wanitaindonesia.co – Hukuman mati terhadap perempuan seringkali tidak dilihat dan diperhitungkan sebagai puncak tertinggi kekerasan terhadap perempuan. Laporan Cornell Center on the Death Penalty Worldwide memperkirakan setidaknya 500 perempuan terpidana mati di seluruh dunia, dengan lebih dari 100 perempuan telah dieksekusi mati di tahun 2008 sampai 2018.
20 orang buruh migran asal Indonesia terancam dihukum mati di Tiongkok, mereka masih menunggu kepastian yang tanpa ujung. Prosesnya masih menggantung lantaran nilai tawar Indonesia yang tak mendukung.
Ini adalah kondisi hari-hari ini, di dunia yang tengah memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober.
Laporan Cornell Center on the Death Penalty Worldwide memperkirakan setidaknya 500 perempuan terpidana mati di seluruh dunia, dengan lebih dari 100 perempuan telah dieksekusi mati di tahun 2008 sampai 2018. Angka yang tentu saja menunjukkan fenomena gunung es, bahwa sesungguhnya potensial melebihi sejumlah angka tersebut.
Menurut catatan Komnas Perempuan, kasus hukuman mati terhadap perempuan banyak sekali terjadi. Perempuan terpidana mati juga mengalami kekerasan seksual, psikis, dan fisik selama menjalani proses hukuman mati.
Hukuman mati merupakan diskriminasi berlapis terhadap perempuan. Meski ada banyak sekali tekanan yang mengharuskan Indonesia menghapuskan hukuman mati. Namun beberapa hal kerap menjadi kendala Indonesia untuk menerapkan restorative justice.
Mitos ‘efek jera’ juga menjadi salah satu jargon yang terus melanggengkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman ‘terberat’. Akan tetapi hukuman mati hanyalah jalan pintas, karena negara enggan memperbaiki hukum yang berlaku hari ini. Hukuman mati sering dilihat sebagai persoalan hitam putih, sehingga dalam beberapa kasus, permasalahan yang sangat kompleks luput dari sistem peradilan Indonesia.
Catatan Komnas Perempuan memperlihatkan hukuman mati terhadap perempuan seringkali tidak dilihat dan diperhitungkan, sebagaimana yang dialami oleh Mary Jane Veloso (MJV) dan Merri Utami (MU) dan sejumlah perempuan pekerja migran terpidana mati di negara tujuan bekerja.
Hal ini sangat sesuai dengan tema Perempuan dan Pidana Mati, sebuah kenyataan yang tak terlihat (Women and the death penalty, an invisible reality), yangmerupakan tema peringatan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati tanggal 10 Oktober 2021.
Berdasarkan laporan pemantauan Komnas Perempuan, ditemukan fakta bahwa hukuman mati yang dihadapi oleh perempuan pekerja migran, baik karena pembunuhan maupun perdagangan narkotika, berawal dari jejak panjang feminisasi kemiskinan dan lapisan kekerasan berbasis gender yang dialami sejak dari rumah hingga terus berakumulasi ke dunia kerja dan ruang-ruang sosial lainnya.
Perempuan pekerja migran mengalami kondisi kerja yang eksploitatif dan tidak manusiawi serta relasi kuasa yang meletakkan perempuan dalam posisi subordinat. Akumulasi kondisi kerja yang buruk dan pengalaman menjadi korban kekerasan seksual serta tindak pidana perdagangan orang mendorong perempuan untuk melakukan tindak pidana sehingga berujung pada ancaman hukuman mati. Kemudian pada proses hukum, proses peradilan yang tidak adil, diskriminatif dan nihil pemahaman terkait analisis gender mengakibatkan korban mengalami kriminalisasi dan didakwa hukuman mati.
Selain itu, didapati adanya bentuk eksploitasi baru dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yaitu untuk tujuan penyelundupan narkotika. Namun, fenomena pertautan antara tindak pidana perdagangan orang dan kejahatan narkotika sering tidak dilihat. Juga, tampaknya belum dikenali oleh sistem hukum Indonesia.
Akibatnya, sejumlah perempuan yang sesungguhnya adalah korban perdagangan orang harus malah berhadapan dengan hukuman mati. Dalam kondisi ini, aparat penegak hukum sudah saatnya menanggalkan dan meninggalkan pendekatan visi terowongan (tunnel vision) dalam proses hukum kasus-kasus penyelundupan narkotika.
Penantian menunggu kepastian untuk lolos dari hukuman mati juga merupakan sebuah kondisi yang mendera kemanusian. Komnas Perempuan mengingatkan pada dua kasus perempuan terpidana mati Mary Jane Veloso (MJV) dan Merri Utami (MU) yang telah terlalu lama menanti dalam ketidakpastian.
MJV merupakan korban tindak pidana perdagangan orang telah menjalani pidana penjara selama 11 tahun sedangkan MU telah menjalaninya selama 20 tahun. Situasi ini tidak hanya mendera terpidana perempuan melainkan juga anggota keluarganya, hingga berdampak pada gangguan kesehatan mental. Menjadi penting bagi Presiden RI untuk mengabulkan grasi sebagai upaya komutasi atau peralihan hukuman bagi terpidana mati dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun.
Komnas Perempuan menegaskan selain bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling fundamental yaitu hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights), hukuman mati juga merupakan bentuk penyiksaan dan tindakan merendahkan martabat manusia. Penegasannya telah dinyatakan dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara
Di Indonesia, data yang bersumber dari Sistem Database Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per 7 Oktober 2021 mencatat terdapat 400 orang terpidana mati, 11 orang di antaranya adalah perempuan.
Sementara itu, di luar negeri, data Kementerian Luar Negeri per September 2021 memaparkan sejumlah 201 warga negara Indonesia di luar negeri terancam hukuman mati, 40 orang diantaranya adalah perempuan. Penerapan hukuman mati di Indonesia tentu saja menjadi batu ganjalan bagi Indonesia dalam upaya diplomasi pembebasan terhadap warganegaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri.
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan menjelaskan, bahwa dalam banyak kasus yang terjadi, perempuan yang terjerat dengan hukuman mati sudah pasti memiliki permasalahan lain, seperti permasalahan ekonomi.
“Hukuman mati yang terjadi terhadap perempuan biasanya berkaitan dengan beberapa masalah sosial lain seperti pemiskinan perempuan yang kini masih dihadapi perempuan,” ungkapnya pada press conference yang dilaksanakan pada (11/10), dalam rangka memperingati Hari Anti Hukuman Mati
Pada kasus kurir narkoba misalkan, beberapa perempuan terpaksa, bahkan dipaksa untuk menjadi kurir narkoba, demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
“Kita butuh sebuah reformasi hukum yang memastikan pelaksanaan ini benar-benar dilaksanakan oleh negara. Karena jaminan hak hidup sebagai hak asasi fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam hal apapun, namun di indonesia terjadi kontradiksi karena dalam beberapa kasus hukuman mati ini masih dilakukan,” lanjutnya menjelaskan.
“Kita sama-sama menguatkan untuk pemenuhan dan kebutuhan hak hidup. Puncak diskriminasi dan kekerasan berlapis berbasis gender pada perempuan,” terang Andy.
Pada periode kepemimpinan Joko Widodo yang kedua, setidaknya ada 177 vonis mati yang dijatuhkan di berbagai tingkat pengadilan, dengan rincian, 131 kasus narkotika, 3 kasus pemerkosaan dan pembunuhan, pembunuhan berencana di 12 kasus, 14 pembunuhan dan 7 terorisme.
Hukuman mati sendiri merupakan hukuman yang bersifat balas dendam, pada paparannya, peneliti Imparsial, Amalia Suri menjelaskan, hukuman mati sangat kontradiktif dengan Hak Asasi Manusia.
“Sifat hukuman mati sebenarnya adalah balas dendam, ketika hukum kita masih mengambil asumsi mata dibalas dengan mata, maka restorasi justice tidak akan bisa tercipta,” ungkap Suri.
Selama pandemi, ada 126 kasus vonis mati yang melalui persidangan melalui teleconference. Hal ini dinilai sebagai cacat prosedur, sebab ada banyak hal yang kan dilewatkan oleh hakim, seperti gerak-gerik terdakwa, dan penyampaian barang bukti yang kurang maksimal jika dilakukan melalui jaringan teleconference.
Berdasarkan amatan imparsial.org, hukuman mati kerap dijadikan sebagai salah satu alat politik pemerintah untuk mengambil atensi dan kepercayaan rakyat.
“Contohnya saat tahun lalu, ketika kepercayaan masyarakat menurun, pemerintah akan melakukan eksekusi mati, kemudian kepercayaan rakyat terhadap pemerintah kembali meningkat, seolah pemerintah kita tegas,” kata Suri.
Padahal dalam beberapa kasus pengabaian HAM sering terjadi dalam pelaksanaan vonis mati. Hukuman mati juga memiliki permasalahan selain tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan modern yang mengedepankan restorasi justice, hukuman mati juga mengabaikan hak-hak terpidana, dalam hal ini hak hidup.
Maka dari itu, penghapusan hukuman mati diharapkan sebagai langkah awal terciptanya restorative justice.
“Kalau misal pemerintah berdalih hukum indonesia mengadopsi hukum belanda, ini juga patut dipertanyakan, karena saat ini belanda saja sudah menghapus hukuman mati, inikan sayang,” jelas Suri lebih lanjut.
Ahmad Taufan, ketua Komnas HAM sendiri mengakui, bahwa tantangan terbesar dari penerapan restorative justice adalah pada kesungguh-sungguhan pemerintah dalam menjalankannya.
“Mitos efektifitas hukuman mati masih menjadi salah satu solusi untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa, namun pada kenyataannya, tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa dengan hukuman mati, tercipta efek jera, dan kriminalitas menurun. Ini tidak sungguh-sungguh kita jalankan. Paradigma pemahaman, keseriusan dan kepatuhan dalam hak asasi manusia, kepatuhan itulah yang menjadi salah satu kendala yang sangat berat,” jelasnya saat ditanya perihal kendala penerapan restorasi justice.
Pemahaman masyarakat tentang efektifitas hukuman mati juga masih jauh dari harapan. Menurut penelitian yang dilakukan Imparsial.org ada 50.2% dari responden yang setuju dalam pelaksanaan hukuman mati di indonesia. Sedangkan 41.8% yang lain tidak setuju, dan sisanya tak bisa menentukan sikap.
Padahal penerapan penghapusan hukuman mati bisa menjadi nilai tawar pada kasus-kasus yang melibatkan buruh migran yang rata-rata menjerat perempuan. Sudah saatnya hukuman mati harus dihapuskan, agar kemanusiaan tetap berjalan.
Pada peringatan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia yang jatuh tiap 10 Oktober, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun ini kembali menegaskan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Hal ini sejalan dengan menguatnya gerakan abolisi (penghapusan) terhadap penerapan hukuman mati di tingkat internasional. Dalam dinamika pembahasan RKUHP, Komnas HAM mencatat beberapa kemajuan positif guna mendorong diterapkannya prinsip-prinsip HAM terkait praktik hukuman mati.
Kemajuan tersebut tercermin dalam pasal 111 (draf Juli 2018) yang memberikan peluang untuk “tidak melaksanakan hukuman mati dan diberikan kesempatan untuk hukuman seumur hidup”, yang diberikan melalui mekanisme masa percobaan 10 tahun. Kemajuan ini hadir dari buntunya berbagai upaya penghapusan praktik hukuman mati selama ini. Sehingga dibukannya kesempatan masa percobaan dapat menjadi harapan atas adanya penghormatan hak hidup.
Perayaan hari menantang hukuman mati telah ditetapkan secara global sejak 2003, dengan tujuan meningkatkan kesadaran umum dan kesadaran politik yang lebih luas, serta membangun gerakan di seluruh dunia untuk melawan hukuman mati.