wanitaindonesia.co – Jika kantormu punya pekerja perempuan dengan jumlah yang minim, dan semua keputusan di kantor diputuskan oleh orang yang itu-itu saja, itu tandanya kantormu bermasalah dan tidak inklusif.
Teman saya mengeluhkan, di kantornya, boro-boro ada pekerja dengan beragam gender yang berbeda, jumlah pekerja perempuan saja masih sangat sedikit dibandingkan pekerja laki-laki. Maka, disitulah pentingnya keberagaman dalam kebijakan kerja agar keputusan kerja yang imbasnya buat para pekerja, bisa beragam
Kami pernah bicara soal pentingnya keberagaman pekerja ini pasca mengikuti training yang dilakukan UNESCO, 2 tahun lalu sebelum pandemi tiba. Ketika itu kami mendengarkan paparan bagaimana seharusnya keputusan manajemen perusahaan itu bisa beragam. Salah satunya, kebijakan itu harus diputuskan oleh orang yang beragam: pimpinan harus berasal dari keberagaman gender, juga kelas ekonomi yang berbeda antar pimpinan untuk memastikan ada keberagaman keputusan, sekaligus asal daerah, etnis yang berbeda, dll.
Dari sinilah keberagaman putusan atas kebijakan bisa mengakomodir suara-suara “yang lain”, yaitu yang beragam, bukan suara seragam yang selama ini banyak terjadi
Program Officer International Labour Organization/ ILO Jakarta, Lusiani Julia mengatakan, keberagaman pekerja dan keberagaman kebijakan merupakan salah satu upaya dalam melawan diskriminasi di dunia kerja. Ini semua tak bisa dilepaskan dari upaya menciptakan diversitas (keberagaman). Apa yang dibutuhkan untuk membangun ini? yang dibutuhkan yaitu ekosistem kerja yang lebih inklusif melalui pelibatan setiap orang dengan beragam latar belakangnya.
“Ini memungkinkan banyak jenis masyarakat yang berbeda melakukan sesuatu dan memperlakukan mereka secara adil dan setara,” ujar Lusiana Julia dalam diskusi diskusi virtual bertajuk Kesetaraan gender di dunia kerja yang diselenggarakan oleh ILO, Rabu (11/8/2021).
Diskriminasi di dunia kerja masih terus terjadi hingga kini. Utamanya ini banyak terjadi di kalangan perempuan dan kelompok minoritas. Salah satu penyebabnya karena kebijakan tidak mengakomodir kelompok ini. Imbas dari kondisi ini, kesetaraan hingga kesempatan dalam pekerjaan atau jabatan bisa kian berkurang bahkan hilang.
Berdasarkan Konvensi ILO 111, diskriminasi mengacu pada setiap pembedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna, kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan, asal usul dalam masyarakat.
Lusiana kemudian membeberkan banyak kendala struktural yang dihadapi di dunia kerja saat ini, utamanya bagi pekerja perempuan dari kelompok etnis minoritas hingga pekerja penyandang disabilitas. Data yang dihimpun ILO, 73% perempuan melaporkan terjadinya tindak diskriminasi terhadap mereka setiap harinya.
Sebanyak 40% negara di dunia secara undang-undang memang masih membatasi perempuan terlibat dalam pekerjaan. Perempuan lebih kecil kemungkinannya dipekerjakan dan diangkat sebagai manajer.
Di sisi lain, ketimpangan upah juga terjadi di dunia kerja, yaitu untuk setiap dollar yang diterima laki-laki, perempuan hanya dibayar 54 sen. Sebanyak 1 dari 4 orang perempuan berpendapat bahwa gender membuat mereka tidak memperoleh kenaikan gaji atau kenaikan pangkat.
“Perempuan mengintervensikan (menyalurkan) 90% upahnya untuk keluarga, laki-laki hanya 30%,” kata dia.
Padahal menurutnya, diversitas atau keragaman sebetulnya mempunyai banyak manfaat. Bagi pekerja, bisa mendorong berkurangnya konflik, partisipasi pekerja meningkat, bahkan meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat.
Sementara bagi pengusaha, Lusiana mengatakan, keberagaman bisa memacu jumlah ide yang meningkat, partisipasi pekerja meningkat, reputasi perusahaan meningkat hingga proses perekrutan yang lebih mudah.
“Lebih banyak calon pekerja yang dapat dipilih, bisa membantu untuk lebih memahami keinginan pelanggan sampai mengurangi tingkat pergantian pekerja,” terangnya.
Lantas, apa saja upaya yang bisa dilakukan?
Guna meningkatkan lingkungan kerja yang inklusif, Lusiana mendorong agar perusahaan membentuk keberagaman dalam tim manajemen dalam bekerja, mulai dari dewan direksi, tim manajemen, tim peningkatan perusahaan, siklus kualitas, hingga pengurus serikat pekerja maupun individu-individu yang duduk dalam Komite Kesehatan dan Keselamatan Kerja/ K3.
Caranya, perusahaan perlu untuk memperhatikan komposisi tim saat ini. Misalnya saja, melihat pola tertentu dalam pekerjaan, membuat daftar nama calon anggota tim baru, memilih dari daftar nama tersebut untuk meningkatkan diversitas, memberi pelatihan dan pembinaan kepada anggota baru bila diperlukan, hingga melakukan rotasi peran kepemimpinan dalam tim. Intinya keputusan dalam kebijakan ini harus diputuskan oleh tim yang beragam sehingga bisa mengeluarkan keputusan yang beragam dan mengakomodir kelompok yang selama ini terpinggirkan
Selanjutnya, Lusiana juga menekankan pada peningkatan budaya rapat yang inklusif. Diantaranya, mengundang perwakilan dari berbagai departemen dan posisi, membuat ide dan wawasan dari berbagai sudut pandang berbeda hingga tak enggan menawarkan peluang setara untuk menyampaikan aturan yang diterapkan perusahaan.
“Tak kalah penting, perlu juga meningkatkan kesetaraan dalam hal kepemimpinan,” pungkasnya.