Film Seribu Bayang Purnama akan Tayang Serentak di Jaringan Bioskop Nasional Mulai 3 Juli 2025, Seperti XXI, CGV,CINEPOLIS dan SAM’S STUDIO

WanitaIndonesia.co, Jakarta – Sebuah film layar lebar berjudul Seribu Bayang Purnama siap tayang serentak di bioskop nasional mulai 3 Juli 2025. Film ini menjadi penanda sejarah baru dalam perfilman Indonesia karena untuk pertama kalinya secara utuh menyoroti realitas getir yang dialami para petani di pedesaan—isu yang kerap luput dari perhatian masyarakat kota.

Diproduksi oleh Baraka Films, rumah produksi yang dikenal lewat karya-karya dokumenter bernas, film ini menggambarkan tantangan besar yang dihadapi petani, mulai dari sulitnya akses terhadap modal, mahalnya pupuk dan pestisida kimia, hingga ketergantungan terhadap rentenir. Akibatnya, banyak petani terjerat utang dan terjebak dalam siklus kemiskinan yang berkepanjangan.

“Pesan utama yang kami coba sampaikan melalui film ini adalah ketahanan pangan merupakan salah satu kunci bagi kedaulatan negara Indonesia,” tegas Yahdi Jamhur, sutradara Seribu Bayang Purnama sekaligus pendiri Baraka Films.

Yahdi mengungkapkan, gagasan awal film ini muncul dari diskusi bersama produser eksekutif Joao Mota, seorang penggiat pertanian alami. Joao membawa kisah inspiratif seorang petani muda dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berhasil memperkenalkan Metode Tani Nusantara—metode pertanian alami yang murah, mudah, dan ramah lingkungan.

“Dengan menerapkan metode ini, para petani tidak perlu lagi bergantung kepada para rentenir dan pupuk pestisida pabrikan berbahan baku kimia yang harganya cukup mahal serta bisa menekan biaya pertanian hingga 80%,” jelas Yahdi.

Namun, memperkenalkan metode pertanian alami di tengah dominasi sistem pertanian kimia bukan perkara mudah. Film ini menampilkan konflik yang intens antara pelopor pertanian alami dan para pemilik usaha pupuk kimia, lengkap dengan dinamika sosial dan percikan kisah cinta yang rumit.

Dibintangi oleh Marthino Lio, Givina, Nugie, Whani Darmawan, dan Aksara Dena, Seribu Bayang Purnama mengisahkan perjalanan Putro Hari Purnomo, seorang pemuda yang kembali ke desanya setelah menimba ilmu di kota. Ia bertekad meneruskan warisan ayahnya dengan mempraktikkan pertanian alami dan membebaskan warga dari jeratan sistem pertanian konvensional yang menekan.

Cerita menjadi semakin kompleks ketika Putro menghadapi persaingan sengit dari keluarga rival yang menolak perubahan. Situasi diperumit dengan kehadiran Ratih, gadis yang dicintainya, yang ternyata adalah anak dari pemilik toko pupuk kimia pesaing.

Disutradarai oleh Yahdi yang memiliki pengalaman panjang sebagai jurnalis dan pembuat film dokumenter, film ini menyuguhkan sinematografi pedesaan yang memukau, dengan pengambilan gambar di sebuah desa di Yogyakarta. Skenario ditulis oleh Swastika Nohara, penulis pemenang dua Piala Maya dan peraih nominasi FFI 2014.

“Pesan lain yang ingin disampaikan adalah bumi pertiwi ini butuh sebuah cara, yaitu pertanian yang alami agar terus bisa memberikan hasil bumi terbaik. Selain itu diharapkan juga banyak generasi muda yang mulai tertarik untuk bertani karena bertani juga sebuah pilihan hidup, bukan sebuah keterdesakan hidup seperti yang selama ini terjadi,” tambah Yahdi.

Film ini tak hanya menyentuh sisi sosial dan emosional, tetapi juga menawarkan solusi nyata. Metode pertanian alami yang ditampilkan dapat langsung diterapkan, karena membutuhkan biaya rendah dan menghasilkan produk pertanian yang lebih sehat.

Sebagai bentuk nyata kepedulian terhadap petani, seluruh keuntungan dari penjualan tiket film ini akan disalurkan sepenuhnya untuk program pemberdayaan petani di berbagai daerah. (WIB)