Katyusha Praktisi Gaya Hidup Ulah Pedagang Etnis Cina di Pontianak Samarkan ‘Haram’

Pastikan tempat makan telah tersertifikasi halal MUI, BPJPH dan LPH. Foto: WanitaIndonesia.co

WanitaIndonesia.co, – Pontianak – Kalimat Barat, Katyusha praktisi gaya hidup menyampaikan, “Usaha resto yang dijalankan di Indonesia seharusnya memerhatikan beragam aspek.

Utamanya jaminan dari rasa aman umat Islam untuk mendapatkan produk halal. Ini sudah ada payung hukumnya lho, “jelas Katyusha.

“Bercermin pada kasus resto Mamma Rossy di Jakarta, di luar, masih banyak umat Islam yang terjebak dalam pusaran makanan haram maupun syubhat (sesuatu yang tak jelas unsur halal haramnya)
Upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai destinasi wisata ramah muslim dengan menggaungkan sebagai destinasi Pariwisatau Halal terbesar dunia masih sulit terealisasi, “jelas Katyusha.

“Salah satunya aspek kuliner yang harus dibenahi. Utamanya dari kaidah halal, tayib, serta aspek keamanan pangannya.
Sekarang ini proses pendaftaran sertifikat selamat halal lebih praktis, melibatkan 3 lembaga, MUI, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dan Lembaga Pemeriksa Halal, “sambung Katyusha.

Kuetiau Mualaf dan Kuetiau Muslim

Katyusha menceritakan pengalamannya akan aspek halal yang dialami saat ia wisata kuliner ke Pontianak. Ada ulah sekelompok oknum pedagang makanan yang berasal dari etnis keturunan yang menjual kuetiau. Mereka itu memanipulasi tempat usahanya menjadi ramah muslim. Dan, serta praktik ini telah berlangsung lama.!

Baca Juga :  Miliki 46 Cabang, B Clinic Kembali Hadir di MID Run Fest 2025, Bentuk Konsistensi Dukung Gaya Hidup Sehat

Caranya beragam, ada yang menambahkan kata halal dan membuat logo halal sendiri pada spanduk usahanya yang terpampang di depan. Karena kurang up date mereka malah memasang logo halal MUI versi lama.

“Banyak pula yang menggunakan nama-nama islami, sayangnya penamaannya itu kurang tepat, bahkan mampu membuat orang yang membacanya tersenyum geli. Lha kok bisa ada makanan kuetiau muslim, selain menuliskan kuetiau mualaf. Memangnya sejak kapan kuetiau, (mi putih dengany permukaan pipih lebar) beragama?
Cara lain, mereka mewajibkan pelayan dan juru masaknya mengenakan atribut Islam seperti peci dan hijab. Konyolnya, pelaku usaha yang duduk manis dan bertugas menjadi kasir tampil tanpa menggunakan busana syar’i, “jelas Katyusha.

Baca Juga :  Jejak Memoribilia Donald Trump di Sneaker Limited Edition

Mengapa hal tersebut dilakukan? Katyusha melihat kebiasaan masyarakat Melayu yang mayoritas beragama Islam, mereka enggan mampir ke street food yang dijalankan oleh non muslim. Mereka meragukan aspek halalnya. Walau ada yang benar-benar mualaf dan menjalankan bisnis kuliner, tapi lebih banyak yang berusaha menyamarkan dengan menutup keyakinan, serta membuat kamuflase ramah konsumen muslim.

Saat bertanya ke penduduk lokal, bahan apa saja yang lazim digunakan oleh pelaku usaha keturunan Cina yang diharamkan? Selain babi, juga minyak babi. Pelaku usaha secara sembunyi-sembunyi suka menggunakan minyak babi untuk menghasilkan aroma sedap, serta citarasa lezat. Masyarakat muslim juga meragukan cara hewan disembelih, apakah sesuai dengan syariah Islam?.

Jimmy, generasi milenial Pontianak, foodie turut berbagi pendapat, “Orang Melayu memiliki legacy abadi. Mereka sangat berhati-hati saat makan di luar. Sebelum makan, selalu berusaha mencari tahu siapa pemiliknya. Biasanya, pemilik akan mudah terlihat karena berjaga di meja kasir di bagian depan, pun melihat pengunjungnya. Jika pelaku usahanya keturunan Cina, dengan mayoritas pengunjung merupakan warga keturunan, mereka akan langsung menghindar, serta mengurungkan niat untuk makan.”

Baca Juga :  Takumi Terakawa Merdekakan Lansia Indonesia Lewat Popok dan Gaya Hidup 

Jimmy melanjutkan, “Ada keluarga saya dalam kondisi lelah dan lapar, lupa memerhatikan tempat makan, saat di dalam ia baru sadar bahwa pedagangnya merupakan etnis keturunan dan meragukan aspek halalnya. Ia pun buru-buru keluar.”

“Bagi etnis Melayu Pontianak, perkara makan bukanlah hal remeh-temeh. Tapi ada ajaran akidah yang dijunjung tinggi, serta dilaksanakan. Anggapan makan itu menjadi bagian dari akidah, harga diri, serta budaya karena di dalamnya diajarkan tata cara sesuai sunah Rasul yang mengedepankan makanan halal dan tayib (baik untuk tubuh dan menyehatkan).
Ada adab yang menyelaraskan dengan budaya etnis Melayu Pontianak.
Jikapun tak menemukan pedagang kuliner yang amanah, orang Melayu itu lebih suka menahan lapar sesaat, baru makan saat ia tiba kembali di rumah, “lanjut Jimmy. (RP)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini