WanitaIndonesia.co – Dunia tari yang diutas dengan tarian serta diringi dengan music tradisional, menjadi pementasan yang sangat dirindukan. Bukan hanya sebagai tradisi nenek moyang, cerita pewayangan yang begitu melegenda, tak pernah selesai untuk disimak dan dinikmati bersama dengan keluarga, khususnya bagi para generasi muda sebagai pewaris budaya dari bangsa besar ini.
Dengan didukung hampir 200 penari, pemusik, pemeran dan pekerja seni, Paguyuban Kridha Hambeksa akan kembali mementaskan sebuah pergelaran teater tari, berjudul RAMAYANA. Sebuah cerita yang dibalut dengan kisah asmara para dewa, dalam cerita pewayangan, yang tak pernah habis untuk diulas dan diceritakan kembali.
Pergelaran ini merupakan pentas dari kolaborasi antar komunitas pecinta seni di Jakarta melalui pemajuan apresiasi kesenian tradisional, yang mana memberikan ruang ekspresi bagi anak-anak panti asuhan terutama anak-anak penghuni RUMAH PIATU MUSLIMIN di Jakarta.
Cerita Ramayana diangkat dalam pementasan komunitas Paguyuban Kridha Hambeksa, pertimbangannya terkait keterlibatanan personil dalam gelaran, yang diketahui Paguyuban Kridha Hambeksa memiliki anggota yang cukup banyak, dan seluruhnya merupakan para pencinta dan penikmat seni.
“Dengan berbagai profesi, mereka berkumpul dengan kesamaan pengalaman, yakni pernah belajar seni, baik saat sekolah, kuliah atau di manapun. Profesi mereka bermacam-macam, ada pengusaha, dokter, lawyer dan lainnya. Kita perlu satu lakon yang kira-kira bisa mengakomodir semua teman-teman dengan lintas generasi ini. Untuk itu, kami pilih lakon paling meriah, yang mana lakon Ramayana. Ramayana cukup cair, banyak yang mengenali dan lebih hitam putih dalam jalan ceritanya,” papar Produser dan Naskah Pentas Seni Paguyuban Kridha Hambeksa Bram Kushardjanto.
Bagi warga masyarakat yang menyukai Wayang Wong (wayang orang), dalam pertunjukan ini akan disuguhkan pertunjukan menggigit, dengan garapan tari menjadi sajian utama. Unsur dialog teatrikal dalam Wayang Wong hampir keseluruhan digantikan oleh tembang. Ini membuat pergelaran Ramayana lebih mirip dengan opera tradisi ketimbang Wayang Wong. Bukan hanya itu, pentas pun akan disuguhkan dengan komposisi music yang akan sangat dominan di hampir seluruh garapan.
Bram memaparkan, Pentas Ramayana yang pernah dipertunjukan oleh Paguyuban Kridha Hambeksa di tahun 2022, telah mengalami perkembangan sejak pentas yang pertama pada tahun 2011. Saat itu pentas Ramayana masih berbentuk Wayang Wong panggung tradisional. Kemudian berkembang pada tahun 2012 ke bentuk Sendratari. Pada tahun 2018 pentas Ramayana mulai berubah menuju bentuk terakhir, yang dipentaskan 4 Februari 2020 di Gedung Kesenian.
Pementasan yang akan diselenggarakan di Gedung Teater Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 28 Februari 2023 mendatang, akan lebih mengeksplorasi isi pesan, desain produksi, terutama dari sisi penataan artistik seperti tata cahaya, tata suara dan tata panggung, yang bernilai lebih meriah dan modern. Purupiru sebagai konsultan komunikasi turut berpartisipasi dengan mendukung dokumentasi dan komunikasi pentas Ramayana ini.
Gelaran cerita Ramayana yang mungkin menjadi cerita Ramayana terakhir ini, rencananya akan digelar di Bulan Desember 2023. Namun realisasinya akan digelar pada akhir bulan Februari ini. “Karena ini terakhir kita ingin membuat garapannya lebih baik, dengan meminta ke sutradara Bu Elly. Kemudian kami mengundang mas Irawan Karseno sebagai penasehat artis kita, terkait dengan naskah dari sudut pandang cerita Ramayana ini. Selanjutnya kita mengundang komposer mas Gendut Dwi Suryanto dari ISI Solo, sehingga apa yang kita lihat di Ramayana ini nanti akan sangat berbeda dengan Ramayana yang sudah-sudah,” jelas Bram.
Tonjolkan Peran Perempuan
Kisah Ramayana selama ini cenderung mengangkat peran dari Rama sebagai seorang Raja yang ingin merebut kembali Dewi Sintha dari tangan Rahwana. Namun menariknya, cerita yang diangkat kali ini ingin lebih menonjolkan peran wanita, dalam hal ini Dewi Shinta yang selalu menjadi obyek.
“Naskah masih tetap sama. Tetapi tekanan-tekanannya berbeda. Sekarang kita lebih melihat dari sisi perempuan. Jadi kita lihat Shinta, Sukesi, Trijoto, Sarpapenoko, yang biasanya hanya sebagai pelengkap cerita. Trijoto sebelumnya hanya sebagai pengiring Shinta, dalam pentas kali ini akan terungkap dialah penyambung cerita karena yang selalu membocorkan informasi ke pihak Rama. Sukesi sebagai seorang ibu Rahwana, yang tidak pernah memandang anaknya buruk, tergambar dengan ketokohannya sebagai seorang ibu dengan doanya,” katanya.
Dewi Shinta dalam cerita kali ini tidak semata-mata sebagai obyek saja. Tetapi, dia juga akan berperang sebagai subyek yang menentukan pilihan antara Rama dan Rahwana. Amat sangat menarik cerita kali ini, bagaimana cinta yang dinilai sungguh-sungguh digambarkan oleh seorang Rahwana, yang selama ini digambarkan sebagai sosok yang jahat dengan tubuh raksasa dan menyeramkan.
Begitu juga sosok Rama, yang selama ini digambarkan dengan sosok pria idaman, justru seakan ada hal yang menjadi pertanyaan dengan cintanya terhadap sang Dewi. Rama yang tidak menjemput sendiri atau merebut kembali cintanya dari tangan Rahwana, selama ini seakan menyembunyikan rahasia di balik pesan cerita Ramayana yang selama ini tergambar dalam benak para pencinta dunia pewayangan.
“Rama mengirim duta, mengirim prajurit. Jadi di sini pesannya banyak. Memang kita tidak secara gamblang kepada penonton nantinya, bahwa Rama jelek. Biar penonton yang menilai. Kita ingin penonton pulang bawa sangu (pesan) dari pertunjukan ini. Kita ingin melihat sosok-sosok yang kuat muncul. Shinta sebagai subyek, melihat Trijoto berkelahi memperebutkan dirinya. Tapi akhirnya dia melihat bahwa cintanya yang tulus itu adalah cinta Rahwana. Cintanya Rama lebih ke relasi kekuasaan,” ungkap Bram menggambarkan cerita yang diangkat.
Cerita dengan sentuhan lebih mendetail ini menjadi pesan, bagaimana pertunjukan ini menjadi sangat patut ditonton, di tengah tradisi sinetron, film yang menggambarkan hedonisme membombardir mata, dan pikiran anak-anak muda saat ini. Bersama keluarga, Ramayana garapan anak bangsa ini, akan memberikan pesan mendalam bagaimana arti menjaga, menghargai, serta perjuangan yang sesungguhnya untuk merebut sesuatu yang dianggap berharga.
Pelibatan Yatim Piatu
Pementasan kali ini, bukan hanya menjadi sejarah positif bagi komunitas Paguyuban Kridha Hambeksa melibatkan para anak-anak yatim sebagai pemerannya. Komunitas pentas Ramayana ini, memang tidak melibatkan pihak luar secara langsung dalam penyertaan para pelakunya.
“Kami tidak ada pihak dari luar, tapi memang ada nepotisme dari komunitas yang ada. Anak-anak kecil kita libatkan dari panti asuhan Yatim Piatu Muslimin, yang mana kami punya misi. Harusnya kita tidak layak naik ke atas panggung, dengan menarik tiket. Buat apa? Seniman menarik tiket kan untuk kehidupan, sedangkan kita untuk senang senang. Oleh karena itu, ada baiknya apa yang kita dapatkan, kita bagi lagi ke anak-anak panti asuhan untuk berbagi kegembiraan,” imbuhnya. (vay)