Site icon Wanita Indonesia

Mutiara Ika Pratiwi: Feminisme Adalah Jalan Hidup Saya

Mutiara Ika Pratiwi: Feminisme Adalah Jalan Hidup Saya

wanitaindonesia.co Mutiara Ika Pratiwi (28 tahun) adalah perempuan muda yang sejak mahasiswa sudah memilih untuk bergabung dengan jalur perjuangan bersama masyarakat dan memperjuangkan nilai-nilai feminisme dalam perjuangannya. Ia belajar feminisme di awal kuliah dan tak goyah pada pilihannya ketika banyak lulusan mahasiswa seusianya lebih memilih jalur profesional dalam pekerjaan mereka. Kini Mutiara Ika, menjadi pimpinan nasional Perempuan Mahardhika, organisasi yang mengusung nilai-nilai feminisme dan berjuang bersama para buruh perempuan. Disini, ia juga ikut mendirikan sekolah Feminisme untuk mahasiswa dan anak-anak muda.

Di jaman sekarang ini, makin sedikit anak muda yang memilih jalan seperti ini:

Kapan mengenal nilai-nilai perjuangan sehingga memutuskan untuk memilih jalur yang berbeda dibandingkan dengan anak-anak muda yang lain?

Bergabung dengan pergerakan rakyat saya lakukan sejak awal saya kuliah. Namun nilai-nilai perjuangan sudah saya pelajari sejak kecil dari keluarga. Misalnya keluarga kami hidupnya sederhana dan cenderung pas-pasan, disanalah saya mengenal nilai-nilai soal kelas, sering merasa minder karena berasal dari keluarga yang sederhana dibandingkan saudara yang lain. Lalu saya bertanya, jika tidak punya mengapa harus minder? Ternyata di masyarakat memang ada sistem kelas dimana orang yang tidak punya akan merasa minder dibandingkan dengan orang yang kaya.

Setelah bertemu dengan teman-teman di pergerakan di kampus, saya mendapatkan jawaban-jawaban ini. Ini juga yang menjadi alasan mengapa saya harus percaya diri. Karena saya merasa bahwa saya pantas untuk bicara karena berani adalah hak saya. Dan saya mau keluar dari keminderan-keminderan ini.

Namun nilai-nilai feminisme ini juga saya dapatkan di dalam keluarga, misalnya pemikiran keluarga kami yang tidak memandang penting untuk perempuan keluar rumah. Karena dalam keluarga, perempuan tidak usah belajar tinggi, sekolah sampai SMA saja sudah cukup karena toh setelah ini menikah dan dibiayai hidupnya oleh suami. Maka ketika saya bisa keluar dari kota dimana saya lahir  dan besar dan kemudian bisa kuliah, bagi saya ini sudah sangat luar biasa.

Kapan awal masuk dalam pergerakan dan isu perempuan?

Ketika kuliah di Jogjakarta, saya menemukan banyak kawan yang berbicara tentang feminisme dan bergaul dengan banyak kelompok masyarakat di luar kampus. Disitulah saya kemudian ikut membantu sejumlah advokasi, misalnya kasus tanah di Parangkusumo Jogya yang digusur. Disana saya melihat bagaimana aparat pemerintah yang reaksioner dan menindas rakyat. Kemudian juga ikut bersolidaritas untuk korban gempa Jogja di tahun 2006 dan ikut membuat sekolah rakyat sesudah itu dan juga bergabung dengan organisasi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Pembebasan.

Dari sini saya berpikir bahwa ada banyak masyarakat yang harus kita bantu. Saya melihat banyak kejujuran masyarakat, yang rata-rata keinginannya hanya sederhana yaitu ingin hidup lebih baik. Ini sangat kontras dengan kehidupan mahasiswa dan kampus yang misalnya banyak politik kampus yang berebut posisi politik dan menjilat. Dari situlah akhirnya saya menentukan pilihan bahwa saya harus memilih untuk bekerja bersama masyarakat. Ada dorongan yang sangat kuat hingga sampai pada pilihan itu.

Kapan mulai bergabung dengan organisasi perempuan?

Waktu kuliah memang sudah membentuk kelompok studi perempuan, kemudian juga membentuk kelompok perempuan yang kami namai ‘superstar’. Kelompok inilah yang kemudian mendukung saya ketika saya mencalonkan diri menjadi Presiden Badan Eksekutif Mahasisa (BEM) universitas. Namun memang banyak yang tidak percaya jika perempuan memimpin, disinilah saya kemudian berpikir bahwa perempuan harus maju biar tidak dipandang sebelah mata.

Tahun 2010 setelah saya lulus, saya kemudian ke Jakarta dan terpilih menjadi pimpinan nasional Perempuan Mahardhika sampai sekarang. Di Perempuan Mahardhika kemudian saya dan kawan-kawan banyak bersentuhan dengan persoalan nyata dan melihat banyak perjuangan perempuan. Perempuan Mahardhika memang mempunyai platform untuk membantu buruh perempuan dan persoalan nyata yang dialami perempuan, seperti yang saya baca di teori-teori feminis selama ini.


Apa saja persoalan buruh perempuan yang ditangani?

Misalnya saya banyak menemui situasi kekerasan seksual. Ada kuasa mekanik yang hinggap pada tubuh perempuan, bahkan perempuan buruh harus mau dilecehkan biar tidak dimarah-marahi oleh perusahaan tempatnya bekerja. Ini adalah situasi nyata dimana banyak orang tidak mempunyai daya. Kemudian situasi kemiskinan dan beban rumah tangga dan kerja yang sulit yang banyak dialami para buruh perempuan.

Kami kemudian juga mendeklarasikan hari perempuan, yaitu harus ada  1 hari untuk perempuan, yaitu hari minggu. Di sinilah kita akan mengajak perempuan untuk sehari berbicara tentang persoalan perempuan. Seperti waktu untuk perempuan, mengenal tubuh perempuan, berani menolak kekerasan seksual, memperjuangkan ibu dalam pekerjaannya. Ini kami lakukan terus hingga kini.

 

Mengapa mendirikan sekolah feminisme?

Perempuan Mahardhika kemudian mendirikan sekolah feminisme. Sekolah ini harus didirikan untuk mengajak anak anak muda dan mahasiswa untuk peduli dan bergerak bersama membangun kekuatan bersama masyarakat.

Sekolah feminisme adalah sekolah dimana kami memberikan nilai-nilai soal feminisme atau pembelaan terhadap persoalan yang dialami perempuan. Sekolah ini sudah dilakukan oleh anggota Perempuan Mahardhika di sejumlah kota.

Karena ini adalah salah satu cara untuk mengenalkan anak muda dan perempuan pada persoalan nyata. Feminisme adalah strategi perjuangan baik secara individu dan organisasi. Disinilah kemudian kita membuat hal-hal baru soal feminisme, yaitu melalui berbagai cara dan metode.

Mengapa tidak memilih untuk bekerja profesional seperti anak-anak muda lainnya?

Kadang saya melihat banyak kehidupan yang nyata yang harus kita bantu. Saya tidak memilih bekerja profesional karena memang sepertinya saya tidak cocok untuk berada disana. Ketika sudah lulus kuliah memang saya ingin hidup disini, ini lebih karena saya ingin menjadi diri saya sendiri. Dengan bertemu masyarakat inilah saya bisa menjadi diri kita sendiri. Jika bekerja profesional, sepertinya itu bukan diri saya sendiri. Jadi ini lebih ke masalah pilihan hidup.

Bagaimana pandangan keluarga atas pilihan-pilihan ini?

Sebenarnya keluarga berharap agar saya bekerja di kantor-kantor profesional untuk meningkatkan derajat keluarga, karena saya berasal dari keluarga sederhana dan cenderung pas-pasan. Maka buat keluarga penting untuk membantu meningkatkan derajat keluarga, misalnya mempunyai mobil dan rumah sendiri. Namun karena saya tidak bisa memenuhi ini, maka saya kemudian menjelaskan bahwa yang saya anut ini adalah nilai-nilai yang bagus kog, yang menjalankan nilai-nilai baik soal kemanusiaan. Jadi nilai-nilai ini tak beda dengan nilai-bilai yang ditanamkan orangtua, hanya saja pilihannya yang berbeda.

Namun sampai sekarang walau sudah dijelaskan, sampai ketika pulang ke kampungpun, saya selalu diingatkan untuk tetap memilih bekerja sebagai profesional seperti anak-anak muda yang lain, mereka mengingatkan, sudah cukuplan berorganisasi dan seperti biasa, ada anjuran untuk cepat menikah. Namun saya selalu menerangkan bahwa hidup yang saya pilih ini lebih asyik, mempunyai nilai kemanusiaan dan bermartabat. Jadi keluarga mau mengerti walau harus dirterangkan secara berulangkali.

Exit mobile version