaya mereka,” cetusnya.
“Menurut saya, aspek keberlanjutan menjadi keniscayaan. Hasil kerajinan tangan dapat terus ada, lewat peran pengrajin yang mampu membaca zaman. Mereka mampu membuat produk dengan selera global, “ujar Asha.
“Tentu dibutuhkan peran seorang desainer, bagaimana ia dapat mengedukasi pelanggan lewat storytelling, agar memicu kesadaran kolektif pelanggan untuk lebur, serta menjadikan sustainability sebagai bagian dari lifestyle, “imbuhnya.
“Hal lain yang tak kalah penting mencari bibit – bibit muda dengan passion, atau minimal tertarik dulu deh, untuk menekuni profesi penenun agar wastra terindah di dunia kita tak hanya tinggal cerita, “jelasnya.

Louise Marcaud, desainer Prancis menceritakan ketertarikannya dengan bahan yang dianggap sebagai limbah. Ini tak hanya soal keberlanjutan, namun ada tantangan bagi desainer untuk turut berkontribusi dalam mendukung gerakan fashion berkelanjutan.
Saat melihat bahan yang jika tak diolah akan berakhir menjadi limbah, Louise tergerak untuk memanfaatkannya, menjadi pakaian yang related dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Memanfaatkan bahan wol, katun serta sutra dari dead stock atau kain mati. Yaitu sisa kain yang sudah tidak digunakan di industri mode.
Lewat koleksinya ‘Retrograde’ yang dipagelarkan di JF3 Fashion Festival, Louise menyampaikan ihwal pakaian bukan hanya sebagai pembungkus tubuh, namun harus dapat mengekspresikan keunikan, dari jati diri penggunanya.
Penting dengan mengedepankan aspek keberlanjutan. “Prinsip saya dalam berkarya tak boleh menyisakan limbah, “tegasnya.
Dari Cimahi ke Jakarta lalu Berjuang Ke Paris, Kisah Inspiratif Partisipan PINTU Incubator ‘Apa Kabar’
Turut berbagi pendapat Alumni PINTU Incubator, Prafitra Viniani. Founder label
Apa Kabar Atilier menilai, fashion itu adalah hal yang sangat personal. Hal ini related dengan penciptaan label rintisannya.
Refleksi kehadiran brand Apa Kabar, manakala saya terpikat dengan gunungan kain di sentra belanja Cigondewah, Bandung. Warna-warni kain nan menarik, dengan beragam motif cantik, menjadi penambat pandang keseharianku. Bahkan aku mampu membaui aroma khas kain, “ujar Sarjana ITB itu tersenyum.
“Rumahku menjadi cikal bakal kehadiran brand Apa Kabar. Di sini tempatku melakukan beragam riset, juga uji coba hingga menghasilkan brand rintisan tersebut.
Tak hanya model baju dengan desain kontemporer, namun karya indahnya kian bernilai dengan penggunaan material alam seperti kulit jamur, getah pohon, singkong hingga ampas kopi, yang dipadukan dengan sisa-sisa kain yang dibeli di sentra kain Cigondewah, Bandung.

Berkat suport PINTU, aku bisa memperkenalkan produk ramah lingkungan berselera global, setelah berhasil menjadi partisipan PINTU Incubator, “ucapnya.
Vini menerangkan, “Setelah sukses lewat tahapan kurasi yang ketat, kemudian bersama partisipan lainnya mereka mengikuti sesi mentoring, dengan pengajar pakar dari Indonesia, dan Prancis selama 3 bulan dengan 45 sesi pendampingan. Antara lain kualitas, keuangan, bagaimana untuk meningkatkan kapasitas produksi hingga urusan pajak.”
“Alhamdulillah, aku terpilih untuk memperkenalkan Apa Kabar ke Paris Premiere Classe di 2023, dan surprised pada saat itu juga, aku mendapatkan beasiswa dari PINTU Incubator, untuk menimba ilmu di Ecole Duppere Paris, “kenang Vini.
“PINTU Incubator menjadi titik balik semangatku dalam berkarya, sembari merawat bumi lewat peran sebagai desainer hijau, “terangnya.
“Paris Premiere Classe merupakan salah satu perhelatan mode bergengsi, yang mempertemukan fashion buyers, para pelaku industri fesyen, dan jurnalis internasional. Momen ini mampu membuka wawasanku lewat beragam insight menarik, “ujarnya.
Desainer muda asal Cimahi, Jawa Barat ini menjelaskan, “Paris Premiere Classe merupakan upaya para desainer muda dalam memperkenalkan brandnya, lewat koleksi terbaru kepada para tamu serta klien.
“Pada saat bertemu buyers, desainer harus komunikatif dengan menjelaskan tema rancangan, bahan yang digunakan, proses kreatif, inspirasi karya dan lain sebagainya. Biasanya mereka tertarik dengan Storytelling seputar upaya kreatif penciptaan busana.
Ini merupakan strategi marketing bagi desainer, untuk mendapatkan klien, karena lewat acara istimewa ini akan terjalin hubungan yang lebih personal, serta membawa pengalaman berbelanja baru, “imbuhnya.
“Selain mengikuti pekan mode tersebut, partisipan PINTU Incubator diajak untuk mengikuti berbagai acara menarik berupa kunjungan budaya Ke Museum, serta Inkubator untuk melihat artisan Paris yang mempertahankan teknik tradisional pada karyanya. Ini sangat berharga buatku, “tambahnya.
“Pencapaian tertinggiku ketika masyarakat internasional mengapreasi Apa Kabar. Rasa senang, terharu, dan bangga saat mendapatkan buyers. Mereka jujur mengaku tertarik dengan kekuatan desain, serta aspek sustainability yang menjadi DNA brandku, “ujar Vini.

Turut berbagi pendapat Pemimpin Redaksi Femina, Fetty Siti Fatimah. Wanita dengan buah pemikiran kreatif ini bersama Femina, selalu menggaungkan beragam hal terkait isu lifestyle, untuk mengedukasi pembacanya yang merupakan wanita yang smart, produktif, dan memiliki kepedulian tinggi terhadap sejumlah isu krusial. Salah satunya ihwal fesyen berkelanjutan.
Fetty menerangkan dari sisi persefektif sustainability. Sustainability itu identik dengan Sophisticated Lifestyle, ihwal gaya hidup yang mencerminkan kecanggihan, keanggunan, serta kelas, yang diwujudkan lewat kebiasaan, pilihan, serta cara seseorang berinteraksi di dunia.
“Masyarakat harus memahami apa itu aspek sustainability khususnya di industri fesyen.
Mereka juga harus tahu bagaimana industri dalam memproduksi tekstil, dan baju dari hilir ke hulu.
Bicara sustainability tentu saja tak hanya menyoal produk, namun muncul andil para desainer, serta industri seperti pabrik, “jelasnya.
Ada 3 komponen sustainability yang harus dijelaskan secara spesifik, dan jelas seperti up- cycle, kredibilitas, serta konsumen yang harus memahami apa itu sustainability.
Bagi yang belum memahami, penting bagi pelaku untuk menyasar aspek emosional konsumen, agar mereka tergerak menjadi konsumen cerdas.
Fetty setuju bahwa media merupakan ujung tombak untuk mengedukasi masyarakat, serta terus menerus menggaungkan aspek keberlanjutan.




