Site icon Wanita Indonesia

Lima Bulan Baru Terungkap: Pejabat dan Politisi Diduga Jadi Pelaku Kekerasan Seksual di Papua

Lima Bulan Baru Terungkap: Pejabat dan Politisi Diduga Jadi Pelaku Kekerasan Seksual di Papua

wanitaindonesia.coDugaan kekerasan seksual terjadi pada 4 anak perempuan di Papua. Pelakunya diduga pejabat disana. Setelah 5 bulan, kasus ini baru terungkap

Dugaan kasus kekerasan seksual kembali terjadi. Kali ini, korbannya adalah 4 anak perempuan di Papua. Peristiwa ini diduga melibatkan terduga pelaku pejabat Provinsi dan para politisi di Papua.

Kejadiannya terjadi pada April 2021 yang menjadi awal petaka ini. Empat anak perempuan menjadi korban perkosaan yang melibatkan 5 orang pelaku dan kemudian mengancam para korban agar tidak melaporkan kasus ini kepada keluarga dan pihak manapun. Keluarga baru mengetahuinya 5 bulan kemudian atau pada September 2021.

Tindak pidana perkosaan di Papua itu, terjadi awalnya atas ajakan paman salah satu korban, yang mengajak jalan-jalan ke Jakarta. Namun, tindakan ini tanpa diketahui orang tua atau keluarga. Modusnya, pelaku akan memberikan uang pada para korban.

Tak menepati janji, pelaku malah melakukan aksi penculikan terencana hingga pemaksaan pemberian minuman beralkohol, mengajak korban ke bar, menganiaya, meneror sampai mengintimidasi para korban agar menuruti semua permintaan pelaku.

Para korban lantas dicekoki minuman keras hingga tidak sadarkan diri. Akhirnya, salah seorang dari 4 korban menjadi sasaran kekerasan seksual berkali-kali oleh oknum kepala Dinas di Provinsi Papua.

Dikutip dari Jubi.co.id, kasus ini ramai diperbincangkan usai eks tahanan politik Papua Ambrosius Mulait menceritakan kronologinya melalui akun Twitter pribadinya @Mulalt_ Ambros dalam cuitannya menyampaikan, dugaan tindak pemerkosaan tersebut berawal dari ajakan paman korban yang mengiming-iming korban untuk jalan-jalan ke Jakarta.

“Ajak korban ke Jakarta tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga pada pertengahan bulan April 2021 lalu, dan modus hanya mau kasih uang pada bulan Juni, tetapi berubah menjadi aksi penculikan terencana dengan pemaksaan memberikan minuman alkohol, mengajak ke bar, menganiaya,” kata Ambros dalam cuitannya.

Dihubungi Konde.co pada 14 September 2021, Ketua LBH Papua, Emanuel Gobay yang menjadi pengacara korban menyatakan bahwa saat ini, Benyamin Lagowan sebagai keluarga korban telah melaporkan kasus ini ke Polda Papua.

“Keluarga korban saat ini sudah melakukan pelaporan ke Polda Papua dan baru diproses, kami akan melakukan konferensi pers setelah ini.”

Dalam proses pelaporan ke polisi, keluarga korban dan kuasa hukumnya mendapatkan intimidasi dari para pelaku. Seperti, dibentak dan dicaci maki di depan Kapolsek Heram dan anggotanya

Koalisi Anti Kekerasan Seksual di Papua memberikan dukungan pada pihak keluarga agar tidak mencabut laporan dan menolak menyelesaikan kasus dengan cara kekeluargaan. Penegakan hukum terhadap kasus ini menjadi penting dalam penghapusan kekerasan seksual di Papua yang masih tinggi.

Dalam pernyataan persnya, Koalisi Anti Kekerasan Seksual di Papua menyebutkan, dasar hukum penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak terdapat dalam Instrumen Hukum Internasional dan Nasional. Papua sendiri selama ini telah punya landasan hukum yang menegaskan pentingnya penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ada pula, Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perlindungan Korban KDRT, Perdasus Papua No.1 Tahun 2011 tentang Pemulihan dan Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM, serta Peraturan Bupati Jayapura No.35 tahun 2019 tentang Kawasan Bebas Kekerasan.

Korban dalam kasus kekerasan ini adalah anak-anak. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 1 menegaskan, anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun. Kekerasan terhadap anak termasuk seksual, bagaimanapun tidak dibenarkan. Dikarenakan bisa menimbulkan kerugian dan penderitaan fisik, mental, dan seksual. Korban kekerasan seksual juga seringkali mendapatkan ancaman, pemaksaan, dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan lainnya.

Koalisi Anti Kekerasan Seksual di Papua kemudian mendesak agar Polda Papua/ Polres Jayapura/Polsek Heram bisa secara profesional menangani kasus kekerasan seksual ini. Selain itu, penting untuk menjamin rasa aman terhadap korban dan keluarganya. Termasuk yang dilakukan oleh Dinas Sosial, Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Papua.

Di sisi lain, Koalisi juga mendorong pemerintah Provinsi Papua agar tegas memproses hukum para pelaku yang memegang posisi penting di jajaran pemerintah Provinsi Papua. Begitupun dengan partai Gerindra, dimana pelaku menjadi salah satu anggotanya, juga mesti menegakkan supremasi hukum.

“Menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan cara kekeluargaan hanya akan memperpanjang deretan kasus kekerasan seksual di Papua, mengakibatkan lebih banyak korban dan memperkuat impunitas pelanggar HAM,” tulis pernyataan sikap Koalisi Anti Kekerasan Seksual di Papua, yang diterima Konde.co, Selasa (14/9/2021).

Lalu meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perlindungan Anak (KPA) dan Komnas Perempuan, juga harus proaktif dalam memantau perkembangan kasus ini dan mengawal kerja kepolisian.

Exit mobile version