Site icon Wanita Indonesia

Kisah Suram Pendidikan Anak Perempuan Afghanistan

wanitaindonesia.co – “Kami sangat terkejut saat Taliban menguasai Afghanistan. Saya sangat khawatir pada perempuan, minoritas dan pembela hak asasi manusia. Kekuatan global, regional dan lokal harus menyerukan gencatan senjata segera, memberikan bantuan kemanusiaan yang mendesak dan melindungi pengungsi dan warga sipil,” tulis Malala Yousafzai, pemenang Hadiah Nobel itu di akun Twitternya sesaat Afghanistan jatuh ke tangan Taliban.

Seperti Malala, dunia pun terkejut dan cemas setelah pecah berita bahwa Taliban berhasil menguasai Afghanistan setelah kelompok bersenjata ini memasuki kota Kabul dan membuat Presiden Ashraf Ghani melarikan diri pada 15 Agustus 2021 lalu. Istana yang kosong pun segera diambil alih. Ashraf Ghani lewat akun facebook menyatakan bahwa Taliban menang perang.
Wanita Kembali Dirumahkan?
Taliban berhasil menguasai Afghanistan setelah melakukan operasi kilat selama 10 hari dan merebut kota demi kota. Kembalinya kekuasaan Taliban ini tepat 20 tahun setelah mereka diusir ketika pasukan Amerika Serikat melakukan invasi pasca tragedi 9/11. Dan kini, setelah Presiden Joe Biden menarik mundur pasukan Amerika Serikat dan percaya bahwa militer Afghanistan akan mampu menahan Taliban, faktanya Afghanistan takluk.
Tweet Malala pun segera menyadarkan akan nasib perempuan, khususnya anak-anak perempuan akan pemenuhan hak-hak hidup mereka. Malala, gadis Pakistan ini adalah survivor kekejaman Taliban yang menentang anak-anak perempuan mendapatkan pendidikan. Dan seperti pada setiap esklalasi politik, peperangan,  bencana alam di suatu negara, wanita dan anak-anak selalu menjadi korban pertama.
Pada 9 Oktober 2012, hari sudah sore ketika Malala selesai menempuh ujian di sekolahnya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Karena namanya saat itu sudah mulai diperbincangkan dan dianggap sebagai ikon keberanian bersuara, ibunya melarang Malala jalan kaki dan menyuruhnya naik bus saja demi keamanan.
Di tengah jalan, bus  yang ditumpanginya tiba-tiba dihentikan dua penembak Taliban, yang kemudian masuk ke dalam bus dan memberondong Malala dengan peluru. Kepala, leher serta bahu gadis yang saat itu berusia 15 tahun terluka parah. Malala menjadi target karena sejak tahun 2008, pemimpin Taliban setempat, Mullah Fazlullah, mengeluarkan peringatan bahwa semua pendidikan perempuan harus dihentikan atau yang melanggar akan menanggung akibatnya.
Tubuh penuh luka Malala diterbangkan ke rumah sakit militer di Peshawar untuk menjalani operasi. Lukanya yang parah membuat ia dikirim ke rumah sakit di Ibukota Islamabad untuk menjalani operasi kepala dengan membuang sebagian dari tulang tengkoraknya. Pada 15 Oktober 2012 ia dibawa ke Inggris untuk perawatan dan rehabilitasi lebih lanjut. Gadis 15 tahun itu benar-benar berada dalam situasi antara hidup dan mati, hanya karena keinginannya bersekolah.
Dengan semua kejadian mengerikan yang ia alami, Malala menjadi ikon global untuk pemenuhan hak-hak anak perempuan, terutama dalam pendidikan. Gadis kelahiran Swat, lembah yang indah hingga dijuluki Swiss-nya Pakistan pada tahun 1997 ini kini sudah bergelar sarjana dari Universitas Oxford jurusan Filsafat, Politik dan Ekonomi. Ia juga peraih hadiah Nobel Perdamaian termuda, dua tahun setelah penembakan itu tepatnya pada tahun 2014.

Sosok Malala Yousafzai dulu dan sekarang. Foto: Dok. Instagram @malalafund

Taruhan Nyawa

Meski akhirnya Malala berkesempatan mengecap pendidikan setinggi-tingginya, di universitas yang merupakan universitas tertua di negara-negara berbahasa Inggris, tentu tak seorang pun ingin bisa meraih pendidikan dengan risiko kehilangan nyawa. Namun, inilah fakta yang terjadi di Afghanistan, juga kawasan-kawasan lain yang tengah berada dalam kondisi perang.
Konflik senjata selalu memakan korban, terutama perempuan dan anak-anak. Seperti dilaporkan Al Jazeera (16/8/2121), ketika Taliban pada awal Juli lalu merebut Kandahar dari pemerintah resmi Afghanistan, mereka memasuki kantor Bank Azizi dan memerintahkan pegawai perempuan untuk pulang. Bahkan orang-orang bersenjata itu ikut bersama mereka sampai rumah masing-masing dan memerintahkan para pegawai perempuan itu untuk tidak lagi kembali ngantor. Sebagai gantinya, anggota keluarga laki-laki mereka bisa menggantikan posisi mereka di kantor.
Al Jazeera juga menuliskan ketika Taliban berkuasa pada tahun 1996 – 2001, perempuan memang mendapat tekanan luar biasa. Mereka tidak diperbolehkan bekerja, anak perempuan dilarang sekolah, dipaksa menikah, diwajibkan mengenakan burqa untuk menutup wajah, dan tidak diperkenankan keluar rumah tanpa didampingi laki-laki yang masih muhrim. Berani melawan? Ada hukuman berat, seperti dicambuk dan dipermalukan.
“Sungguh aneh tidak diizinkan bekerja, tapi inilah yang terjadi sekarang. Saya belajar sendiri cara mengoperasikan komputer dan bahasa Inggris, tetapi sekarang saya harus mencari tempat bekerja yang pegawainya wanita,” ujar Noor Khatera (43), seorang karyawan di Bank Azizi seperti dikutip Al Jazeera. Ini juga menjadi tanda bahwa hak-hak dasar yang telah dimiliki wanita Afghanistan sejak 20 tahun lalu kini mulai lepas satu persatu dari tangan.

Dok: Shutterstock

Hanya Perlu 1 Anak Perempuan!

Dalam artikel refleksinya di situs Just Security, Shabana Basij-Rasikhco-founder dan presiden dari School of Leadership, Afghanistan (SOLA), sekolah privat berasrama pertama dan satu-satunya khusus untuk anak perempuan Afghanistan mengatakan bahwa pendidikan sebetulnya sudah mengakar dalam masyarakat Afghanistan.
Shabana yang lahir di Kabul menghabiskan masa kecil ketika Taliban berkuasa, pada era 90-an. Masa ketika anak perempuan diharamkan sekolah. Apa yang terjadi? Jaringan wanita-wanita pemberani diam-diam membuka rumah mereka untuk sekolah darurat bagi anak-anak perempuan. “Saya dan banyak anak-anak perempuan menghadiri sekolah rahasia di ruang-ruang keluarga rumah para wanita tersebut. Merekalah yang menjadi guru dan memberi kami harapan,” tulis Shabana.
Pendidikan – meski ditempuh Shabana secara rahasia- telah mengubah dirinya. Dan ia yakin, mendidik anak perempuan akan mengubah suatu bangsa. Karena itu, ketika Taliban tersingkir pada tahun 2001 dan anak perempuan kembali memiliki kesempatan untuk sekolah, Shabana pun terlibat langsung mendidik perempuan bangsanya. Lulusan Middlebury College, Amerika Serikat dan peraih master jurusan Public Policy dari Universitas Oxford ini memiliki sekitar 100 murid perempuan.
“Saya juga makin tersadarkan bahwa hanya perlu satu anak perempuan untuk membuat perubahan ketika suatu hari seorang bapak datang ke SOLA. Ia adalah seorang tokoh di suatu desa dan memiliki anak-anak perempuan yang tidak bersekolah. Kebetulan di desa tersebut ada satu murid SOLA, dan setiap kali pulang ke rumah, anak itu mengajari anak-anak perempuan lain di desanya. Bapak si anak mengatakan, tolong terima satu anak perempuan saya sekolah di sini, karena pasti dia akan mengajari anak-anak yang lain,” tulis Shabana.
Refleksi Shabana ini juga tergambar dalam survei nasional yang dilakukan The Asia Foundation pada 11 Juli-7 Agustus 2019 terhadap 17.812 responden. Demografi responden adalah 51% pria, 49% wanita, 82% warga pedesaan dan 18% tinggal di kota menemukan hasil bahwa 87% responden mendukung kesetaraan pendidikan bagi perempuan. Sebanyak 76% responden juga mendukung wanita bekerja di luar rumah.
Dalam tataran ide, dukungan memang besar. Namun, kenyataannya responden menyadari bahwa kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan merupakan masalah terbesar yang dihadapi perempuan-perempuan muda Afghanistan (43%), disusul oleh ketidakadilan hukum (34%), kurangnya kesempatan kerja (24%) dan kekerasan (18%).
Sesungguhnya memang tak mudah bagi anak-anak Afghanistan untuk mendapatkan pendidikan. Sejak Taliban tersingkir, Pemerintah Afghanistan dan lembaga-lembaga donor internasional sudah berupaya untuk memberikan pendidikan pada anak-anak, khususnya anak perempuan. Namun, semuanya berjalan tersendat-sendat , setidaknya seperti yang tertulis dalam laporan yang dirilis oleh Human Rights Watch pada tahun 2017.
“Pemerintah Afghanistan dan para donor membuat janji yang berani pada tahun 2001 untuk menyekolahkan semua anak perempuan tetapi situasi tidak aman,  kemiskinan dan status sebagai pengungsi membuat banyak anak perempuan putus sekolah,” ujar Liesl Gerntholtz, direktur hak-hak perempuan Human Rights Watch.
Dalam laporan yang berjudul “I Won’t Be a Doctor, and One Day You’ll Be Sick: Girls’ Access to Education in Afghanistan” menggambarkan bagaimana ketika keamanan negara memburuk dan kemudian lembaga-lembaga donor mulai meninggalkan Afghanistan maka kemajuan pendidikan pun terhenti. Laporan ini berdasarkan wawancara terhadap 249 responden yang berada di Kabul, Kandahar, Balkh dan Nangarhar, bahwa sebagian besar anak perempuan usia 11-18 tahun tidak dapat menyelesaikan pendidikannya.
Mengingat data statistik yang akurat sangat sulit didapatkan di Afghanistan, laporan Pemerintah Afghanistan pada tahun 2015 menyatakan bahwa ada delapan juta anak sekolah, dan 39 persennya adalah anak perempuan. Pada Desember 2016, Kementerian Pendidikan mengumumkan ada anak sekolah sebanyak enam juta dan pada April 2016, pejabat kementerian pendidikan mengatakan ada 9,3 juta anak sekolah. Jumlah penduduk Afghanistan sendiri pada tahun 2019 sebesar 38 juta jiwa.
Meski ada yang mengatakan, data yang disampaikan pemerintah tersebut tidak sesuai kenyataan, namun berapapun angkanya UNICEF mengatakan bahwa proporsi anak perempuan Afghanistan yang bersekolah tidak pernah mencapai 50 persen. Bahkan  UNICEF memperkirakan 40 persen anak-anak (laki maupun perempuan) usia sekolah Afghanistan tidak bisa sekolah. Dari anak perempuan usia 12-15 tahun, 60 persennya tidak sekolah. Sementara anak laki-laki usia yang sama, 40 persennya tidak sekolah.

Banyak hal  kompleks yang menyebabkan sulitnya memberi Pendidikan secara merata  pada anak-anak Afghanistan, terlebih pada anak perempuan. Pemerintah disebut belum mengambil langkah yang berarti untuk menerapkan undang-undang wajib sekolah. Meskipun undang-undang telah ada, namun pemerintah tidak memiliki kapasitas untuk memastikan semua anak sekolah. Pemerintah disebut tidak mampu menyakinkan orang tua akan pentingnya pendidikan.

Sistem pendidikan dasar dan menengah di Afghanistan terdiri dari empat jenis sekolah utama. Pertama adalah sekolah negeri, diselenggarakan oleh pemerintah dan sering dengan bantuan donor. Kedua adalah sekolah berbasis masyarakat, yang sepenuhnya bergantung pada lembaga donor. Sekolah model ini disebut-sebut yang berhasil menjangkau gadis-gadis Afghanistan untuk mendapatkan pendidikan. Ketiga adalah madrasah, namun sekolah ini hanya fokus pada pendidikan agama dan tidak memasukkan pelajaran lain sesuai kurikulum pemerintah. Terakhir adalah sekolah swasta untuk keluarga-keluarga yang mampu membayar dan menawarkan kualitas yang lebih baik atau berada di tempat-tempat di mana tidak ada sekolah negeri.
Di tengah kultur masyarakat yang sangat patriarki, ketika bicara soal pendidikan, maka perempuan menjadi nomor ke sekian. Bahkan pendidikan bagi anak perempuan dianggap kurang atau tidak penting. Banyak anak perempuan hanya sekolah beberapa tahun saja sebelum si anak menginjak pubertas dan ia dipersiapkan untuk menikah. Apalagi hukum Afghanistan mensyaratkan usia minimum pernikahan bagi anak perempuan adalah 16 tahun. Usia 15 tahun boleh menikah dengan seizin ayah atau wali hakim anak tersebut.
Tingkat kemiskinan yang tinggi akibat konflik berkepanjangan di negeri ini juga menjadi penyebab suitnya anak-anak perempuan bersekolah.. Alih-alih sekolah, anak-anak dihadapkan kenyataan untuk bekerja membantu orang tua mencari nafkah. Data yang dihimpun Human Rights Watch menemukan, bahwa setidaknya seperempat anak-anak Afghanistan usia 5-14 tahun harus bekerja informal seperti menenun atau menjahit karpet, berjualan di jalan-jalan hingga mengemis selain mengerjakan pekerjaan rumah.
Kondisi diperparah dengan keamanan yang sulit dikendalikan beberapa tahun terakhir. Konflik dengan Taliban sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat sipil, terutama di daerah-daerah perang. Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) mencatat bahwa dampak konflik membuat kekerasan terhadap anak meningkat pesat. Dari tahun 2015-2018 terjadi 14.202 pelanggaran berat terhadap anak-anak yang menyebabkan luka hingga kematian. Kekerasan terhadap anak ini meningkat 82 persen dibanding empat tahun sebelumnya.
Konflik juga memaksa orang tua untuk melarang anak mereka keluar rumah, termasuk sekolah. Terle bih terhadap anak perempuan, karena ketika harus jalan kaki ke sekolah berisiko mendapatkan pelecehan seksual dan kekerasan lain. Sementara itu, kelompok bersenjata sering menargetkan sekolah-sekolah perempuan, murid perempuan dan para guru perempuan untuk diserang.
Pada 8 Mei 2021 misalnya, seorang pengebom bunuh diri meledakkan sekolah menengah atas khusus perempuan di Kabul. Korban jiwa berjatuhan, sebanyak 80 orang yang sebagian besar dari kelompok etnis Hazara, etnis minoritas di Afghanistan. Dari hasil wawancara Human Rights Watch, satu bom yang dilempar ke sekolah membuat ratusan orang tua ketakutan dan melarang putri-putri mereka sekolah selama bertahun-tahun selanjutnya.

Bagaimana Membuktikan Janji

Dengan segala kesulitan dan persoalan yang dihadapi dunia pendidikan Afghanistan bahkan ketika Taliban tersingkir, tak mengherankan bila kini banyak pihak merasa cemas dan khawatir dengan nasib pendidikan anak-anak Afghanistan.
Memang, pada konferensi pers perdana pasca kembalinya mereka ke tampuk kekuasaan, juru bicara Taliban Suhail Shaheen mengatakan bahwa perempuan diperbolehkan mendapat pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga universitas, namun skeptisme tetap membuncah.
Untuk memastikan janji Taliban, UNICEF masih tetap akan beroperasi di negara konflik ini dan tetap akan menyalurkan bantuan untuk mendukung pendidikan anak-anak. “Kami terus melakukan diskusi dengan perwakilan-perwakilan Taliban di kota-kota yang telah mereka rebut seperti Kandahar, Herat dan Jalalabad,” ujar kepala operasional lapangan UNICEF di Afghanistan Mustapha Ben Messaoud seperti dikutip Reuters (17/8/2021).
Messaoud juga menyatakan optimisme akan janji Taliban terhadap keberlangsungan pendidikan, khususnya bagi anak perempuan. Saat ini menurut UNICEF, beberapa perwakilan Taliban mengatakan sedang menunggu arahan dari pemimpin besar mereka tentang masalah pendidikan anak perempuan.
Sementara itu, Heather Barr, direktur untuk Dvisi Hak Perempuan Human Rights Watch mengatakan bahwa kebijakan Taliban tentang pendidikan anak perempuan belum jelas. “Praktiknya di lapangan mereka tidak konsisten. Setelah menguasai beberapa wilayah beberapa tahun terakhir ini, dalam banyak kasus mereka melarang anak-anak perempuan melanjutkan sekolah setelah selesai kelas 6,” ujar Barr seperti dilansir Deutsche Welle.
“Ini sungguh memilukan, terutama untuk generasi yang tumbuh dengan keyakinan bahwa Taliban adalah bagian dari masa lalu kelam yang telah melukai ibu dan nenek mereka, tetapi tidak akan menyentuh mereka,” imbuh Heather Barr.
Aktris Hollywood, aktivis kemanusiaan dan utusan khusus ( special envoy) di badan PBB urusan pengungsi (UNHCR) Angelina Jolie juga tak tinggal diam. Jolie yang selama ini tak memiliki akun media sosial membuka akun Instagram yang ia desikasikan sebagai penyambung lidah bagi wanita dan anak-anak perempuan Afghanistan yang terbungkam.
Dalam akun @angelinajolie yang hanya dalam beberapa hari sudah diikuti 8,9 juta followers, Jolie memposting surat curahan hati seorang gadis Afghan. Bagaimana para wanita dan anak-anak perempuan sebelum kedatangan Taliban bisa sekolah dan bekerja dan kini betapa hak-hak mereka terampas.
Jolie menulis yang 20 tahun lalu dirinya berada di garis perbatasan Afghanistan sebelum 9/11 untuk bertemu pengungsi Afghanistan yang melarikan diri dari Taliban, kini ia merasa muak melihat kembalinya Taliban. “Seperti semua pihak yang memiliki komitmen, saya tidak akan berpaling. Saya akan terus mencari cara untuk membantu dan saya harap Anda bisa bergabung dengan saya,” pungkas Jolie. Semoga ada titik cerah  bagi anak-anak da perempuan Afganistan yang ingin punya masa depan, apapun keadaan negeri mereka. (f)
Exit mobile version