WanitaIndonesia.co, Jakarta – Runway JF3 Fashion Week sekuen kedua di Summarecon Mall Serpong kian memesona dengan buah karya desainer muda partisipan Program PINTU Incubator dan alumni Sekolah mode bergengsi Ecole Duperre, Paris.
“Lewat presentasi oleh desainer dari dua negara diharapkan bisa memberikan sejumlah insight menarik, sharing ilmu,
ide, maupun gagasan antara pelaku usaha di industri mode dikarenakan masing-masing negara memiliki potensi, serta keunggulan yang bisa dikembangkan lewat sinergitas apik para desainernya, “terang Thresia Mareta Advisor JF3.
Desainer muda alumni Ecole Duperre Paris sangat mumpuni pada desain, teknik, serta finishing, sedangkan desainer Indonesia sebagai partisipan PINTU Incubator tak kalah memikat dengan sejumlah ide desain yang mengedepankan aspek teknik, serta Craftmanship rumit sembari membumikan fashion sebagai bagian dari upaya untuk merawat Bumi.
Louisa Gauchon seolah mempertanyakan ihwal sebuah kompetisi dari hal yang paling banyak ditunggu peserta, serta para pendukungnya “Who Will Be Crowned the Big Winner? merupakan koleksi yang merepresentasikan kondisi tersebut.
Lewat buah pemikiran kreatif Louisa mengkombinasikan estetika budaya tinggi seperti seni klasik, budaya aristokrat dengan budaya jelata dari streetwear, budaya pop dlsbnya. Hasilnya, hadir gaya baru yang disebutnya sebagai gaya hibrida nan modis. Koleksi merupakan dialog antara material pakaian olahraga dengan elemen baroque yang hadir lewat eksperimen gaya,
layer, volume, serta bentuk. Lewat karyanya, Gauchon menganggap itu sebagai bagian dari ekspresi diri, sebuah taman bermain untuk memahami hierarki kehidupan.
Guy Chassaing memukau penonton lewat koleksi “Sherds Metamorphosis” yang terinspirasi oleh film dokumenter Grey Garden di tahun 1975. Ini upaya sang desainer merayakan kreativitas pada saat terjadinya kemunduran.
Chassaing melakukan pendekatan sensitif untuk membangkitkan kembali gairah hidup masyarakat pecinta mode. Gongnya, hadir beragam busana dari recycle bahan limbah seperti benang, dan kain. Selain memanfaatkan kain sisa, Chassaing juga telaten mengumpulkan serpihannya yang dianggap sampah oleh masyarakat. Hasilnya ragam looks busana berupa gaun, outer yang bernilai lewat teknik rumit, serta detil yang memesona.
Berlanjut ke karya desainer Coline Percin dengan rancangan andalannya ready to wear (busana siap pakai). “Terraterre : The Imaginary Wardrobe” berfokus pada rasa cinta dan hormat yang sangat universal, kali ini dipersembahkan terhadap kerajinan benang “savoir faire”.
Karyanya berupa seni rajut, salah satu kerajinan tangan yang dihargai masyarakat Perancis, ia pun menghadirkan spirit keindahan lewat tangan artisan pengrajinnya, yang menampilkan karya rajut terindah.
Busananya dianggap mewakili khayalan dirinya yang diwujudkan dalam pakaian sehari-hari yang trendy, dan nyaman.
Tampilan berikut rancangan Noemie Jondot bertajuk “En Un Battement d’Aile”. Diartikan dalam kepakan sayap. Ide terinspirasi oleh keindahan pertunjukan balerina “Swan Lake” yang fenomenal.
Koleksi menceritakan metamorfosis angsa hitam menjadi kelabu, kemudian berubah menjadi angsa putih nan cantik membiaskan cahaya. Wujudnya sebuah mantel hitam perlambang angsa hitam, kemudian hadir gaun malam dengan aksen mutiara bewarna kelabu, lalu ditutup dengan gaun pengantin putih berkilau perlambang angsa putih.
Penonton seperti terhipnotis oleh tampilan koleksi Ninon Fievet “Paper Collectionns”, yang terinspirasi oleh seni melipat kertas dari Jepang “Origami”. Dengan mengagungkan seni, serta kreativitas tinggi.
Ninon menantang para desainer untuk mengeksplor obyek yang lazim ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, tapi keberadaannya sering diabaikan seperti kertas.
Menurut Ninon, masyarakat perlu menghadirkan rasa, guna melihat keelokan yang tersembunyi dari benda sehari-hari.
“Wow, teriakan kagum Yoanda salah satu penonton di barisan depan terdengar samar di Panggung Runway JF3, di Salsa Fashion Tent
Wanita berpenampilan chic tersebut sedang mengagumi koleksi nonkonvensional Daniel Cheruzel.
Desainer dengan ide bernas memadukan gagasan anatomi tubuh, dan parasit yang diperlihatkan melalui perhiasan, serta pahatan dengan menggunakan paduan material logam, dan kulit.
Dua Partisipan Terbaik Dinantikan di Paris
Waktu seperti berlari, terasa cepat pada JF3 di Salsa Fashion Tent Summarecon Mall Serpong, pada parade show “PINTU Participants X Ecole Duperre”. Membuka sekuen kedua lewat presentasi rancangan 5 partisipan PINTU Incubator. Suasana runway JF3 kian hangat, bergairah oleh rasa penasaran penonton untuk melihat rancangan dari talenta-talenta kreatif partisipan PINTU Incubator ke – 3.
Arae, brand mode yang mengusung aspek sustainability dari eco-print, serta penggunaan pewarna alami pada material kain merasa tersanjung mendapat tatapan kagum penonton. Mempresentasikan busana kemeja kaum pria dengan membidik lelaki masa kini yang mapan. Target market dari Gen-Z, dan Milenial dianggap memiliki mindset yang sangat baik bagi aspek keberlanjutan.
Tampilan busana bergaya kasual nan bersahaja, namun unsur tetap terpancar dari penggunaan kain biodegradable yang ramah lingkungan. Tekstur, motif hias berupa bunga serta dedaunan Indonesia yang diperkirakan memiliki varian tak terbatas itu, terlihat tak terlalu mencolok, namun kesan elegannya mampu ditangkap oleh pengguna.
Ini perayaan bagi penikmat mode yang mampu mengapresiasi teknik, serta seni dengan baik dengan menjadikan koleksi Arae, wajib untuk digunakan.
Berlanjut ke koleksi kedua bertema “Enigma Art Textile” yang merupakan penggabungan seni dengan tekstil. Dari kolaborasi ini hadir desain kontemporer yang dipengaruhi oleh budaya Indonesia. Menggunakan serat organik premium, teknik handycraft dihadirkan oleh tangan-tangan kreatif artisan di Jawa Tengah, dan Bali.
Proses produksi pada tekstil dikerjakan secara bertahap satu persatu, yang merupakan jaminan akan keberadaan produk fashion premium.
Menjadi upaya berkelanjutan desainer guna melawan pencemaran lingkungan dari tren fast fashion sebagai penghasil limbah terbesar.
Pecinta denim wajib merapat saat Denim It Up (Ham! Jeansku) mempresentasikan inovasi lewat revolusi jeans biru klasik dengan beragam paduan warna, yang menyalahi pakem warna dasar biru.
Koleksinya bersinar, cerah, serta ekletik, terbilang menonjol di dunia mode pada jenis pakaian berdesain klasik.
Tak kalah memikat manakala Senses mempresentasikan ilmunya dari hasil pembinaan intensif, serta mentoring oleh mentor terkemuka Indonesia, dan Paris dari PINTU Incubator.
Senses menggabungkan pola tradisional dengan tekstil kontemporer yang menghasilkan pakaian berhias bordir rumit, dipermewah sulaman manik-manik halus.
Berlanjut ke partisipan berikutnya, penonton dibuat terpukau oleh rancangan brand Tales and Wonders. Lekat dengan seni cetak, serta ilustrasi yang terinspirasi oleh cerita rakyat, dan dongeng dari berbagai penjuru dunia. Aspek keberlanjutan dihadirkan oleh sang kreator lewat cetakan yang tersertifikasi GOTS (The Global Organic Textile Standard).