Ode’ Buat Valencia Mieke Randa Role Models Wanita Indonesia & RHI

Ki-ka : Mama, Jeni, Valencia Mieke Randa "Jeni menjadi berkat buat pasien anak-anak dengan penyakit serius di RHI. Foto : WanitaIndonesia.co

WanitaIndonesia.co, Jakarta – Sepuluh Tahun bagi banyak orang tak lebih dari sekedar hitungan angka, lekat dengan pencapaian diri. Tapi tidak bagi sosok inspiratif Wanita Indonesia Valencia Mieke Randa.

Rentang sepuluh tahun menjadi refleksi perjalanan hidup yang tercetus oleh panggilan jiwa untuk menjadi anak terang lewat Rumah Singgah Indonesia.

Hadir lewat mimpi sederhana untuk memberikan mimpi tempat untuk berteduh bagi anak-anak pejuang untuk sembuh dari penyakitnya. Dikarenakan selalu ada harapan, masih banyak anak-anak yang membutuhkan bantuan.

Selesai dengan godaan dunia lewat karir mapan di sebuah perusahaan ternama, sosoknya hadir menjadi asa bagi orang-orang papa yang seringkali kehadirannya diabaikan. Anak-anak tak berpunya, diuji lewat penyakit berat dan harus menjalankan pengobatan di Jakarta. Nestapa kian dalam, karena tak memiliki sanak saudara di Jakarta. Tak tahu harus tinggal di mana sembari menjalani proses pengobatan yang panjang. Mereka datang dari pelosok penyangga Jakarta serta daerah dengan satu asa berobat, dan sembuh.

Flashback penyucian jiwa sebagai pelayan kaum papa manakala Ibunda tercinta wafat. Beliau menderita penyakit ginjal kronis yang mewajibkannya untuk rutin melakukan cuci darah (hemodialis)

RHI terbuka untuk berkolaborasi dengan para Pemangku Kepentingan, terbaru penghujung tahun 2024 RHI bersama Floss.
Foto : Istimewa.

Kasih Abadi Legacy Ibunda

Valen panggilan kecil wanita enerjik ini melihat semangat, serta optimisme Ibundanya dalam berjuang untuk sembuh dari penyakitnya tersebut. Walau divonis dokter hidupnya tak bakalan lama, namun tekad beliau membaja.

Bagaimana melewatkan hari-hari singkat tersebut dengan kebaikan.

Ada beragam hal nan menginspirasi yang dilihat Valen dari sosok Ibundanya. Salah satu yang paling berkesan, di tengah deraan penyakit, Ibunda senantiasa memiliki semangat untuk berbagi. Tradisi memasak dalam jumlah banyak saat hendak melakukan cuci darah begitu lekat dalam ingatan Valen.

“Ibu itu memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Saat tiba di Rumah Sakit aneka masakan yang telah dipersiapkan sejak dini hari tersebut dibagi-bagikannya sendiri ke perawat, serta staff Rumah Sakit. Beliau begitu bersemangat, dan gembira, “terang Valen.

Valen menambahkan, “Dua jam setelah menjalani cuci darah, di saat pasien dalam keadaan payah serta harus bed rest, ibuku itu malah menyambangi satu persatu pasien yang terbaring lemah. Beliau menyuntikkan energi, optimisme sembari menyapa, menyalami bahkan memeluk orang-orang yang senasib dengannya. Ia begitu penuh kasih, bahagia melakukan semuanya. ”

Valen melanjutkan, “Prediksi usia dari dokter yang hanya tinggal 8 bulan berubah drastis!. Ibuku sanggup bertahan hingga 8 tahun!, lewat upaya serta perjuangan untuk mengobati penyakitnya. Momen kepergian beliau kembali ke Pencipta begitu membekas dalam hatiku. Kehilangan suluh hidup dikarenakan lewat perjuangan beliau, peran mulia yang telah melahirkan, merawat, dan membesarkan aku serta kakak-kakakku. Serta beragam hal lain yang membekas meninggalkan kenangan indah.

Jasa, budi baik Ibunda tak terhitung banyaknya.”

“Yang mengharu biru, banyak sekali pelayat menyampaikan duka citanya. Sebagian besar kami malah tak kenal. Mereka ikut kehilangan. Dari cerita, ibuku semasa hidupnya sering membantu. Penuh kasih, dan perhatian, ” ujar Valen.

Valen melanjutkan, “Momen inilah yang kemudian mengubah jalan hidupku untuk selesai dengan urusan duniaku, kemudian terpanggil menjadi anak terang buat sesama.

Aku tinggalkan karir di sebuah perusahaan besar, lalu memasukkan semangat pengabdian dalam jiwa lewat kunjungan ke Rumah Sakit. ”

Valen saat membacakan refleksi satu dekade RHI, haru biru rentang waktu yang dilalui dari kuatnya iman, support system orang-orang baik, asa serta doa pasien, dan keluarga.
Foto : WanitaIndonesia.co

Melihat, Mendengar Merasakan Kaum Papa dari Selasar Rumah Sakit

“Hatiku terpanggil untuk berkunjung ke Rumah Sakit dikarenakan lewat cerita serta saat aku mengantar Ibunda berobat, banyak sekali kaum papa yang membutuhkan perhatian serta kasih. Melihat dengan hati kesusahan mereka, serta melakukan interaksi singkat tentunya berbeda dengan hanya melihat sekilas tanpa menyertakan hati, “terang Valen.

“Kian miris saat pulang, aku harus melangkahi pasien anak serta orang tuanya di selasar Rumah Sakit tak berdaya. Walau redup tapi mereka tetap memiliki asa untuk terus berjuang dengan berobat, dan sembuh, “imbuh Valen.

Tuhan, batas kehidupan dunia tipis. Kontras di luaran sana, banyak yang hidup senang tanpa harus didera penyakit serta kekurangan ekonomi. Tapi di sini, di Rumah Sakit ini banyak jiwa-jiwa lara yang harus bertahan antara hidup mati dengan kondisi yang tak menyenangkan.

Tak terasa kiprahnya membantu banyak pasien anak beserta orang tua mereka yang menderita penyakit berat dengan menyediakan rumah singgah secara cuma-cuma serta tak dibatasi oleh waktu tinggal telah berjalan satu dekade.

Di sebuah rumah nan asri di kawasan Cideng, Jakarta Pusat yang merupakan pemberian donatur, saat ini dihuni oleh 75 orang pasien, dan pendamping. Menurut Valen, pasien hanya bisa didampingi oleh orang tua perempuan. Pengecualian untuk yang di bawah 3 tahun dan sering tantrum, mereka diijinkan didampingi oleh dua orang pendamping.

Keseharian mereka selain mengantarkan anaknya berobat, merawat juga melakukan beragam kegiatan sehari-hari. Untuk memasak dilakukan oleh para ibu. Sedangkan para bapak akan membersihkan rumah serta membersihkan peralatan masak, dan peranti makan. Bersama Floss rencananya kami akan menggiatkan program pemberdayaan bagi para pasien serta orang tuanya agar setelah pulang ke rumahnya bisa produktif, dan berdaya.

Adapun biaya operasional sehari-hari, RSI mendapat suport donatur (60%), sisanya 40% merupakan swadaya pengurus RHI.

Tinggal di RHI pasien akan mendapatkan beragam fasilitas yang diberikan secara cuma-cuma seperti Makan sehat bergizi seimbang 3 kali sehari, termasuk buah-buahan serta jus untuk pasien serta pendamping.

Transportasi selama pengobatan ke Rumah Sakit.

Kebutuhan pasien serta pendamping sehari-hari seperti susu, popok, dan perlengkapan mandi.

Kebutuhan medis yang tak ditanggung BPJS, dan atas rekomendasi tertulis dari dokter yang menangani. Variannya seperti obat-obatan, vitamin, alat medis, biaya cek laboratorium serta vaksin.

Biaya pemulangan jenazah ke daerah asal pasien.

Salah satu kegiatan di RHI Cideng Jakarta Pusat, kala lara dibasuh cinta setulus hati para donatur.
Foto : Istimewa.

Kisah Inspiratif Tyas dan Jeni Lintasan Emas Perjalanan Satu Dekade RHI

Beragam kisah inspiratif sekaligus memilukan dari perempuan role models ini menjadi lintasan sejarah emas akan keberadaan Rumah Singgah Indonesia (RSI).

Momen ini juga diapreasi oleh Floss, produk minuman serbuk kesehatan dengan menyematkan sebuah tanggung jawab baru untuk Valencia Mieke Randa Founde RHI, Pemilik Yayasan Sahabat Valencia Peduli sebagai Brand Ambassador.

Lewat refleksi yang disusun serta dibacakannya di HUT RHI Ke – 10, para tamu undangan merasa tersentuh serta bersimpati atas kiprah serta perjuangan Valen.

WanitaIndonesia.co mengutip untuk pembaca agar bisa menjadi spirit dalam menghadapi ihwal perjalanan hidup di Tahun Baru.

“Sepuluh tahun lalu, saya memulai perjalanan yang tak pernah sedikitpun terbayangkan akan membawa jalan hidup saya sejauh ini.

Dahulu tak pernah terbayangkan akan seperti apa bentuk Rumah Singgah yang Tuhan titipkan di pundak saya. Yang saya tahu, dan mengerti ketika panggilan itu datang, saya hanya berkata, “Tuhan, gunakan hambamu ini untuk jadi saluran berkatmu bagi sesama.”

“Ketika Ibunda tercinta wafat, saya sadar kita pun tak kan selamanya akan terus ada. Suatu hari kelak kita akan kembali dipanggil pulang. Tanpa membawa apapun selain amal serta perbuatan baik.”

“Saat usia saya menapak kehitungan 42 tahun, saya belum melakukan apapun. Belum menjadi saluran berkat bagi banyak orang.

Saya sengaja berkunjung ke rumah – rumah sakit di mana banyak orang-orang papa yang tengah berjuang untuk hidup.”

“Di sana saya berinteraksi dengan mereka, membacakan buku cerita ke anak-anak. Yang membekas mereka adalah malaikat kecil yang dihadirkan dalam kondisi istimewa, yang dititipkan Tuhan kepada orang tua terpilih.”

“Saat saya sentuh, mereka menangis tersedu-sedu sembari menyadarkan kepala ke bahu saya. Muncul aliran energi lalu batin saya berkata, “Saya harus hadir, dan kuat untuk mereka. Ketika pulang, saya berjalan serta bertemu dengan banyak pasien yang tidur diemperan selasar Rumah Sakit. Tak berdaya seadanya.”

Tak hirau dengan panasnya siang, maupun dinginnya udara malam serta ganasnya gigitan nyamuk.

Kondisi mereka sangat papa. Tak memiliki cukup uang untuk mengakses layanan kesehatan, tak memiliki saudara yang rumahnya bisa ditumpangi sementara. Apalagi untuk menyewaj tempat tinggal.

Berawal dari lorong Rumah Sakit, hati saya pun terketuk melihat penderitaan mereka. Antrian pasien anak-anak mengular, tak tertampung di ranjang, mereka pasrah terduduk lesu di atas kursi roda. Sementara orang tua pasien anak terlihat bingung, wajah mereka pias lesu. Waktu itu saya belum tahu akan membantu dalam bentuk apa, tapi saya tak akan tinggal diam. Saya harus hadir untuk mereka.

Dalam rumah tangga, saya telah melewati sebuah perjalanan panjang berliku penuh dinamika bersama buah hati tercinta. Hal ini telah membentuk kepribadian saya menjadi seorang ibu tangguh. Lewat perjalanan hidup mengajarkan saya, bagaimana caranya menghapus air mata. Tekad saya kukuh untuk menghapus air mata mereka pula!.

Foto : Istimewa.

Iman Besar, Niat Tulus, Dukungan Kakak-kakak Volunteer

“Awalnya saya meragu, bagaimana saya harus memulai untuk membuat rumah singgah? Saya bukan orang kaya serta tak memiliki DNA dari keluarga berada. Tak punya cukup uang, aset apalagi. Hanya uang sedikit, tapi saya punya iman yang besar, niat tulus, dan tekad kuat untuk menghadirkan rumah singgah sebagai tempat bernaung sementara bagi para pejuang kesehatan untuk sembuh.”

“Uang sejuta, mimpi besar waktu itu merupakan hal yang mustahil. Awalnya saya sempat meragu, muncul tanya bagaimana seandainya saya tak sanggup merealisasikan karya suci ini?.

Saksi hidup kakak-kakak volunteer terdahulu yang membersamai serta mensuport tekad saya. Yang berjuang bersama tentunya tahu betul masa-masa sulit di awal mendirikan rumah singgah. Hampir menyerah lalu muncul pertolongan Tuhan.

Momen tak terlupakan dari satu dekade RSI manakala pandemi Covid-19 melanda. Kami kehabisan beras, tak punya uang untuk membelinya juga membayar token listrik. Di puncak tubir kehidupan itu, kami berkumpul di ruang tengah sembari melantunkan doa. Terpujilah Tuhan, tiba-tiba ada yang datang membawa 50 kilogram beras, 3 kg telur tanpa mau memperkenalkan dirinya. Ia meninggalkan bingkisan istimewa tersebut lalu pergi bersama angin. Tetiba saya sadar. Tuhan sedang ingin menyampaikan pesan “Jangan berhenti, Aku bersama, Aku senantiasa berada disampingmu. Menggandengmu, melangkahlah, dan jangan takut.”

Momen ini kelak menguatkan kami untuk terus melangkah dengan payung iman yang besar. Hingga di titik sekarang, RSI telah hadir di 5 kota Jakarta, Bandung, Semarang, Bali, dan Makassar. Menyusul yang sedang dalam tahap pembangunan, RSI Medan menempati area seluas 3.800 m persegi. Ini merupakan bentuk dukungan masyarakat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap upaya RSI. Kami terbuka untuk berkolaborasi dengan masyarakat serta para Pemangku Kepentingan yang memiliki visi – misi yang selaras dengan RHI.

Sepuluh tahun kita telah berjalan bersama, ribuan anak-anak telah datang kemudian pergi membawa beragam cerita dari perjuangan mereka masing-masing. Banyak yang sembuh lalu melanjutkan cita-citanya, namun sebanyak 378 anak yang harus kembali ke pelukan Sang Pencipta. Setiap kepergian tentu menorehkan luka mendalam bagi kita semua. Sekaligus mengingatkan kita, bahwa terpenting mereka pernah merasa dicintai, dihargai serta tak sendiri.

Foto : Istimewa.

Because Family is Not About Blood, But About Love

Selamanya kita itu keluarga. “Because family is not about blood, but about love” Sepuluh tahun yang tak mudah. Saat pandemi melanda banyak yang terpuruk karena kesehatan serta faktor ekonomi. Namun Puji Tuhan, Tuhan baik tetap menjaga, memeluk RHI hingga detik ini. Walau di tengah kekurangan kita tetap berbagi. Dengan memegang teguh prinsip hidup “Kita tak boleh makan kenyang, sementara tetangga kita kelaparan. Apapun yang kita punya, dan bisa dilakukan harus kita bagi ke mereka yang membutuhkan. Agar kita, dan mereka tetap dapat bertahan. Jangan menunggu sampai kita mengalami dahulu kemudian baru peduli serta tak perlu menderita penyakit kanker baru peduli.

Mulailah sekarang, selagi kita sehat serta diberi kemampuan Jadikan ini sebagai ladang kebaikan untuk membuat hidup jadi lebih berharga. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama. Tangan di atas jauh lebih baik dari tangan yang di bawah. Jangan pernah berhenti berharap, karena selalu ada harapan pada setiap masalah yang menimpa hidup kita. Bahkan tak kala ada ada saja yang berkata “Sudah Tidak Ada Harapan”.

Tetaplah percaya selalu ada harapan bagi orang-orang yang percaya. Tyas, dan Jeni Marbun menjadi bukti betapa yang terlihat mustahil lewat akal, dan pandangan manusia, Tuhan ubah lewat kesaksian hidup mereka yang penuh dengan keajaiban ini.

Saya kerap bercerita tentang Tyas yang tubuhnya mati rasa. Setengah dari pusar hingga kaki sudah tak bisa digerakkan. Kanker yang menggerogoti telah menyebar ke organ penting. Bahkan ada luka besar menganga serta membusuk, yang menurut pandangan awam sudah tak mungkin untuk bisa disembuhkan. Dokter pun ikut memvonis usianya tak lebih dari 8 bulan.

Tapi tahukah Anda? Ketika tangan Tuhan bekerja, Tyas peri cantik itu serta orang tuanya tak ada kata menyerah. Senantiasa berjuang untuk melawan penyakitnya itu. Bersyukur, perjuangan mereka membuahkan hasil gemilang. Ia berhasil sembuh. Ini menjadi catatan emas dari perjalanan epic RSI kala membersamai para pasien binaan. Saat ini Tyas telah berusia 20 tahun, dan melanjutkan hidup serta cita-citanya.

Foto : Istimewa.

Sepuluh Tahun Tinggal Di RSI Jeni Marbun Diberi Limpahan Energi Positif

Lain lagi cerita keajaiban Jeni Marbun yang tak kalah menginspirasi, sangat luar biasa. Waktu pertama kali datang di RSI, Jeni berusia 6 tahun. Wajahnya pucat pasi, ia duduk di atas kursi roda dengan kondisi tubuh yang lemah. Tumor mata yang diderita serta perjalanan jauh dari rumahnya di Bekasi ke RSCM untuk berobat menjadi penyebab.

Ibunda Jeni dengan setia menemani, melayani, menguatkan hati saat Jeni kecil berulah di tengah pergolakkan batin sebagai istri sera ibu bagi anak-anaknya yang lain.

Awalnya itu Jeni takut saat bola mata sebelah kirinya harus diangkat. Ini merupakan keputusan final agar kerusakan tak menjalar ke mata kanannya yang masih sehat.

Berbagai cara dilakukan untuk meluluhkan hatinya. Maklum saat itu usianya masih 6 tahun. Setelah saya yakinkan, beri pemahaman sesuai dengan cara berpikir kanak-kanaknya, Jeni pun luruh, dan mau melakukan operasi bola matanya.

Jeni menjadi sumber inspirasi yang tak kan ada habisnya. Ia telah melakukan ratusan kali terapi, tapi semangatnya kian berkobar, tak tergoyahkan oleh beragam tantangan. Jeni bersama ibundanya telah tinggal di RHI selama 10 tahun.

Rencana pengobatan selanjutnya ia akan berangkat ke Cina untuk melakukan operasi mata. Jeni rencananya akan berangkat bersama Rido pasien binaan RHI. Kesemuanya ini tentu berkat pertolongan orang baik Hendrik bersama donatur lainnya. Jeni harus jadi berkat, bersinar serta berdampak bagi sesama, “pungkas Valen.