wanitaindonesia.co – Masuk penjara karena tulisannya, kegigihan perempuan jurnalis, Maria Ressa dalam melawan kediktatoran Presiden Filipina Rodrigo Duterte melalui tulisan-tulisannya telah mengantarkan Maria Ressa mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian 2021
Perlawanan perempuan jurnalis di Filipina, Maria Ressa di Filipina menunjukkan bahwa kebebasan pers di Filipina berada di bawah ancaman.
Dalam 3 tahun terakhir ini, kondisi tersebut menjadikan jurnalis Rappler, Maria Ressa menjadi target utama
Sebuah film dokumenter “A Thousand Cuts” yang diputar secara terbatas pada 6-9 Oktober 2021, kemudian menayangkan perjuangan Maria Ressa, seorang jurnalis yang telah menjadi target utama atas tindakan keras yang dilakukan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte terhadap jurnalis di media.
Nama Maria Ressa terus-terusan menjadi sorotan dalam 3 tahun terakhir setelah ia dan media yang didirikannya, Rappler, secara vokal menyuarakan penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Maria bahkan kerap beradu argumen dengan Duterte yang menganggap Rappler sebagai media penyebar hoaks. Maria juga dipenjara setelah ia menjadi target utama dalam kasus ini
Tak goyah melakukan perlawanan, Maria Ressa justru meraih penghargaan Nobel Perdamaian pada 8 Oktober 2021. Ini merupakan penghargaan Nobel pertama yang diberikan pada jurnalis di seluruh dunia, dan Maria Ressa mendapatkannya. Ia mendapat penghargaan bersama Dmitry Muratov, seorang wartawan investigasi di Rusia. Seperti dilansir dari VOA Indonesia, mereka diberikan penghargaan “atas perjuangan berani mereka untuk kebebasan berekspresi di Filipina dan Rusia,” kata Ketua Komite Nobel Norwegia Berit Reiss-Andersen dalam konferensi pers.
“Pada saat yang sama, mereka mewakili semua jurnalis yang membela cita-cita ini di dunia di mana demokrasi dan kebebasan pers menghadapi kondisi yang semakin buruk,” tambahnya.
Siapa Maria Ressa, Perempuan Jurnalis Gigih Berjuang
Maria Ressa, perempuan kelahiran 1963 banyak dipuji karena dianggap berjasa dalam mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan serta otoritarianisme di Filipina.
Pada tahun 2020, Maria Ressa, pernah dituduh melakukan ‘cyber-liber’ atau fitnah yang ditujukan kepada Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.
Rappler yang didirikan Maria Resa bersama tiga jurnalis lainnya itu, memang sejak berdirinya 2012 dikenal ‘tajam’ lewat penyelidikannya di Filipina. Seperti, getol mempertanyakan ketepatan pernyataan hingga mengecam berbagai kebijakan yang merugikan publik
Selain itu, media yang dinahkodai Maria Ressa itu juga sempat menerbitkan sejumlah laporan kritis terhadap perang Duterte terkait perlawanan narkoba yang kebijakannya menyatakan akan menembak mati siapapun yang memakai narkoba. Akibat kebijakannya ini, dalam tiga tahun terakhir, sekitar 5.000 orang meninggal. Presiden Duterte di saat bersamaan juga diduga pernah melecehkan seksual seorang pekerja rumah tangga (PRT).
Duterte lantas menyangkal laporan situs itu “palsu” dan tidak memberikan akses bagi jurnalis meliput caranya. Maria Ressa pun sempat mendapat ancaman hukuman pidana sampai 6 tahun, meskipun kemudian bebas dengan jaminan setelah pada 2020 pasca ia ditangkap dan divonis bersalah terkait Undang-Undang Fitnah di Media Sosial oleh pengadilan Filipina.
Pada Kamis 4 Maret 2021, dilansir dari VOA Indonesia, Maria juga menghadapi empat tuduhan penggelapan pajak dan dinilai tidak mengajukan laporan pengembalian pajak yang akurat. Di luar itu, Maria menyatakan bahwa pemerintah telah mengajukan sepuluh surat perintah penangkapan terhadapnya dalam waktu kurang dari dua tahun
Maria mengatakan, ia mengimbau pemerintah untuk menghormati pekerjaan jurnalis. “Kami di sini untuk bekerja dengan Anda, dan Anda ingin kami melakukannya, karena dengan bersama-sama kita dapat menemukan jalan yang benar ke depan. Biarkan wartawan melakukan pekerjaan mereka dan jurnalisme bukanlah kejahatan,” katanya.
CNN menulis, banyak pihak, terutama aktivis hak asasi manusia, menganggap vonis terhadap Maria itu sebagai ancaman atas kebebasan berekspresi di Filipina.
“Sebagai jurnalis dan CEO Rappler, Maria telah menunjukkan dirinya sebagai pembela kebebasan berekspresi yang tak kenal takut. Rappler telah memusatkan perhatian kritis pada kampanye anti-narkoba yang kontroversial dan mematikan dari rezim Duterte,” kata Komite Nobel Norwegia.
Sepak terjang Maria, juga memiliki dedikasi dalam jurnalistik sebagai perempuan jurnalis yang berani. Dilansir The Famous People, ditemukan ada rekaman video liputan Maria bersama Osama bin Leden di Afghanistan. Maria Ressa, juga pernah dinobatkan sebagai Person of the Year tahun 2018 oleh majalah Time, mendapatkan Golden Pen of Freedom Award (2018) dan UNESCO/ Guillermo Cano World Press Freedom Prize (2021)
Dalam perjuangan atas kasus-kasus yang dihadapinya, Maria kemudian didampingi oleh Perempuan pengacara HAM internasional, Amal Clooney dan Caoilfhionn Gallagher QC, yang memimpin sebagai tim pembela untuk Maria.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor hukum Doughty Street Chambers yang bermarkas di London, Amal Clooney menyebut Maria sebagai “seorang wartawan pemberani yang dianiaya karena melaporkan berita dan menentang pelanggaran HAM.”
Amal, pada 9 November 2021 juga dianugerahi penghargaan sebagai pengakuan atas kinerjanya, salah satunya dalam melakukan pembelaan HAM terhadap Maria. Amal menerima penghargaan Gwen Ifill Press Freedom Award bersama beberapa wartawan dari Bangladesh, Iran, Nigeria dan Rusia, yang menerima International Press Freedom Awards dari Komite Perlindungan Wartawan CPJ, yang berkantor di New York.
Harapan Pers dan Demokrasi
Dalam sebuah diskusi “Press In Distress: Will Independent Journalism Survive in Southeast Asia?” 8 Oktober 2021 yang dilakukan secara terbatas, Maria Ressa menyatakan berdiri satu barisan bersama koalisi tiga negara yaitu, Indonesia, Malaysia, Filipina sebagai respons menguatnya tekanan pers dan demokrasi di Asia Tenggara.
Pentingnya kerja sama yang solid ini, diharapkan bisa menghentikan serangan-serangan terhadap jurnalis. penyalahgunaan hukum dan manipulasi informasi. Utamanya di masa pandemi yang bersikonya kepentingan politik yang menjegal kebebasan pers dan demokrasi.
“Saya menyukai gagasan komunitas yang ingin kita bangun bersama ini. Lebih-lebih pada situasi pandemi, dimana orang-orang merasa terisolasi sehingga rawan sekali dimanipulasi lewat media sosial,” kata Maria, tak lama setelah dirinya dinyatakan memenangi Nobel Perdamaian.
Arif Zulkifli, anggota Dewan Pers mengatakan, apa yang dialami Maria Ressa di Filipina sebagai potret demokrasi yang saat ini terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia. Pers telah mengalami serangkaian serangan fisik, digital, hingga kriminalisasi terhadap jurnalis dan aktivis di Indonesia yang bersuara keras terhadap kebijakan-kebijakan publik yang dianggap merugikan publik. Seperti, RUU Cipta Kerja hingga RUU KPK.
Kaitannya ini, Pendiri MalaysiaKini, Steven Gan dalam diskusi tersebut juga menyoroti pentingnya penggalangan dukungan publik agar pers bisa terus menjalankan tugasnya, menyuarakan kebenaran. Termasuk, dalam hal pembiayaan. Menurutnya, kebebasan publik akan sulit ditegakkan apabila publik tidak melihat jurnalisme sebagai hal yang serius diperhatikan.
Forum regional ini merupakan gagasan sejumlah organisasi jurnalis dan sineas di tiga negara, yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (Indonesia); Freedom Film Network, Gerakan Media Merdeka (Geramm), Center for Independent Journalism (CIJ) Malaysia; serta Dakila, Active Vista dan Rappler di Filipina.
“Sangat penting bagi kita semua untuk bersama-sama melindungi institusi pers, karena jika jurnalisme independen mati, maka demokrasi juga akan mati,” kata Anna Har, pendiri Freedom Film Network.
Baik AJI, CIJ, Geramm, dan Dakila menyatakan, perlunya melanjutkan kolaborasi ini di tingkat kawasan.
“Perlu ada solidaritas dan semangat bersama untuk mengawal kebebasan pers di Asia Tenggara. Kemenangan Maria Ressa akan membakar semangat media di Malaysia untuk bersuara lebih lantang dalam menyuarakan kebebasan pers dan berekspresi,” tegas Radzi Razak, juru bicara Geramm.
Ketua AJI Indonesia, Sasmito menegaskan akan terus membuka ruang-ruang kolaborasi dengan berbagai jejaring di Asia Tenggara. Koalisi tiga negara tersebut, lanjut dia, merupakan alarm terhadap menguatnya kekuasaan yang dirasa mulai anti terhadap demokrasi.
“Jurnalis tidak boleh ditundukkan, karena jurnalis harus berperan sebagai watchdog, mengawal demokrasi, mengungkap praktik-praktik kotor, serta melawan penyalahgunaan kekuasaan,” tegas Sasmito.