wanitaindonesia.co – Perkembangan teknologi digital telah mengubah lanskap dunia profesional. Pekerjaan 9-to-5 bukan lagi pekerjaan impian banyak pekerja, terlebih milenial. Semakin banyak individu mencari pekerjaan yang menawarkan fleksibilitas. Berkarier sebagai freelance semakin diminati. Tercatat, ada 33,34 juta orang bekerja paruh waktu atau freelancer per Agustus 2020, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Angka ini naik 4,32 juta orang atau 26 persen dari tahun sebelumnya. Bagaimana tren ke depannya
Di hari pertama Indonesia Womens Forum (IWF) 2021, Senin (27/09/2021), yang mengusung tema The Future of Workplace, mengupas tren karier freelancing ini. Acara yang dibawakan oleh Tenik Hartono, PJ Editor in Chief Ayahbunda – Parenting Indonesia, menghadirkan dua freelancer milenial yang cukup sukses, yakni Ayla Dimitri, seorang fashion selebgram dan Liffie Wongso, yang berkarier sebagai ilustrator. Hadir pula, Meike Malaon, yang turut menjadi pengulas dalam tema ini. Beliau adalah konsultan karier dan Komisioner DayaLima Abisatya, lembaga konsultan HRD.
Pro Kontra Bekerja Untuk Diri Sendiri
Jasa ilustrator sekarang semakin dicari untuk mempromosikan sesuatu. Bagi Liffie, saat publik mengenal karyanya, permintaan akan datang dengan sendirinya. Liffie tak pernah takut kekurangan order. “Teks saja tidak cukup, butuh visual untuk menjelaskan. Kita adalah makhluk yang lebih cepat tanggap pada visual,” ujar Liffie yang sudah terjun sebagai freelance ilustrator sejak 2017.
Di kalangan insan kreatif, platform untuk menawarkan karya semakin banyak pilihan. Salah satunya, menurut Liffie, yang terbaru adalah kehadiran NFT, marketplace khusus penjualan karya-karya dari para seniman, content creator, digital art, maupun ilustrator.
Berbeda kisahnya dengan Ayla. Setelah sebelumnya berkarier sebagai jurnalis di bidang fashion, ia memutuskan berkarier solo dan menggarap serius konten akun pribadi Instagramnya di @ayladimitri. Tak jauh-jauh dari keahliannya, ia fokus di fashion, kecantikan, dan traveling. Ia menyebut dirinya Content Creator. Akun digarap dengan serius, dengan jam kerja penuh waktu di hari kerja, sebagaimana saat ia bekerja kantoran. “Enaknya, saya bisa menentukan jam kerja sendiri. Saya punya ruang eksplorasi lebih,” ujar pemilik akun IG dengan jumlah follower 402 ribu, ini.
Freelance tidak bisa dilihat sisi enaknya saja. Banyak sekali tantangan dan sisi tidak enaknya. Satu hal yang pasti, tidak ada gaji tetap sebagaimana pekerja kantoran. Frekuensi pekerjaan kadang permintaan tinggi, kadang sepi. Tantangan lain, menurut Ayla, adalah bagaimana menciptakan suasana kerja yang kondusif. Jika karyawan diikat oleh aturan kantor, maka freelancer, meski terlihat gayanya selalu santai, perlu punya disiplin diri, determinasi, dan etika kerja yang dibangun.
Liffie menambahkan, frelancer, meski tidak punya atasan yang mengatur-atur, harus menunjukkan profesionalisme tinggi. “Klien minta apa saja kami harus serba bisa. Bisa memecahkan problem mereka. Menunjukkan skill yang terbaik, attitude dan profesional dalam setiap pekerjaan yang diberikan,” kata Liffie, yang dalam pekerjaannya, ia dibantu oleh seorang manajer untuk berurusan dengan masalah negosiasi dan kontrak klien agar ia bisa fokus pada karya.
‘Jam Kantor’ Freelancer
Banyak orang meminati freelance karena terbebas dari kewajiban jam kerja 9-to-5 di hari kerja. Tapi buat Liffie, ia justru nyaman dengan jam kerja tetap setiap harinya, bahkan lebih panjang dari jam kantoran. Jam kerja Liffie dimulai dari pukul 7 pagi hingga pukul 6 sore setiap hari kerja. “Di luar jam itu, saya tidak bisa diganggu. Kalau ada revisi mendadak, manajer yang akan menanggapi,” kata Liffie. Saat sedang sepi pesanan, Liffie tetap bekerja memanfaatkan waktunya untuk mengerjakan proyek-proyek pribadi. “Supaya ada sesuatu yang fresh. Berkarya tidak selalu terpatok pada proyek,’ jelasnya.
Disiplin yang sama juga diterapkan oleh Ayla. Ia menerapkan jam kerja normal, yakni mulai pukul 9 atau 10 pagi dan selesai pukul 5 sore. Malahan, pagi sebelumnya, Ayla sudah mengecek update dengan timnya untuk agenda yang akan dilakukan pada hari itu. Di luar waktu tersebut, hanya untuk kepentingan yang urgen. “Kalau tidak disiplinkan waktu, kami tidak bisa istirahat. Bisa habis energi, akibatnya kreativitas mandek. Istirahat penting untuk creativity boost,” kata Ayla.
Tren Gig Economy
Selama masa pandemi, menurut Meike, kesempatan bekerja di perusahaan makin berkurang. Tak sedikit perusahaan yang terpaksa merumahkan karyawan. Situasi ini menumbuhkan kesempatan baru bagi para pekerja lepas. Tren ini masih akan terus berlanjut. Disebut juga sebagai gig economy, yakni sistem tenaga kerja bebas di mana perusahaan hanya mengontrak pekerja independen (freelancer) dalam jangka waktu pendek. Meike mengatakan, gig economy ini lebih menguntungkan, baik bagi pemberi kerja maupun buat pekerja. “Buat pemberi kerja, freelancer dianggap sudah mumpuni. Latarnya juga lebih beragam dan dari sisi jarak tidak harus berdomisili di area tertentu saja. Sedangkan, dari sisi pekerja, cara ini tidak terlalu mengikat secara komitmen, tawaran kerja lebih variatif dan industri yang berbeda, dan bisa dikerjakan dari mana saja,” tutur Meike.
Agar sukses sebagai freelance, Meike memaparkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya, “Personal capital, Anda tahu kenapa memilih karier ini dan sadar menjadi freelancer. Bukan terpaksa. Lalu, human capital. Pahami betul talenta Anda. Apa yang Anda miliki dan apa yang Anda tawarkan. Selain skill utama, juga soft skill yang harus dikuasai, seperti belajar negosiasi, komunikasi, dan kolaborasi. Ketiga adalah social capital. Perluas network untuk selalu mendapat kesempatan baru. Ketiganya harus terus diasah,” saran Meike, untuk mereka yang ingin terjun sebagai freelancer. (f)