wanitaindonesia.co – Betapa pentingnya setiap tanggal 10 Oktober karena seluruh dunia memperingati hari Kesehatan Mental Sedunia. Namun kesehatan mental jangan diglorifikasi dan dijadikan isu yang justru malah direndahkan posisinya.
Kesehatan mental mulai ramai diperbincangkan karena ini merupakan masalah yang sangat serius. Dulu, kesehatan mental tak dianggap penting, namun sejak tahun 1992, dunia mengakui pentingnya kesehatan mental.
Namun sayangnya, kadang arah pembicaraan tentang kesehatan mental bukan ke arah yang semestinya. Bukan, bukan ke arah orang-orang mulai sadar dan paham, melainkan “cringe,” diglorifikasi dan menjadi isu yang justru malah direndahkan posisinya
Lha, kok bisa? Tren kesehatan mental mulai ramai diperbincangkan di lini media sosial, mungkin, sudah ada sekitar 5 tahun terakhir, kita semua membicarakannya.
Dugaan ini berawal dari tren yang menganggap memiliki gangguan mental itu, keren. Padahal, tentunya tidak, kesehatan mental adalah persoalan serius yang harus dicari jalan keluarnya.
Sebelumnya, aku mau melakukan pengakuan dosa ketika waktu masa kuliah–mengglorifikasi gangguan mental lewat tulisan-tulisan di media sosial. Seolah-olah kita keren atau katanya sih, lit–nyatanya nol besar.
Gangguan mental selama ini digambarkan sebagai hal yang keren, ya bisa jadi karena pengaruh influencer di media sosial. Beberapa waktu lalu, ada sih penyanyi yang dianggap mengglorifikasi isu mental.
Sebenarnya, coping mechanism (cara mengatasi saat memiliki gangguan) setiap orang bisa beragam bentuknya–mungkin saja masyarakat menganggap hal tersebut justru melanggengkan isu kesehatan mental. Ya, sejatinya media sosial bukan ruang pribadi ya, ibaratnya naik kereta, pasti juga ada orang banyak, kalau mau ruang pribadi ya naik kendaraan sendiri.
Sering kali membicarakan soal kesehatan mental juga bisa menjadi perilaku toksik, banyak orang-orang yang (sok-sokan) memilikinya. Perlu ditekankan, ya, bukan mental health-nya yang toksik tapi orangnya. Apa-apa selalu dikaitkan soal itu.
“Aduh kayanya gue depresi deh, pengen bun*** aja,” padahal dia baru saja dimarahi karena kesalahannya sendiri. “Aduh, kayaknya gue anxiety deh. Soalnya jantung berdebar kenceng banget,” padahal dia baru saja minum kopi.
Perilaku self-diagnose ini memang menjengkelkan ya. Mental health memang penting, tapi bukan seenak jidat langsung ngecap begitu saja. Yang lebih ngeselin lagi adalah saat kesehatan mental digunakan sebagai tameng dari rasa bersalah.
Banyak orang yang tidak bertanggung jawab dan kemudian menyalahkan kondisi mental mereka.
“Maaf ya soal aku mukul kamu tadi, aku tadi kek posisi depresi banget.”
Bro, sis, kesehatan mental itu memang penting, tapi setidaknya juga jaga perasaan orang lain dong. Orang lain juga punya kesehatan mental sama halnya denganmu.
Ada satu quote yang secara pribadi sukai—”if you don’t heal what hurt you, you’ll bleed on people who didn’t cut you.”
Menurutku, pepatah itu ada benarnya. Sering kali kita marah kepada orang-orang yang memang tidak ada hubungannya dengan itu. Pelampiasan emosi yang tak sehat seringnya berakar dari sesuatu dalam diri kita yang terasa “salah”.
Di dunia medis, ada lho tenaga yang berfokus soal kesehatan–mereka adalah psikolog dan psikiater. Memang bukan perkara yang mudah, apalagi ngomongin soal biaya. Makanya banyak orang enggan pergi ke terapis karena alasan biaya yang melejit itu. Selain itu, masih adanya stigma yang melekat bahwa pergi ke terapis itu karena kurang iman atau bahkan dianggap gila.
Tapi coba deh, bayangin pergi ke psikiater juga untuk kebaikan dirimu sendiri. Coba sembuhkan apa yang tengah menjadi lukamu, ya, biayanya juga bakal sebanding dengan kehidupan sosialmu. Atau kalau masih ragu, bicarakan dulu dengan orang terdekat. Intinya ya sama saja, menyembuhkan. Sebisa mungkin, kenali perasaanmu.
Manusia wajar melakukan kesalahan dan tidak perlu pakai “kartu as”. Orang-orang dengan isu kesehatan mental juga masih bisa melukai orang lain. Jika dirasa ledakan emosimu atau tindakanmu sudah di luar kontrol dan perlu bantuan profesional, maka carilah.
Selanjutnya, minta maaflah dengan rendah hati. “Maaf ya, aku sudah kasar kepadamu.”. Tanpa embel-embel, tanpa alasan. (wi)