Empat Delegasi Perempuan Indonesia yang Berani “Bungkam” Tuduhan Vanuatu di Forum PBB

wanitaindonesia.co – Vanuatu, sebuah negara kepulauan yang memiliki luas daratan 12 kilometer persegi atau seluas Pulau Maluku, lagi-lagi menyinggung soal pelanggaran HAM di Papua dalam forum internasional. Sejak 2016, perwakilan Vanuatu selalu mengungkit isu ini dalam Sidang Umum PBB.

Fitnah dan tindakan ikut campur Vanuatu tersebut pun tak dibiarkan begitu saja oleh perwakilan Indonesia. Dalam forum tersebut, sederet perempuan muda yang menjadi delegasi Indonesia mampu menjawab tuduhan ini dengan cerdas dan tegas. Siapa saja mereka?

Nara Masista Rakhmatia

Tahun 2016, Nara mewakili Indonesia dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-71. Kala itu, Vanuatu bersama lima negara Pasifik lainnya juga menyinggung masalah yang sama. Mereka bahkan mendesak PBB untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Papua.

Pernyataan tersebut lalu dibalas dengan cerdas oleh Nara. Perempuan muda ini menyampaikan bahwa kritik Vanuatu dan lima negara lain sebagai motif politik yang dirancang untuk mengalihkan perhatian dari masalah negara mereka sendiri.

Nara yang ketika itu menjabat di misi tetap Indonesia untuk PBB menyatakan, laporan Vanuatu sengaja dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di Provinsi Papua Barat, yang telah secara konsisten terlibat dalam menghasut kekacauan publik dan dalam melakukan serangan teroris bersenjata.

Vanuatu bahkan mendukung perjuangan kelompok separatis Papua seperti Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) yang dipimpin Benny Wenda. Negara tersebut menjadi saksi tempat ULMWP didirikan.

Ainan Nuran

Satu tahun kemudian, lagi-lagi Negara berpenduduk sebesar 270 ribu jiwa itu mengangkat isu serupa. Ainan Nuran menjadi delegasi yang membacakan hak jawab dalam sesi debat tersebut.

Ainan yang menjabat Sekretaris III bidang Hubungan Ekonomi I tersebut mengatakan heran dengan aksi Vanuatu yang terus mengembuskan isu HAM tentang Papua dan Papua Barat.

Dia menyatakan dengan tegas “satu kali sudah terlalu banyak untuk hoax dan dugaan keliru” yang disebarkan oleh mereka yang termotivasi untuk melakukan “aksi separatis” di Papua dan Papua Barat.

Riwayat dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua memang mengakar sejak awal pembentukan negara tersebut, setelah bebas dari jajahan Perancis dan Inggris pada 1980.

Perdana menteri pertama Vanuatu, Walter Hadye, menyatakan kemerdekaan negaranya itu belum sempurna hingga seluruh bangsa dan wilayah Melanesia, termasuk Papua Barat, terbebas dari kolonialisme.

Silvany Austin Pasaribu

Pada Sidang PBB tahun 2020, Silvany yang menjabat Sekretaris Kedua untuk Urusan Ekonomi I untuk Perutusan Tetap RI di PBB, New York, AS, mewakili Indonesia untuk menjawab tuduhan Vanuatu.

Dalam sidang PBB tahun ini, Silvany melontarkan jawaban tegas kepada Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman yang mengungkit masalah Papua. Silvany mengatakan tuduhan Vanuatu itu hal yang memalukan. Vanuatu, menurutnya, terlalu ikut campur urusan Indonesia.

Dia bahkan meminta Vanuatu menjalankan terlebih dahulu apa yang tercantum dalam Piagam PBB. Sebelum hal itu dilakukan, lanjut dia, “tolong jangan menceramahi negara lain”.

Vanuatu memang menyatakan pengakuannya terhadap kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia. Pada 2010, parlemen Vanuatu bahkan mengadopsi RUU Wantok Blong Yumi atau UU yang menegaskan pengakuan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua Barat.

Lewat UU tersebut, Vanuatu memberikan status observer bagi Papua Barat dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) dan Pacific Islands Forum (PIF).

Sindy Nur Fitri

Seakan tak merasa kapok, Vanuatu lagi-lagi mengkritik Indonesia soal Papua dalam Sidang Umum PBB, Sabtu 25 September 2021. Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman Weibur menyebut adanya pelanggaran HAM di Papua.

Bahkan dalam pidatonya, dia meminta Kantor Komisaris HAM PBB untuk mengunjungi Papua Barat dan memberikan penilaian independen tentang isu HAM di sana.

Namun, tuduhan pelanggaran HAM di Papua itu dibantah oleh diplomat Indonesia, Sindy Nur Fitri. Dia menyatakan dengan keras bahwa Indonesia menolak tuduhan yang salah, tak berdasar dan misinterpretasi yang terus dilakukan Vanuatu.

Menurut Sindy, Vanuatu justru secara sengaja menutup mata ketika kelompok kriminal separatis bersenjata di Papua membunuh para perawat, tenaga kesehatan, guru, pekerja konstruksi dan aparat penegak hukum.

Sindy juga mempertanyakan mengapa Vanuatu diam ketika guru dibantai oleh KKB.
“Ketika para guru dibantai tanpa belas kasihan, mengapa Vanuatu memilih diam?” katanya. (OR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini