
WANITAINDONESIA.CO – Komponis, penulis lagu, dan produser legendaris Indonesia James F. Sundah, sosok di balik karya ikonik “Lilin-Lilin Kecil” (Chrisye, 1977), mempersembahkan karya terbarunya yang penuh makna berjudul “Seribu Tahun Cahaya.” Lagu ini resmi diperkenalkan kepada publik melalui konferensi pers virtual dari kediamannya di New York, Rabu (15/10/2025)
“Seribu Tahun Cahaya” dirilis serentak dalam tiga bahasa: versi Indonesia dan Inggris dibawakan oleh Claudia Emmanuela Santoso, sedangkan versi Jepang dinyanyikan oleh Meilody Indreswari, juara Bintang Radio RRI 2007.
Peluncuran daring yang dipandu Wendi Putranto ini diikuti lebih dari 70 peserta dari tiga benua — Asia, Amerika, dan Eropa. “Lagu ini sebenarnya sudah saya siapkan sejak 18 tahun lalu,” ujar James F. Sundah.
“Saya menulisnya untuk istri saya, Lia Sundah Suntoso, tetapi selalu tertunda. Setelah melewati masa kritis akibat kanker dan dirawat penuh kesabaran oleh istri dan anak saya, saya merasa harus segera merilis lagu ini sebagai ungkapan syukur.”
Kini berambut putih gondrong dan tampak sehat, James menjelaskan bahwa lagu ini diproduksi di New York, dirilis melalui label lokal di sana, serta didaftarkan di US Copyright Office — sebuah langkah tegas untuk menegakkan prinsip transparansi dan perlindungan hak cipta.

Mendahului Zaman dan Lintas Generasi
Proses kreatif “Seribu Tahun Cahaya” dimulai sejak 2007, ketika genre Pop/EDM belum dikenal luas di Indonesia. Mendiang Djaduk Ferianto pernah menyebut musiknya “terlalu maju.” Namun James tetap teguh pada visinya dan menggandeng Meilody Indreswari sebagai vokalis pertama.
“Setiap bahasa punya ritme dan tekanan kata berbeda. Saya sempat harus rekaman berkali-kali. Om James bahkan meminta bantuan native speaker untuk memastikan pelafalan saya tepat,” kenang Meilody.
Bagi Meilody, proyek ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan “perjalanan batin dan simbol penantian panjang yang akhirnya terjawab.”
Rekor MURI dan Pujian Jaya Suprana
Peluncuran virtual ini juga dihadiri tokoh-tokoh terkemuka seperti Carmanita, Vina Panduwinata, Dahlan Iskan, serta Jaya Suprana, bersama puluhan jurnalis dari berbagai media juga teman-teman James dan Lia yang tersebar di beberapa negara.
Lagu “Seribu Tahun Cahaya” memperoleh Rekor MURI untuk kategori “Penerbitan Serentak Single Tiga Bahasa dari Tiga Benua, dengan Peran Terbanyak Berhak atas Hak Ekonomi Hak Cipta Karya Lagu.”
Sebagai pendiri MURI sekaligus seniman, Jaya Suprana mengungkapkan kekagumannya: “Judulnya tampak sederhana, tapi maknanya justru dalam dan kompleks. Setiap kata seolah melukiskan segala yang terjadi dan bahkan yang tak terjadi di alam semesta. Ada getaran sukma di dalamnya.”
Cinta, Musik, dan Misi Edukatif
Setiap versi “Seribu Tahun Cahaya” membawa warna budaya berbeda:
• Versi Indonesia menampilkan instrumen angklung dan kolintang,
• Versi Jepang menghadirkan koto dan shakuhachi,
• Versi Inggris memberi nuansa outer space melalui sentuhan synthesizer.
Lebih dari sekadar lagu cinta, karya ini menjadi manifesto kesadaran hak cipta dan seruan agar ekosistem musik lebih adil. “No Song, No Music Industry,” tegas James, mengutip pernyataannya di Rolling Stone Indonesia (2009).
Dalam proyek “1000 Tahun Cahaya”ini, James berperan penuh — sebagai composer, lyricist, arranger, musisi, produser, publisher, sound engineer, hingga videographer. Ia menegaskan pentingnya keadilan dalam pembagian hak ekonomi bagi setiap peran yang berkontribusi dalam karya musik. (GIE)




