wanitaindonesia.co – Dilema menggunakan batu bara karena persediaan di dalam negeri melimpah sehingga harganya cuma 4-6 sen per kwh. Kalau mau listrik dengan tingkat emisi sedikit bersih menggunakan gas yang harganya 9 sen per kwh, sedangkan pembangkit listrik geothermal (11-12 sen), dan bayu (10-11 sen).
“Saat ini memang kalau mau energi murah ya kotor, dan kalau mau yang bersih agak mahal. Tapi ke depan, dilema itu bisa dibalik. Saya yakin 5-6 tahun dari sekarang, Energi Baru Terbarukan (EBT) akan superior karena secara teknis lebih andal, secara komersial juga lebih murah,” kata Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo.
Ia mencontohkan, pada 2015 ketika PLN melelang PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) harganya 25 sen per KWH. Tapi pada 2017 sudah turun menjadi 15 sen, 2020 (5,8 sen) dan terakhir (3,8 sen). Artinya, PLTS yang bersih dari emisi menjadi kian murah seiring kemajuan teknologi. Demikian juga pembangkit listrik tenaga bayu yang sebelumnya 11 sen per kwh sudah turun menjadi 8 sen.
“Pada 2026, berpikir membangun pembangkit listrik tenaga bara sudah haram. Pada 2025, PLTD yang membutuhkan banyak BBM juga akan mulai diganti dengan EBT yang lebih murah dan bisa beroperasi 24 jam. Kita juga bangun PLTS, Panas Bumi, Bayu,” tegas doktor ekonomi lingkungan dari Universitas Texas, Amerika Serikat itu.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang berbasis batu bara, ia melanjutkan, secara bertahap akan dicampur dengan biomasa yang berbasis kerakyatan, sehingga berdampak pada pembukaan lapangan kerja. PLTU batu bara tak serta-merta diganti total karena sebagian kontraknya dengan pihak swasta baru akan berakhir pada 2056. “Tapi khusus PLTU yang dimiliki langsung oleh PLN (16 MW) akan ada percepatan pensiun dini untuk beralih ke EBT,” ujar Darmawan Prasodjo.
“Selama dua tahun, Pak Zulkifli Zaini sebagai mantan Dirut Bank Mandiri memang mendapatkan tugas khusus untuk mengoreksi kondisi keuangan PLN yang waktu itu utangnya mencapai hampir Rp 450 triliun. Pak Zulkifli melakukan itu dan berhasil,” kata Darmawan. (oliv)