wanitaindonesia.co – Apa yang terjadi ketika kamu mendapatkan pekerjaan impian tapi ternyata tidak sesuai harapanmu? Yang ada pekerjaan jadi membosankan
Apa yang terjadi ketika Anda mendapatkan pekerjaan impian tapi ternyata tidak sesuai harapan?
Teman, konsultan karier, dan media membanjiri kita dengan rentetan nasihat yang terus-menerus mendukung kita untuk mengejar impian, menemukan kebahagiaan atas diri kita sendiri, atau mengejar passion kita dalam kehidupan profesional yang kelak ada. Namun saran semacam ini tidak selalu mudah diikuti.
Bahkan ketika diperhatikan, saran itu bisa datang dengan kelemahan yang mengikutinya, terutama ketika ternyata pekerjaan tersebut melibatkan pekerjaan yang mencangkup tugas rutin harian yang biasanya kurang disukai orang. Singkatnya, bekerja seringkali didefinisikan sebagai bekerja keras.
Contohnya orang-orang yang mendapatkan pekerjaan di bidang ilmu data dan kecerdasan buatan, mereka berharap dapat menciptakan algoritme brilian yang akan memecahkan masalah besar.
Tapi mereka malah berakhir dengan bekerja hanya untuk melakukan tugas-tugas menjenuhkan seperti pengumpulan dan pembersihan data kasar. Keinginan atas pekerjaan-pekerjaan di bidang teknologi kemudian meredup oleh hadirnya pekerjaan yang sulit dan membosankan yang seringkali berada di luar bidang minat utama pekerja.
Dan tidak semua orang yang dipromosikan ke peringkat manajemen yang lebih tinggi antusias untuk melakukan tugas manajemen, atau bahkan melihat pekerjaan itu sebagai sebuah langkah maju.
Orang-orang meromantisasi berbagai pekerjaan di media, mode, film, seni rupa dan pertunjukan, serta industri budaya lainnya, tapi pekerjaan itu sering kali berakhir lebih membosankan daripada glamor. Pekerjaan apa pun, terutama di posisi pemula, memiliki unsur pekerjaan yang membosankan.
Pekerjaan prestisius tidak selamanya menyenangkan
Kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan yang ada atas pekerjaan harian ini adalah fenomena yang kami namai sebagai “glossy work” atau pekerjaan polesan atau berkilau yang ternyata membosankan dalam studi yang baru-baru ini diterbitkan.
Dalam studi ini, kami mewawancarai pemeriksa fakta untuk sebuah majalah yang penuh glamor ternyata hanya menjalankan tugas mendasar setiap harinya. Mereka mengalami semacam ketidaksesuaian antara status pekerjaan mereka dan kenyataan yang ada.
Pemeriksa fakta tersebut menjelaskan:
“Karena Anda berafiliasi dengan majalah, orang-orang berpikir Anda adalah seorang dengan tipe pekerjaan yang megah, tidak peduli bagaimana Anda sebenarnya berafiliasi di dalamnya.”
Kami mempelajari bagaimana fenomena ini mempengaruhi mereka.
Bagi para karyawan, ketidaksesuaian pekerjaan berkilau dapat memacu upaya yang mengubah pekerjaan dan menciptakan frustrasi serta keinginan untuk cepat keluar dari posisi tersebut.
Pekerjaan polesan juga menimbulkan dilema tentang bagaimana pekerja dapat menghadirkan karya dan diri mereka kepada dunia. Bagaimana mereka menyeimbangkan kebutuhan mereka untuk meningkatkan diri, untuk sepenuhnya dipahami, dan menjadi otentik?
Memoles pekerjaan yang membosankan dan biasa saja
Kami menemukan mereka melakukan hal ini dengan membedakan deskripsi pekerjaan mereka di audiens yang berbeda. Ketika berbicara dengan orang asing — orang-orang di pertemuan sosial, misalnya — mereka fokus pada aspek yang lebih glamor: bekerja di jurnalisme dan untuk majalah yang masyhur.
Untuk penulis berstatus tinggi yang berkolaborasi dengan mereka, mereka fokus pada keahlian mereka sendiri dan pada berbagai faktor yang dapat meningkatkan status mereka. Sedangkan kepada orang dalam, mereka menyajikan pandangan yang lebih lengkap tentang pekerjaan mereka.
Menampilkan diri mereka secara berbeda – tergantung pada siapa mereka berbicara, dapat memberikan artian bahwa siapa pun yang bukan orang dalam di perusahaan akan berakhir dengan pandangan parsial atau bias tentang pekerjaan tersebut. Citra asli dari pekerjaan sering disamarkan, dan itu menjadi masalah bagi mereka yang sedang mempertimbangkan diri untuk mengajukan posisi pada pekerjaan ini.
Ketika mereka hanya mendengar tentang hal-hal yang megah, para calon karyawan akan berakhir dengan harapan palsu yang cenderung memicu siklus kekecewaan.
Para karyawan yang berpotensial dapat menyiasati penyamaran informasi ini dengan melakukan penelitian yang lebih cermat tentang hal mendasar atas opsi pekerjaan yang sedang mereka pertimbangkan. Mereka harus mengajukan pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari dan berkonsultasi dengan berbagai orang yang saat ini memiliki pekerjaan serupa atau yang pernah memegang posisi tersebut sebelumnya.
Apa yang pemberi kerja dapat lakukan
“Pekerjaan polesan” juga menimbulkan kerugian bagi pemberi kerja karena mereka pun mencoba mengelola rasa frustrasi yang dialami para karyawannya dan juga kasus pergantian staf. Mereka dapat menghentikan lingkaran setan ini dengan memberikan pratinjau pekerjaan yang realistis. Ini tidak berarti mereka dituntut untuk menunjukkan sisi negatif dari pekerjaan, tapi perlu kiranya bagi mereka untuk memberikan keseimbangan penjelasan yang jujur baik dari pekerjaan ternama atau tidak terlalu ternama.
Pemberi kerja juga bisa mempertimbangkan metode penghimpunan tugas yang mana dapat menjadikan pekerjaan-pekerjaan tidak-terlalu-mengenakkan bisa terbagi rata kepada seluruh karyawan dari berbagai jenis posisi; tidak bertumpu pada posisi tertentu saja.
Para pemberi pekerjaan juga kerap ingin menjadi terbuka atas usaha-usaha para karyawan untuk mengulik pekerjaannya dan menciptakan peluang baru dengan organisasinya.
Namun, pada akhirnya melakukan banyak tugas rutin yang biasa-biasa saja acap kali tetap menjadi kenyataan di semua pekerjaan meski ada janji bahwa AI akan menghilangkan lebih banyak tugas-tugas rutin.
Terlebih lagi, manajer perekrutan harus berhati-hati saat mencantumkan narasi “passion” atau gairah sebagai persyaratan pekerjaan. Dalam analisis lebih dari 200 wawancara atas proyek tentang perekrutan startup, gairah telah menjadi bahan diskusi yang sudah terlalu sering digunakan. Dalam mempekerjakan manajer, memang narasi gairah perlu ada karena posisi manajer membutuhkan hal itu. Sedang karyawan biasa yang potensial pastilah sudah mengasaskan gairah mereka.
Namun tidak satu pun dari manajer perekrutan yang sudah mencari gairah pada calon karyawan mereka dapat menjelaskan bagaimana mereka akan menilai gairah tersebut, atau menjelaskan seberapa penting eksistensi gairah atas pekerjaan tertentu.
Risikonya adalah mereka mempekerjakan orang-orang yang bersemangat dan kemudian memberikan pekerjaan yang tidak cocok dan kemudian memadamkan gairah itu, akhirnya menciptakan situasi bermasalah bagi kedua belah pihak karyawan dan perusahaan. (wi)