Nasi Goreng Viral dan Cerita Lama Objektifikasi Tubuh Perempuan

Nasi Goreng Viral dan Cerita Lama Objektifikasi Tubuh Perempuan

wanitaindonesia.coViralnya kasus nasi goreng dendeng lemak yang menyorot tubuh perempuan masih digunakan sebagai objek untuk mengalihkan isu.

Belum lama ini warga dunia maya Twitter kembali dihebohkan dengan perkara nasi goreng dendeng lemak yang dinilai tidak memiliki etika dalam berbisnis. Billy Oscar, pemilik usaha nasi goreng tersebut, diduga melakukan plagiat dari menu nasi goreng Chef Tiarbah. Melalui akun Twitternya, Tiarbah mengungkapkan menu nasi gorreng dendeng lemak itu benar-benar meniru menu miliknya. Mendengar kabar tersebut warganet pun semakin marah dan mulai membanjiri akun Twitter nasi goreng dendeng lemak, @dendenglemak –sekarang tidak bisa diakses– untuk diminta pertanggungjawabannya. Beberapa warga dunia maya juga melemparkan kritik pada video seorang perempuan memasak nasi goreng tanpa hairnet dan disebut tidak higienis.

Alih-alih menyelesaikan tuduhan plagiat tersebut dengan bijak, sebagai taktik untuk memadamkan api tersebut, “admin” akun nasi goreng dendeng lemak mengunggah foto pribadinya yang sengaja tampil seksi dan meminta agar warganet tidak galak-galak. Unggahan itu kemudian memantik api baru karena menggunakan perempuan sebagai alat untuk meredakan masalah.

Aktivis gender Kalis Mardiasih dalam akun pribadinya mengomentari unggahan tersebut bisa jadi didorong oleh ruang kerja toksik karena ujungnya, perempuan diminta menjadi distraksi dengan foto sarat male gaze.

Perempuan yang Diobjektifikasi dan Mengobjektifikasi Diri

Berkaca dari hal itu, kasus nasi goreng viral mengangkat kembali cerita lama tubuh perempuan yang diobjektifikasi dan diseksualisasi. Kali ini sebagai tameng atau alat untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya diperdebatkan, yakni etika dalam berbisnis. Di samping itu, foto yang beredar menunjukkan, perempuan disorot sebagai objek dari sudut pandang laki-laki sekaligus perempuan yang bersedia mengobjektifikasi dirinya sendiri.

Sandra Bartky, akademisi filsafat dan gender, dalam bukunya Femininity and Domination mengatakan bahwa objektifikasi melibatkan dua orang, yang mengobjektifikasi dan yang diobjektifikasi. Tetapi ada kalanya juga dua peran itu dilakukan oleh orang yang sama. Perempuan menilai dirinya sebagai objek untuk disorot karena mereka mengadopsi cara pandang masyarakat patriarkal terhadap perempuan.

“(Perempuan) mengambil perilaku laki-laki. Dia akan menerima kepuasan erotis dari penampilannya, menunjukkan dirinya sebagai objek cantik yang harus disorot dan didekorasi,” tulis Bartky.

Secara teoritis, foto ‘seksi’ dari admin nasi goreng dendeng lemak untuk mengalihkan perhatian juga memenuhi kriteria pertama objektifikasi menurut filsuf AS, Martha Nussbaum. Ia menyatakan, tubuh perempuan menjadi instrumen untuk tujuan tertentu dari orang yang mengobjektifikasinya. Dia menjadi semacam ‘kambing hitam’ untuk menyelamatkan nama bisnis. Alih-alih langsung mengatasi isu yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa mengumbar foto si admin, tubuh perempuan dilihat sebagai cara mudah dan murahan untuk menyelesaikan krisis.

Perkara Jualan Sex Appeal

Selain itu, perkara ini juga mengingatkan pada praktik menjual sex appeal atau daya tarik seksual perempuan untuk bisnis. Sejak dulu, kita memang sering melihat perempuan yang menjadi objek karena ada anggapan sex sells. Penampilan perempuan yang sengaja disorot seksi dinilai mudah diingat dan menggaet perhatian.

Sosiolog Esther Loubradou mengatakan, tujuan utama dari bisnis dengan menggunakan iklan memang untuk menarik perhatian. Untuk melakukan itu, maka otak kita sebagai publik harus bereaksi. Mengiklankan atau mempromosikan sesuatu dengan daya tarik seksual pun menjadi resep mudah untuk itu, ujarnya dikutip dari media DW.

Contoh yang paling mudah untuk menjual daya tarik seksual ialah peragaan busana Victoria’s Secret yang menonjolkan sisi tubuh perempuan. Produk tersebut memang menjual pakaian dalam, tetapi bisnisnya dibangun dari objektifikasi perempuan di industri yang seksis dan patriarkal. Untuk beberapa lama praktik tersebut memang bekerja dalam industri fesyen tersebut. Tetapi di era sekarang, menjual seksualitas perempuan dan menciptakan kontroversi bukan hal yang baik untuk bisnis. Victoria’s Secret mengalami penurunan penjualan dalam beberapa tahun terakhir dan memutuskan untuk mengakhiri acara peragaan busananya.

Praktik tersebut memang membawa kejutan dan diingat oleh beberapa orang. Namun, di era saat kesadaran sosial telah berkembang, orang-orang berlomba-lomba menjadi woke, dan maraknya cancel culture, belum tentu praktik tadi akan menarik seseorang untuk melirik produk. Senada dengan hal itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh John Wirtz dan diterbitkan International Journal of Advertising menemukan, sex appeal malah membawa dampak negatif pada publik alih-alih mengingat barang yang dijual.

“Partisipan penelitian juga tidak menunjukkan keinginan untuk membeli. Kami tidak menemukan keinginan berbelanja dari partisipan dengan produk yang dipromosikan menggunakan daya tarik seksual,” ujarnya dikutip dari Illinois News Bureau.

Membawa tanggapan tersebut ke situasi nasi goreng dendeng lemak, foto seksi admin memang bukan digunakan sebagai iklan, melainkan menjadi semacam branding kalau ada ‘perempuan menarik’ di balik usaha dan kontroversi itu. Nasi goreng dendeng lemak salah kaprah kalau membawa tubuh perempuan dalam masalahnya sebagai jawaban efektif. Alih-alih terbujuk untuk memaafkan lalu membeli produk, publik jadi semakin antipati karena zaman memang sudah berubah dan ada kesadaran mengkritik objektifikasi perempuan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini