wanitaindonesia.co – Pramuniaga toko dan Sales Promotion Girl (SPG), adalah pekerja yang harus berdiri selama berjam-jam menunggu barang yang dijaganya. Selain harus tampil menarik, banyak yang tidak dipenuhi haknya seperti hak libur dan harus memenuhi jam kerja yang panjang
Keduanya menyatakan harus berdiri kurang lebih selama 7 jam ketika bekerja. Di samping itu, juga harus berdandan, memakai sepatu dengan hak tinggi agar selalu terlihat menarik.
Setelah berdiri selama rata-rata 7 jam, mereka hanya diberi waktu 1 jam untuk istirahat, selebihnya harus terus berdiri di dekat barang-barang yang dijual. Ada baju, sepatu, kosmetik, dll
Berdiri selama berjam-jam ini kadang hanya disebut sebagai bagian dari resiko kerja. Ya, resikonya memang begitu, harus berdiri selama berjam-jam, sudah sering kita mendengarkan komentar soal ini
Banyak pramuniaga lain juga merasakannya. Rina, adalah salah satu pramuniaga toko yang juga mengalami ini. Pengalaman Rina tak hanya itu, sebagai pramuniaga, ia juga harus mengerjakan pembukuan, menjadi kasir, menata display barang. Kemudian jika ada barang yang datang, Rina bersama pramuniaga lain harus mulai membongkarnya, memilah dan memasukannya ke gudang.
“Selain itu juga memberi label harga satu persatu, mendisplaynya, setelah selesai di display harus kami angkat sendiri ke gudang, dan harus menyetok barang di gudang,” kata Rina.
Rina berbicara dalam acara Festival Pekerja Hari Gini, yang diadakan Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, April 2021
“Saya juga pernah punya pengalaman ketika menjadi pramuniaga, selain melayani pembeli juga harus memasukan data-data barang di komputer dan itu dilakukan sambil melayani pembeli yang utama prioritas itu melayani konsumen atau pembeli.”
Rina bercerita, tentang jam kerja. Jam kerja pramuniaga itu kadang tidak pasti, kadang melampaui, jadi seperti lembur, tapi tidak dihitung lembur.
“Misalnya seharusnya kami sudah pulang tetapi ada konsumen yang belum menyelesaikan transaksi, maka kami harus menunggu mereka sampai selesai dan itu tidak dihitung sebagi lembur, kecuali kalau pemilik yang menyuruh lembur, barulah itu dihitung sebagai lembur.”
Bagaimana dengan jam istirahat? Untuk jam istirahat, jika seharusnya ditempat kerja itu 1 jam, tapi kadang tidak sampai 1 jam sudah harus bekerja lagi.
“Sesuai pengalaman saya, itu tidak ada sampai 1 jam, kami hanya diberi kesempatan untuk makan saja, dan kalau bisa dilakukan dengan secepat-cepatnya, jadi jika tidak ada pembeli, kita giliran makan dan itu hanya sampai 10-15 menit, itu hanya waktu untuk makan dan kami harus kembali bekerja.”
Begitu juga dengan hari liburnya. Untuk hari libur itu, teman-teman Rina sesama pramuniaga tidak pernah punya kepastian kapan mendapatkan hari libur.
“Seperti hari raya, pembeli sedang banyak-banyaknya, kami kerja terus 2 minggu full tidak libur.”
Belum lagi jika ada barang-barang yang rusak, misalnya tak sengaja dirusakkan oleh konsumen, para pramuniaga ini yang harus menggantinya
“Jumlah pekerja yang terbatas dan pada saat pembeli sedang ramai ada kemungkinan barang jadi rusak atau hilang itu walaupun bukan kesalahan kami, otomatis kami harus menggantinya dengan sistem potong gaji,” kata Rina
Pelecehan dari Konsumen Toko
Rina menyatakan bahwa pramunaga toko seperti dia dan teman-temannya, pernah mendapatkan pelecehan verbal dari pembeli, mereka menginginkan kepuasan produk atau apa, jika tidak mendapatkannya, pramuniaga toko sering dibentak
“Kita sering dibentak-bentak, dimaki-maki, diintimidasi sudah biasa. Saya tidak tahu ini termasuk pelecehan atau bukan, ada beberapa kali pembeli yang menanyai status saya sudah menikah atau belum, mengarah mengajak berkenalan itu membuat saya tidak nyaman, tidak suka karena hal tersebut tidak ada kaitannya dengan pembelian. Teman saya juga pernah mengalami, jadi ada konsumen yang membeli barang dengan jumlah yang besar, jadi dia mempunyai relasi dengan pemilik, jadi dia mengakrabkan diri dengan memegang pundak teman saya.”
Selama ini, banyak anggapan tugas seorang pramuniaga toko hanya sekadar melayani pesanan pembeli. Kenyataannya lebih dari itu, pramuniaga juga acapkali mesti sambil melayani printilan pekerjaan seperti bongkar barang, melabeli barang satu per satu, hingga mendata barang ke display komputer.
Pernah pula dia mengalami pelecehan, seperti catcalling saat menjalankan tugasnya. “Berjalan dan pakai baju biasa kadang ada aja yang suit-suit (catcalling),” imbuhnya.
Untuk menghindari berbagai ancaman kekerasan dan pelecehan itu, Rina dan rekan-rekan pramuniaganya pun memilih menjaga jarak dan interaksi dengan pembeli. Seperlunya saja.
Setelah 15 tahun bekerja sebagai pramuniaga, Rina akhirnya memilih untuk berhenti. Ketika itu dia sedang hamil dan memiliki miom atau tumor jinak yang tumbuh di rahim. Dokter menyarankan tak boleh aktivitas terlampau berat, namun pekerjaannya sebagai pramuniaga tentu tak bisa mengakomodir kebutuhan kesehatannya.
“Saran dokter tidak boleh bekerja berat-berat, padahal di tempat saya tidak mungkin kerja tidak berat.”
“Waktu itu menjelang hari raya, saya pasti tidak dapat prioritas untuk bekerja tidak berat. Akhirnya saya memutuskan diri keluar dari pekerjaan,” pungkas Rina.
Kisah pramuniaga lain teman Rina tak kalah bekerja keras. Tak semua bisa merasakan, bahwa berdiri selama 7 jam dan dilakukan hampir tiap hari ini, bisa menyebabkan fisik menjadi menurun dan sakit. Tak hanya pramuniaga toko, sales promotion girl (SPG) juga mengalami ini.
Hal lain, pekerja toko juga sering tak diperhitungkan liburnya, Sabtu, Minggu dan hari raya juga masuk karena biasanya di hari-hari itu banyak pembeli datang, namun di hari lain disaat pembeli sepi, mereka juga minim diberikan waktu libur.