wanitaindonesia.co – Lagu “LALISA” dari Lisa BLACKPINK menunjukkan rasa percaya diri perempuan dan merepresentasikan kebanggaan budaya Thailand. Setiap tahun industri K-pop mencetak idola berbakat dengan keahlian menari, bernyanyi, dan mencuri hati publik yang diasah bertahun-tahun. Meskipun begitu, di antara idola generasi ketiga dan keempat, Lisa dari BLACKPINK menjadi idola yang paling menonjol dewasa ini. Sejak debut, anggota paling muda dari BLACKPINK tersebut gampang menarik fans dari kalangan pecinta K-pop bahkan khalayak umum yang tidak familiar dengan Hallyu Wave. Pasalnya, Lisa memiliki ‘aura’ yang memang mengukuhkan dirinya sebagai selebritas berbakat.
Dalam setiap penampilan, baik secara langsung bersama BLACKPINK atau video tari solonya yang diunggah dalam kanal Youtube Lilifilm Official, Lisa memancarkan swagger. Atau semacam lagak angkuh yang memikat dan memberikan aura untuk dikagumi. Singkatnya, Lisa memiliki “it factor” yang membuat orang mudah merasa tertarik dan menjadi penggemarnya. Karisma yang dimilikinya itu kemudian disiratkan dalam lagu terbarunya “LALISA” yang rilis empat hari lalu.
Lagu yang diambil dari namanya itu memang memberikan jalan keberuntungan untuk Lisa. Sebelum dikenal sebagai Lalisa Manoban, dia adalah Pranpriya Manoban. Nama tersebut kemudian diganti untuk melancarkan rezeki Lisa. Proses ganti nama itu memang manjur untuk Lisa karena selang beberapa hari namanya diubah dia lolos audisi di agensi yang menaunginya, YG Entertainment.
Melalui ”LALISA”, ia juga menunjukkan dirinya sebagai yang terhebat, tidak ada duanya, dan memang patut dicintai. Rasa percaya diri tersebut memang menjadi satu hal yang terus didorong Lisa bersama BLACKPINK di tengah masyarakat patriarkal yang meminta perempuan untuk ‘manut-manut’ saja.
Dalam video musiknya, Lisa juga tampil sebagai seorang detektif atau pemimpin percaya diri yang memang menunjukkan dirinya sebagai girl crush. Konsep girl crush itu juga digadang-gadang sebagai salah satu faktor yang menarik penggemar perempuan karena menunjukkan adanya pemberdayaan, seperti pada MAMAMOO.
“Satu hal yang saya pelajari dari proses mempersiapkan proyek ini adalah rasa percaya diri. Saat saya bersama anggota BLACKPINK, kami saling bergantung pada satu sama lain. Ada banyak hal yang saya pelajari dari aktivitas solo ini seperti kepemimpinan. Saya harus membuat keputusan sendiri,” ujar Lisa dikutip dari Billboard.
Rasa percaya diri itu juga patut dibanggakan karena selang dua hari sejak dirilis, “LALISA” mencetak rekor sebagai video musik dari musisi solo yang meraih jumlah 100 juta penonton paling cepat di YouTube. Angka tersebut terus bertambah, per 13 September angka mencapai lebih dari 120 juta views.
Sejatinya, pencapaian itu tidak menjadi hal yang mengherankan. Pasalnya, BLACKPINK memang selalu menciptakan kehebohan ketika merilis lagu. “How You Like That”, misalnya, menjadi video pertama yang paling banyak ditonton dalam 24 jam secara global.
Meskipun begitu, “LALISA” juga tidak lepas dari kritik. Media NME menilai, “LALISA” dan lagu lain dalam album solonya, “Money” terasa hambar karena tidak menawarkan ‘kebaruan’ yang membuat seseorang merasa tertarik mendengar musiknya. Komposisi lagu “LALISA” disebut cocok untuk dibawakan sebagai grup, tetapi tidak untuk proyek solo. Di sisi lain, warganet di media sosial menilai “LALISA” seperti lagu dari BLACKPINK lainnya yang butuh several listen (diulang berkali-kali) sebelum menjadi ramah di telinga.
Kritik terkait musikalitas memang tidak bisa dihindari. Namun jika melihat gambaran besarnya, “LALISA” sebagai proyek solo menunjukkan adanya kekuasaan bagi perempuan di agensinya untuk berkarya. Tidak bisa dimungkiri, YG Entertainment kurang memberikan ruang dan agensi untuk BLACKPINK memegang kendali atas musiknya. Sekalipun mengambil andil, ada kalanya mereka tidak diberikan pengakuan dalam proses pembuatan lagu. Jennie, misalnya, yang ‘luput’ disebut sebagai salah satu pencipta lagu untuk Stay” dan “Solo”. Meskipun begitu, tidak membuat idola perempuan di YG Entertainment untuk kapok bermusik.
Di tengah industri K-pop problematis yang melemahkan perempuan dan penggemar yang kerap melontarkan komentar seksis kepada Lisa dan BLACKPINK, keteguhan untuk terus berkarya menjadi salah satu cara perlawanannya.
‘Trainee’ Berbakat Sejak Awal
Sebelum debut bersama BLACKPINK, Lisa memang telah menunjukkan dirinya sebagai kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya, saat mengikuti audisi pencarian talenta oleh agensinya, YG Entertainment di Thailand, Lisa satu-satunya kontestan yang lolos audisi di antara empat ribu peserta lainnya.
Bakat yang terus diasahnya sejak kecil dengan latihan bersama grup tarinya–bahkan sempat satu tim dengan Bambam dari GOT7–dan pelbagai kompetisi yang diikutinya akhirnya terbayarkan. Lisa yang saat itu berusia 14 tahun pun berangkat seorang diri ke Korea Selatan untuk menjadi trainee K-pop sepuluh tahun lalu.
Sebagai satu-satunya idola keturunan asing dan mulanya tidak bisa berbahasa Korea, Lisa melihat posisinya itu bukan hal yang bisa disia-siakan. Menurut kesaksian anggota grupnya, Rosé dan Jennie, Lisa adalah trainee yang selalu mendapatkan nilai sempurna dalam evaluasi bulanan oleh para eksekutif dan produser agensi. Dalam film dokumenter BLACKPINK: Light Up The Sky yang dirilis Netflix, Jennie mengatakan saat kali pertama bertemu dengan Lisa, ia tahu perempuan berusia 24 tahun itu terlahir untuk industri hiburan dan menjadi idola.
“Saya sangat sedih untuk mengatakan orang yang berlatih bersama saya pertama kali sudah tidak di sini lagi. Namun, setelah Lisa datang (ke agensi) saya berpikir ‘Wow, beberapa orang memang terlahir untuk melakukan ini’,” ujar Jennie.
Sebelum debut pada 2016, Lisa sudah disorot dan diberikan panggung oleh agensinya. Misalnya, lewat video teaser “WHO’S THAT GIRL???” yang rilis 2012 tahun silam dan menyorot Lisa sebagai calon anggota grup idola perempuan baru YG Entertainment. Saat itu, grupnya disebut PINK PUNK dan beranggotakan sembilan orang. Dia juga sempat menjadi penari latar untuk video musik “Ringa Linga” oleh seniornya, Taeyang pada 2014.
Dua tahun setelah video musik itu rilis, Lisa debut bersama BLACKPINK dengan “Whistle” dan “BOOMBAYAH” yang meroketkan nama mereka sebagai monster rookie atau anak baru yang harus ‘diwaspadai’. Selain itu, faktor adiknya BigBang dan 2NE1 yang legendaris untuk generasi kedua K-pop juga menjadi salah satu faktor BLACKPINK sangat dinanti publik.
Dalam wawancaranya bersama Billboard belum lama ini, Lisa mengatakan ia merefleksikan perjalanan kariernya melalui video lama dan cuplikan dalam film dokumenter BLACKPINK. Lisa teringat atas kerja keras yang dulu ia lakukan dan akan terus melanjutkannya.
“Dulu saat saya masih trainee dan mempersiapkan segalanya, saya memiliki mindset ‘Saya tidak bisa debut kecuali saya bekerja keras.’ Jadi, ketika melihat kembali video lama, saya mengingat perasaan dan pemikiran itu. Saya semacam diingatkan: Saya sudah berjalan sejauh ini, dan saya tidak boleh melupakan tekad yang saya rasakan saat itu. Saya mengingatkan diri saya atas itu setiap hari,” kata Lisa.
Lisa dan Rasialisme terhadap Orang Asia Tenggara
Walaupun memanen kesuksesan di industri hiburan Korea Selatan, Lisa tidak melupakan akarnya sebagai orang Thailand. Perempuan berasal dari Provinsi Buriram itu berupaya untuk memperkenalkan budaya Thailand kepada orang Korea dan teman-teman BLACKPINK-nya. Selain tu, dalam dalam video musik “LALISA” ia juga mengenakan pakaian tradisional Chut Thai yang dimodernisasi dengan hiasan kepala, makuta, juga berwarna kuning keemasan. Dalam konferensi pers peluncuran “LALISA”, dia memang menegaskan ingin mengintegrasikan budaya Thailand dalam lagu-lagunya.
“Saya sangat ingin menyertakan beberapa hal terkait negara rumah saya. Saya berpikir hal itu terefleksikan dengan baik. Nuansa Thailand bahkan ada dalam lagu dan orang akan merasa kagum,” ujarnya.
Meskipun begitu, identitasnya sebagai bagian dari warga Asia Tenggara itu kadang menimbulkan konflik dengan masyarakat Korea Selatan. Ada bentuk rasialisme dan stigma terhadap warga Asia Tenggara sebagai kriminal, tenaga kerja rendah, dan perempuan yang menikah dengan laki-laki Korea demi uang. Penyebabnya, masyarakat Korea Selatan yang cenderung homogen itu harus menerima multikulturalisme yang didorong dengan Hallyu Wave dan pernikahan campur.
Berkaca dari hal itu, walaupun Lisa memiliki status sebagai idola, dia tidak lepas dari aksi rasisme itu. Dalam perhelatan 33rd Golden Disc Award pada 2019 lalu, penampilan Lisa menjadi bahan ejekan di sebuah forum online Korea Selatan. Satu komentar yang mencuat amarah mengatakan: Tanpa riasan, Lisa seperti peri Rusia, tapi dengan rambut berwarna gelap dan tanpa riasan dia seperti perempuan Thailand biasa. Belum lagi beberapa waktu lalu media Allkpop memukul rata semua penggemar Lisa dari Asia Tenggara sebagai fans K-pop toksik yang senang menyerang orang lain.
Sebuah artikel ilmiah How K-Pop Thai Idols effect Koreans’ Public Perception of Thai People and Multicultural Families: The Case of BLACKPINK’s Lisa kemudian menilik komentar-komentar diskriminatif terkait ras yang dialami Lisa. Penulisnya Kamon Butsaban dari Chulalongkorn University, Bangkok mengidentifikasi komentar-komentar senada sejak 2016 sampai 2019.
Jika disimpulkan, mayoritas komentar tidak percaya Lisa berkewarganegaraan Thailand karena berparas cantik seperti orang Eropa. Masyarakat Asia Tenggara, secara stereotipikal, tidak berkulit putih seperti Lisa dan idola asal Thailand lainnya (Ten, Nichkhun, Sorn, Bambam dan Minnie). Bahkan, ada satu yang menuliskan, “Don’t deal with S(hit)outheast Asia.”
“Kewarganegaraan Lisa sudah menjadi isu sejak debut dan publik Korea terkejut dia tidak seperti orang Thailand, yang dinilai sebagai bentuk diskriminasi ras. Meskipun begitu, komentar yang merendahkan penampilan Lisa kadang diacuhkan oleh publik luas dan dikritik,” tulis Butsaban.
Tidak bisa dimungkiri, komentar tersebut kemudian dibalas dan dikritik sebagai bentuk rasialisme, tapi ada juga yang membela diri bahwa menyatakan seseorang cantik, seperti orang Eropa bukan bentuk diskriminasi. Secara singkat, hal itu memang tampak remeh temeh, tetapi jika ditilik hal itu menunjukkan standar kecantikan harus selalu eurosentris. Sementara orang Asia Tenggara pada umumnya harus dalam kotak ‘tidak sesuai standar kecantikan’. Stigma dan rasialisme pun bisa dengan tipis-tipis dilanggengkan dengan pandangan tersebut.
Berkaca dari situasi ini, Lisa sebagai idola yang merepresentasikan Korean Wave masa kini menjadi semacam tamparan untuk masyarakat Korea Selatan yang masih diskriminatif pada orang Asia Tenggara. Selain itu, kehadiran Lisa sebagai wajah sukses Asia Tenggara bisa menjadi ‘alat’ yang cukup efektif untuk melawan rasialisme di tengah keberagaman masyarakat Korea Selatan yang terus bertambah.