wanitaindonesia.co – Setelah saya belajar pemahaman agama yang inklusif terhadap perempuan, saya cenderung lebih menghormati apapun keputusan mereka terkait dengan jilbabnya.
Sebagai perempuan yang dibesarkan dalam keluarga Minang dan Muslim taat, orang tua saya terutama ibu, sangat memperhatikan pendidikan agama. Menurutnya, pendidikan agama harus diberikan sejak dini. Oleh sebabnya, enggak heran, dari TK saya sudah dimasukkan ke sekolah agama hingga di bangku SMP. Ibu juga mengajarkan saya untuk menutup aurat dengan jilbab, sebelum orang-orang mengikuti tren jilbab syari.
Awalnya, saya berpikir mengenakan jilbab memang kewajiban perempuan untuk menutup aurat. Namun, saya agak bingung saat muncul omongan-omongan, seperti “Pakai jilbabnya, nanti ayah sama saudara laki-laki kamu yang ikut berdosa karena kamu enggak berjilbab.” Saya pun bertanya-tanya, kok mereka yang menanggung dosa saya, padahal katanya setelah dewasa, urusan dosa akan ditanggung sendiri.
Saat itu, saya merasa resah dengan hal ini. Saya merasa ada yang ganjil dengan bagaimana ibu saya mengajarkan tentang jilbab dan jilbab syari pada saya. Seakan-akan, hidup sebagai perempuan itu serba salah, tidak berjilbab salah, belum berjilbab syari juga salah. Selain itu, saya juga mendengar banyak cerita soal hukuman bagi perempuan yang tak berjilbab, termasuk digantung di api neraka, digantung bagian lidahnya, dan hukuman-hukuman super mengerikan lainnya.
Alih-alih semakin taat menggunakan jilbab syari, saya malah semakin mempertanyakan ajaran agama yang diajarkan ibu saya. Bagaimana bisa hanya karena perempuan memutuskan untuk tidak berjilbab atau belum berjilbab syari, konsekuensinya besar sekali.
Ketika saya memutuskan untuk melepas hijab, karena merasa diri saya hampa saat berhijab, saya tidak berani mengutarakan hal tersebut. Saat itu, ibu saya marah sekali, dan saya juga masih merasa sangat bersalah. Saat itu saya masih berusia 18 tahun dan belum memiliki ruang aman untuk bertanya hal-hal seperti ini. Barulah ketika saya di bangku semester akhir kuliah, saya menemukan jawaban-jawaban dari keresahan tersebut.
Memaknai Jilbab Syari Secara Kontekstual
Ketika saya menemukan ruang aman untuk belajar agama islam secara inklusif, hal yang pertama kali saya pelajari adalah bacalah ayat-ayat suci dalam kitab Alquran secara kontekstual, jangan cuma tekstual saja. Waktu itu, saya menghadiri pengajian Musdah Mulia, dan ia mengajarkan hal tersebut pada saya. Seringkali, orang belajar Alquran secara tekstual, tanpa melihat konteks saat ayat itu diturunkan.
Dari situ, saya merasa tak lagi sendirian, dan ternyata keresahan ini ditimbulkan karena tafsir agama yang tidak ramah perempuan. Saya pun menjadi sering mengikuti pengajian ulama-ulama perempuan progresif, dan belajar lebih mendalam soal tafsir agama inklusif termasuk soal jilbab syari.
Dalam buku Ensiklopedia Muslimah Reformis, Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi yang ditulis oleh Musdah Mulia, pemahaman soal jilbab pada intinya berkaitan dengan mengendalikan diri dari semua dosa dan maksiat. Jilbab tidak berkaitan dengan busana tertentu melainkan ketakwaan dalam hati. Perempuan yang beriman secara sadar bakal memilih busana yang sederhana dan tak berlebih-lebihan dan tentunya bukan untuk pamer.
Memang, dalam surat Al Ahzab ayat 59, kata jilbab disebut secara eksplisit, namun saat kita melihat konteks ayat itu diturunkan, itu hanyalah ketentuan Alquran bagi para istri, anak-anak perempuan Nabi, dan semua perempuan beriman pada abad ke-7 untuk menutup aurat atau bagian tubuh mereka. Tujuannya, yakni melindungi diri dari kaum munafik yang akan menghina mereka. Jadi memang diperuntukan untuk perlindungan saat itu.
Jika kita melihat dalam konteks saat ini, perlindungan perempuan di masa kini tak lagi cukup dengan jilbab, tetapi perlindungan yang signifikan untuk mereka adalah memberikan akses pendidikan yang seluas-luasnya untuk perempuan. Pendidikan yang memberdayakan perempuan, membuat mereka percaya diri, dan berani mempertahankan hak-haknya.
Berjilbab, Berjilbab Syari, atau pun Tidak Berjilbab, Hormati!
Setelah belajar tentang jilbab lebih mendalam dan mendapat sisi lain dari hal ini, saya pun semakin menghormati apapun pilihan pakaian yang dikenakan oleh perempuan. Hal ini termasuk putusan teman-teman saya yang memutuskan untuk berjilbab secara istiqomah.
Ketika salah satu teman saya dari SMP tiba-tiba mengirimkan direct message Instagram ke akun saya, ia meminta tolong agar saya menurunkan foto-foto Instagram saya yang juga yang ada sosok dirinya saat belum berjilbab.
Saya tidak keberatan tentunya, karena saya paham, hal itu adalah haknya juga. Saya pun menurunkan beberapa unggahan foto yang ada dirinya. Teman saya lainnya, agak berbeda kasusnya. Saat itu, ia tiba-tiba memutuskan untuk berjilbab syari, namun beberapa tahun kemudian, saat saya kembali bertemu dengannya, teman saya memutuskan untuk melepas hijabnya. Apapun keputusannya, saya turut senang dengan pilihannya.
Namun, ada juga teman saya yang berjilbab syari, dan ia merasa lebih suci dibandingkan dengan teman-teman perempuannya yang belum berjilbab. Ia selalu menyalahkan dan menghakimi perempuan yang belum berjilbab. Ia berkata, perempuan-perempuan tersebut adalah pendosa. Alih-alih berdialog, teman saya ini malah menarik diri dari teman-temannya yang belum berjilbab.
Jilbab bukan lambang dari kesalehan bahkan ketakwaan, apalagi jika kamu merasa lebih saleh dari orang lain.Wah, berarti ada yang salah dalam cara kamu memandang jilbab. Seperti kata Ibu Musdah Mulia dalam bukunya, apapun pakaian yang dipilih perempuan, kita harus tetap menghargai hal tersebut. (wi)