wanitaindonesia.co – Seorang perempuan korban dituduh membuang bayinya. Dan kini, pendamping korban tersebut, juga menjadi bulan-bulanan di sosial media. Keduanya kemudian justru diperiksa oleh polisi.
Peristiwa ini terjadi pada Kamis, 11 Januari 2018 lalu saat korban(UYR) diperkosa oleh seorang laki-laki yang kemudian meninggalkannya. Korban adalah penanggungjawab keluarga. Ia tidak tahu lagi harus kemana ketika dia harus melahirkan. Ia merasa putus asa sekali, kesulitan ekonomi, fisik dan psikis. Inilah kekerasan bertubi-tubi yang ia alami.
Dalam peristiwa ini, hingga melahirkan, bayi yang dlahirkan korban dalam keadaan meninggal di tempat kosnya. Karena korban bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya korban meletakkan bayinya di dekat saluran irigasi. Yang akhirnya peristiwa ini menjadi ramai di tempat tersebut. Warga mencurigai korban sebagai pelaku pembuang bayi karena melihat perutnya kempes.
Di tengah kebingungannya, ia ditolong dan didampingi oleh teman saya, Maryaam Jameelah yang biasa dipanggil Mila. Mila, seorang pendamping korban yang bekerja di sebuah Women Crisis Center di Malang. Namun justru setelah itu, teman saya kemudian menjadi bulan-bulanan di sosial media dan dituduh membuang bayi korban.
Hal ini kemudian menyadarkan saya bahwa sulitnya menjadi korban di Indonesia. Dalam kasus ini, korban tidak hanya diperkosa, namun juga ditinggalkan laki-laki yang tak bertanggungjawab. Ia harus melahirkan bayinya sendiri. Semua haknya sebagai perempuan telah diambil. Apakah ada yang memikirkan, setelah ini dengan apa ia hidup? Dengan cara apa dia akan kembali seperti semula? Dengan cara apa dia bisa menuntut pelaku? Banyak hal yang harus dilakukannya setelah ini. Orang hanya tahu soal kehebohannya, namun tak pernah mau tahu bagaimana perjuangannya hamil dari laki-laki yang memperkosanya. Dan sekarang, ia harus berurusan dengan polisi.
Apakah polisi mau tahu sejarah, proses, fakta-fakta sebelum peristiwa ini terjadi? Apakah perempuan yang menjadi korban kekerasan, justru kemudian dituduh sebagai pelaku tanpa orang lain mau mendudukan persoalan yang sebenarnya?
Setelah itu, saya juga merasakan bagaimana sulitnya menjadi pekerja pendamping perempuan, semuanya tidaklah mudah. Dimana orang tidak memiliki kesadaran untuk lebih teliti atau mempunyai kecenderungan menyebarkan informasi tanpa mengecek kebenaran dan menggunakan asumsi saja.
Perempuan yang menjadi pendamping korban yang seharusnya juga dilindungi, malah menjadi korban kekerasaan di media sosial.
Dalam tugas tersebut, Mila yang memang selalu mendampingi seorang perempuan yang diperkosa atau mendapatkan kekerasan dan hamil tanpa korban sadari.
Ketika menjemput korban di tempat kosnya, Mila nyaris kena amuk masa karena dikira dia yang membuang bayi. Dia juga diteriaki pelacur ketika keluar dari rumah korban dampingannya.
Bahkan setelah mengadakan konferensi pers dengan media, tiba-tiba fotonya terpampang di media sosial dan dianggap sebagai pelaku pembuang bayi.
Tidak hanya itu, dia juga mendapatkan cacian, kutukan dan segala macam sumpah serapah. Dan foto dia telah dishare ratusan kali sebagai perempuan yang membuang bayi. Mila ini merasa tidak nyaman dengan perlakuan nitizen. Dia juga merasa di Indonesia seperti tidak ada perlindungan bagi pekerja pendamping penyintas seperti dirinya atas kekerasan di sosial media ini.
Dan sekarang Mila juga harus berurusan dengan hukum karena dituduh berbohong oleh pihak kepolisan tentang korban yang pernah diperkosa. Polis menganggap, Mila mengarahkan korban agar mengatakan diperkosa.
Pekerja HAM atau perempuan pendamping penyintas memang seringkali mendapatkan perlakuan atau ancaman dari masyarakat karena pekerjaannya. Banyak sekali kasus-kasus penyerangan terhadap pekerja Hak Asasi Manusia (HAM) atau para pendamping yang tidak terdokumentasikan dengan baik. Bahkan terjadi pembiaran oleh negara. Dan beberapa Ormas yang menganggap diri sebagai penjaga moral bisa melakukan kekerasan, ancaman bahkan persekusi dengan gampangnya.
Dari peristiwa ini kita bisa melihat, sulitnya berjuang bagi korban. Korban mengalami kesulitan, dan pendamping korban mengalami kesulitan yang tak jauh berbeda.