Site icon Wanita Indonesia

Nikah Muda karena Agama, Dua Kisah Perempuan

Nikah Muda karena Agama, Dua Kisah Perempuan

wanitaindonesia.coViony dan Dinar sama-sama memilih untuk menikah di usia muda, agama pun menjadi satu faktor penting dalam relasinya.

Viony mengenang sebelum menikah dengan suaminya dia adalah perempuan yang ‘nakal’. Alasannya karena dia sering gonta-ganti pacar, memakai pakaian cukup terbuka, seperti celana pendek, dan mengecat rambutnya. Viony pun menyebut masa itu sebagai zaman Jahiliyah-nya. Masa nakal itu seketika berakhir ketika Viony bertemu dengan suaminya “Ahmad” pada 2012. Pertemuannya dengan Ahmad itu yang ‘mengetuk’ hatinya untuk hijrah.

Saat itu Viony yang baru saja lulus SMA (Sekolah Menengah Atas) langsung terjun ke dunia kerja sebagai resepsionis salah satu hotel di Kota Padang Panjang. Ahmad juga bekerja di hotel yang sama, tetapi bekerja di bidang keuangan hotel. Mereka langsung ‘klop’, gampang berkomunikasi, dan memiliki sudut pandang serupa, terutama dalam hal agama.

Namun, tetap saja mereka merasa ada sesuatu yang kurang. Lubang dalam relasi itu pun mereka setujui untuk diisi dengan pendalaman ajaran agama. Selain itu, Viony juga meneguhkan sudah saatnya dia meninggalkan gaya hidup ‘nakalnya’ dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Alih-alih ‘berpacaran’ Viony dan Ahmad memutuskan untuk taaruf.

“Kita sama-sama ingin hijrah dan mendekatkan diri pada Allah. Kita dekat juga sudah hampir satu setengah tahun (2013-2014) dan akhirnya memutuskan untuk taaruf. Aku mulai berhijab dan dia mengikuti pengajian agama selama 40 hari,” ujar Viony kepada Magdalene akhir Agustus lalu.

Setelah ‘berpisah’ atau sengaja tidak bertemu dan Ahmad menyelesaikan pengajian 40 harinya, Viony dan Ahmad pun melakukan proses lamaran. Bagi Viony jika sudah bertemu dengan seseorang yang cocok dan taat ibadah, buat apa menunda untuk menikah. Viony dan Ahmad pun menikah pada 2015. Saat itu Viony berusia 22 tahun dan suaminya 23 tahun. Perjalanan hijrah mereka dalam membangun keluarga soleh pun di mulai.

Menikah untuk Menyempurnakan Agama

Untuk Viony pernikahan adalah cara yang paling tepat dalam memantapkan jalan hijrahnya. Dengan menikah Viony dan Ahmad bisa sama-sama menyempurnakan agama dengan status sebagai suami dan istri. Singkatnya, akan selalu ada teman yang menuntunnya ke jalan pembenaran.

“Banyak orang yang menikah tapi visi dan misinya mengejar dunia. Menggebu-gebu mengejar hal materialistik sampai tidak membedakan halal maupun haram. Ibadahnya pun tertinggal. Kalau saya tidak. Saya mau utamakan ibadah dulu, bukan mengutamakan kerja dan sisa waktunya baru digunakan untuk ibadah,” ujar perempuan berusia 28 tahun itu.

“Menikah untuk sama-sama mencapai Jannah-nya (surga). Ibadah kan untuk mencapai itu. Saya sebagai istri taat. Ridho suami sama dengan ridho Allah juga. Ini untuk pernikahan lebih berkah, bukan sekadar shopping, jalan-jalan,” imbuhnya.

Meskipun begitu, keputusan hijrah Viony sempat menimbulkan gesekan dalam keluarganya. Mereka tidak suka dengan Viony yang dianggap fanatik agama. Terutama ketika ia memutuskan untuk mengenakan cadar. Menurut Viony, keluarganya yang tidak terlalu agamis beranggapan seseorang otomatis menutup diri ketika mulai bercadar. Hal itu menjadi pengalaman yang berat bagi ibu rumah tangga itu.

“Sering dibilang ‘Apa sih ini, beragama biasa saja, tidak usah terlalu lebay’, tapi sekarang mereka biasa saja soalnya saya tidak menutup diri. Pakaian memang berubah, tapi tetap bergaul. Jadi mereka mulai biasa saja karena saya masih sama, masih ada sikap pecicilannya,” jelasnya.

“Saya niatnya memang ingin menjadi perempuan bercadar. Ingin menjadi soleh gitu, sekaligus menutup pakaian. Jadi sampai sekarang saya bercadar karena niat menikah menuntun kita ke agama lebih baik. Intinya agamanya menyempurnakan karena setengah agama adalah untuk menikah,” kata Viony.

Cara Penyelesaian Konflik yang Berbeda

Dalam relasi pernikahannya, Viony mengatakan tidak terjadi ketimpangan tugas finansial karena mereka membuka toko baju muslim yang sekarang dialihfungsikan menjadi toko sembako karena pandemi. Selain itu, tugas domestik juga dilakukan bersama karena suami maupun istri memiliki tanggung jawab yang sama, ujar Viony.

Meskipun begitu, ketika terjadi konflik dalam keluarga, perempuan yang harus mengalah agar isu rumah tangga tidak berlanjut terus-menerus. Viony beranggapan seperti itu karena menilai perempuan adalah air untuk laki-laki yang menjadi api dalam konflik pernikahan.

“Kita lahir dari rahim yang berbeda, tentu ada ego yang beda juga. Perempuan harus banyak bersabar, egonya ditahan. Soalnya kalau lak-laki ada apa-apanya, kita (perempuan) yang harus membujuk,” kata Viony.

Berbeda dengan Viony, Dinar Nabila mengatakan, untuk menyelesaikan masalah dalam pernikahannya komunikasi yang menjadi kunci. Selain itu, mengenal diri sendiri dan apa yang diinginkan juga menjadi aspek penting untuk mencari solusi dari konflik yang dialami. Jika tidak, masalah akan semakin panjang dan berakar. Proses komunikasi itu pun dapat memberikan keseimbangan untuk membangun hubungan pernikahan yang setara.

“Aku dan suami merasa sudah sampai di taraf kalau marah dikeluarkan dulu. Jika sudah selesai baru dibicarakan bersama. Sudah tidak lagi di level saling menuduh. Karena semakin lama waktu bareng, semakin tahu juga pola komunikasi, batasan, dan ekspektasinya seperti apa,” ujar Dinar kepada Magdalene.

Dinar juga menikah di usia muda, yaitu saat berusia 22 tahun setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya di bidang hubungan internasional pada 2018. Sementara itu, suaminya berusia 25 tahun. Dinar memutuskan untuk menikah karena merasa sudah siap untuk berkomitmen bersama pasangan dan merasa cocok dengan suaminya. Mereka saling mengenal sejak 2015 dan sudah mengenal karakter masing-masing. Saat ini Dinar berusia 25 tahun.

“Yang saya pahami saat berusia 22 tahun itu pernikahan semacam kolaborasi di mana kita menjadi katalis kebaikan satu sama lain. Dan juga menambah manfaat ke sekitar kita lebih banyak daripada melakukannya sendirian,” kata Dinar.

Agama untuk Pernikahan yang Setara

Dalam relasi pernikahannya, Dinar menilai aspek agama mengambil peran penting dalam menciptakan hubungan rumah tangga yang adil dan setara. Dinar sering mengikuti pengajian dengan perspektif gender, seperti yang diinisiasi akademisi tafsir Nur Rofiah. Dari pengajian tersebut banyak anjuran agama bersifat adil pada perempuan yang dapat dipetik.

Selain itu, Dinar juga menganggap tafsir agama yang mengharuskan suami menjadi imam, panutan, dan ‘mendidik’ istri tidak sejalan dengan kondisi rumah tangganya. Pasalnya, Dinar mengatakan, dia dan suaminya secara spiritualitas independen dan tafsiran itu pun menjadi tidak relevan.

“Jadi saya tidak menunggu dia (suami) memberi pelajaran agama. Saya tidak menunggu dia untuk membaca Alquran dan salat. Jadi kita independen. Akan tetapi, ketika memutuskan untuk berkolaborasi juga bisa. Jadi saya tidak menunggu suami untuk memberikan ilmu atau amalan,” jelasnya.

Dinar mengungkapkan, kesetaraan dalam relasi pernikahan menjadi hal yang sangat penting karena mayoritas dari tafsir agama yang disuarakan kepada masyarakat bersifat bias gender. Suami diharuskan menjadi sumber uang, ilmu dan amalan tok. Sementara itu, tafsir dapat dimaknai dan diartikan dengan banyak hal, tuturnya.

“Yang saya lihat dari teman-teman yang juga menikah di usia muda adalah mereka ingin bergantung pada suaminya secara spiritual. Yah, tidak apa-apa untuk mereka, tapi itu bukan untuk saya,” ujarnya.

Ia mengatakan kesetaraan itu menjadi hal yang masih diusahakan bersama suaminya. Tugas domestik menjadi tanggungan semua orang. Selain itu, setiap selesai melakukan pengajian atau diskursus keagamaan mereka akan berdiskusi tentang isu gender. Dinar mengatakan salah satu titik balik ia belajar isu gender dengan lebih dalam ketika mendiskusikan isu marital rape bersama suaminya.

“Waktu itu saya benar-benar tidak ada asumsi apakah itu bisa atau tidak bisa terjadi. Jadi saya tanya dengan tegas ke suami dan ia mengatakan itu bisa terjadi. Nah, kalau begitu ada yang salah dengan nilai masyarakat sampai melazimkan pemerkosaan itu. Itu titik baliknya,” kata Dinar.

Meskipun begitu, mengupayakan rumah tangga yang setara juga bukan perihal mudah. Dinar mengatakan ia dan suaminya berasal dari keluarga patriarkal. Mereka siap memberi komentar jika Dinar melakukan hal-hal di luar norma atau nilai yang seharusnya dilakukan istri. Misalnya, kata Dinar, ketika ia dan suami memutuskan untuk menggunakan piring yang sama. Namun, di mata ibunya Dinar melakukan hal yang tidak sopan karena seakan-akan memberikan makanan sisa untuk suami.

“Saya ditegur terus seperti itu sampai akhirnya saya bilang nilai yang dianut keluarga bapak dan ibu dan keluargaku beda. Saya tidak bisa menerima alasan ‘Gak patut’ dari mereka. Jadi saya bertanya logikanya apa dan buat apa. Akhirnya isu itu selesai,” jelasnya.

Tidak Semua Orang Harus Menikah

Di usia keenam pernikahannya Viony semakin yakin tingkat keimanan seseorang adalah faktor paling utama dalam mempersiapkan pernikahan. Jika laki-laki memiliki tingkat keimanan yang tinggi: Rajin belajar agama dan fokus beribadah, secara otomatis tahu cara menghargai pasangan.

“Dia akan tahu cara menghargai istri. Kalau mendapat perempuan yang tidak cantik dia bisa mencari yang lebih cantik lagi. Beda kalau agamanya baik, dia akan jaga pandangan, bertanggung jawab pada keluarga, dan mengutamakan solat di masjid,” kata Viony.

Calon pasangan juga tidak bisa dilihat sekadar dari sudut materialistik dan fisik saja. Pasalnya, kata Viony, jika dua hal itu dicari dalam calon pasangan, maka sulit membawa bekal agama dalam rumah tangga. Dengan demikian, harus juga memiliki mata yang jeli dalam melihat pasangan. Jangan sampai dia hanya akhi-akhi yang pura-pura beriman.

“Agamanya harus mantap karena kita sama-sama tidak sempurna. Kalau dapat jodoh yang imannya masih ‘proses’, yah tidak apa-apa. Akan tetapi kalau sudah dapat yang mantap, wah Alhamdulillah,” tandasnya.

Senada dengan itu, Dinar beranggapan untuk memilih jodoh ketika tingkat spiritualitas atau kerajinan dalam beramal ada di puncaknya. Ketika seseorang sedang fokus dalam meningkatkan amalan agama dan mendekatkan diri dengan Tuhan, tanpa ‘sadar’ akan bertemu dengan jodohnya. Dinar mengaku, saat spiritualitasnya sedang berada di puncak dia malah bertemu dengan suaminya karena Allah telah memilih jodoh untuknya.

Meskipun begitu, Dinar tetap menilai menikah bukan sebuah kewajiban yang harus dijalankan. Karena tidak semua orang memiliki kesiapan untuk menjadi istri, suami, atau menantu seseorang. Selain itu, setiap individu memiliki kapasitas mental dan emosional yang berbeda dalam berkomitmen. Dengan demikian, bagi beberapa orang menikah bukan tujuan yang harus dicapai untuk mendapatkan kebahagiaan.

“Orang tidak harus menikah kok untuk bahagia. Tidak semua orang harus menikah dan itu tidak apa-apa. Kalau alasan menikah menghindari zinayah saat menikah pun orang bisa tetap berzinah. Jadi ketika diharuskan menikah balik lagi logikanya siapa, sih yang mengharuskan?” kata Dinar.

Alih-alih mencari alasan untuk menikah meskipun tidak siap, seseorang harus menyibukkan diri untuk mengenal diri sendiri dan memperluas lingkar sosialnya. Ketika hal itu terjadi individu pun melihat dunia dengan kacamata lebih luas dan tidak melulu tentang kapan menikah dan memiliki anak, ujarnya.

“Saya memang tipe yang suka ikut dengan kegiatan relawan. Ketika mengikuti itu saya paham isu sosial dan (hidup) tidak mutar di saya saja. Jadi biar pandangan tidak cuma di dirimu atau circle ukhti itu-itu saja. Banyak yang suaranya tidak didengar,” ujarnya. (wi)

Exit mobile version